Rintihan kecil lolos dari bibir Rea. Luka goresan sepanjang kira-kira tiga sentimeter di dahi yang baru saja disentuhnya terasa perih. Permukaan kulit yang sedikit menganga itu juga menyebabkan kepalanya berdenyut-denyut. Dia lalu meringis saat mengusapnya dengan ujung jari sambil mengamati pantulan dirinya sendiri di depan wastafel kamar mandi.
"Oh ... adiknya Pak Candra? Sudah sekitar satu bulan, Bu, tinggal di sini."
Adik? Rea mengingat jawaban dari salah seorang security yang ditemuinya sebelum pergi dari kawasan apartemen mewah tersebut. Jadi Candra mengenalkan Hulya sebagai adik ke orang-orang yang bertugas di lantai dasar?
Lucu sekali.
Rea melihat perempuan berwajah kuyu di cermin yang sedang tersenyum miring. Penampilannya tampak kacau tapi tetap tak lebih kacau dari suasana hatinya.
Sejak kapan Candra mulai berani menutupi sesuatu darinya? Bukankah laki-laki itu selalu terbuka dalam segala hal?
Sesaat Rea berpikir hingga di detik berikutnya dia justru terkekeh. Ah, bagaimana mungkin dia bisa lupa ... suaminya kini bukan lagi Candra yang sama. Banyaknya perselisihan serta perdebatan diantara mereka, membuat keduanya berubah.
Bukan hanya Candra, Rea pun sebenarnya merasa dirinya telah ber-metamorfosa. Tapi mau sebanyak buih di lautan pun mereka berubah, dia selalu meyakini bahwa cinta mereka takkan pernah mati.
Demi membuktikan keyakinannya, Rea lantas mengambil ponsel. Segera dia men-dial sebuah kontak. Berkali-kali dia harus mengulangi namun hasilnya tetap saja sama. Panggilan darinya tak mendapatkan respon dari orang yang entah sedang berada di mana.
Itu artinya ... Candra masih marah.
Wajar ... sebelum berangkat ke luar kota, mereka sempat berdebat serius. Candra bersikeras tak mengizinkan tapi Rea tetap nekat pergi.
Merasa dia tak mungkin dapat mengistirahatkan pikiran sebelum suaminya pulang, Rea memilih mengirimkan pesan.
Rea : Pulanglah ....
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui bahwa pesannya telah terbaca. Namun hingga bermenit-menit kemudian Rea menunggu, balasan tak jua diterimanya.
*****
Candra melirik sekilas jam tangannya. Pukul satu dini hari. Dia kemudian mendengkus. Sudah bisa diprediksi, dia akan melalui pertengkaran panjang lagi.
Lelah sebetulnya. Dua tahun ini rumah tangganya menjelma bak neraka. Jika tidak adu mulut maka dapat dipastikan mereka akan saling mengabaikan satu sama lain.
Tidak ada lagi cinta yang menggelora, tidak ada lagi ranjang yang panas.
Semuanya terasa dingin dan ... menyakitkan.
Candra lalu keluar dari mobilnya, membuka pintu rumah pakai kunci cadangan, dilanjut menyusuri ruang tamu yang gelap. Persis di bawah tangga, dia berhenti sebentar. Menyiapkan diri sekaligus mengatur emosi supaya tak meledak-ledak seperti biasanya.
"Sudah pulang?"
Terkejut dengan suara itu, Candra lekas memutar kepalanya. Dia lalu menemukan lawan debatnya sedang duduk bersandar di sofa. Mata perempuan itu tertutup rapat pun dengan bibirnya.
Pertengkaran babak baru akan segera dimulai. Candra memilih diam dalam penantiannya. Dia yakin ... Rea pasti hendak melontarkan kalimat-kalimat lembut yang sayangnya dibumbui racun seperti yang acapkali Rea lakukan setiap kali memergokinya pulang tengah malam. Padahal ... istrinya itu juga sering pergi ke luar kota tanpa pernah mau mengindahkan larangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGGENG (Tamat)
RomanceLanggeng ... harapan semua orang terhadap pernikahan mereka, tak terkecuali Rea. Namun, dari banyaknya pertengkaran yang telah menjelma menjadi neraka dalam rumah tangganya, akankah dia dan Candra dapat merealisasikan harapan itu?