Lembar - 16

6.8K 902 84
                                    



Dejavu ... situasi ini pernah Rea alami. Duduk berempat di sebuah restoran bersama banyaknya hidangan yang terhidang di atas meja sembari membahas sekelumit rencana perceraian.

Bedanya ... dulu Rinjani yang menjadi narasumbernya. Rea, Siska, serta Endy hanyalah pendengar yang mencoba memahami serta berupaya menguatkan. Namun kini, dialah si empunya masalah. Dan tiga pasang mata tengah menatap ke arahnya. Tiga pasang telinga sedang menantikan keterangan darinya.

"Ya gitu ...," kata Rea selepas mengendikkan bahunya. "Gue sih udah konsul sama pengacara. Berkas-berkasnya udah disiapin. Mungkin lusa baru bisa maju ke pengadilan." Untung saja, Rea menyimpan buku nikahnya dengan Candra ditumpukan barang-barang berharganya, jadi benda penting yang mesti diikutkan sebagai syarat perceraian, tak tertinggal di kediaman calon mantan suaminya.

"Alasannya apa?" Dilihat dari tenang dan santainya Rea bercerita, juga tak tampak kesedihan yang tercampur dalam nada bicaranya, Siska mengambil kesimpulan awal bahwa keputusan bercerai telah dibahas secara baik-baik. Tapi ... tetap saja dia ingin memastikan tebakannya benar atau tidak. Mendengar dari pihak yang bersangkutan sendiri jelas lebih afdol daripada sekedar mengira-ngira.

Rea yang duduknya bersebelahan dengan Rinjani mendengkus. "Dia mau anak, dan seperti yang lo tau, gue belum bisa ngasih." Dia lantas menyaksikan wajah para sahabatnya yang berubah muram, termasuk wajah Siska yang biasanya disetel sangar.

Entah kutukan, entah mereka terkena sihir jahat. Rea tidak mengerti apa yang menyebabkan dia, Rinjani, serta Siska mempunyai masalah reproduksi yang sama. Cuma Rinjani yang akhirnya bisa selamat dari kutukan itu. Rea dan Siska masih tergelung di dalamnya.

Namun Rea bersyukur, setidaknya suami Siska tak seperti Candra. Pria bule itu tak keberatan jika pada akhirnya nanti tidak dapat memiliki keturunan. Pola pikir yang demikian pernah Rea harapkan hinggap di otak Candra. Harapan yang tak terkabulkan.

"Udah jangan sedih, Re ...." Satu-satunya manusia yang masih berstatus lajang diantara mereka berempat, menggapai tangan Rea kemudian menggenggamnya. "Abis ini lo ikut gue sama Siska aja, di sana cowok-cowoknya kebanyakan pada childfree."

Fenomena childfree sudah lama dianut oleh penduduk negara-negara maju. Dan belakangan keputusan untuk hidup tanpa anak juga marak menjangkiti pasangan muda di Indonesia. Mulanya Rea tidak setuju dengan pemikiran itu. Tapi sekarang dia berubah pikiran, bagi perempuan yang bermasalah dengan rahim seperti dirinya, memilih pasangan yang menerapkan paham tersebut, agaknya justru bisa membuat hidupnya lebih damai.

"Oke," sahut Rea riang. Tangisnya sudah dihabiskannya tadi malam. Dia telah bertekad menjalani harinya tanpa kesedihan lagi. "Kapan kalian balik?"

Endy dan Siska bekerja dan menetap di Amerika. Kebiasaan dari tahun ke tahun, mereka akan pulang ke tanah air setiap enam bulan sekali. Sekedar liburan atau mengunjungi keluarga dan teman.

Hubungan keduanya yang dulu bagaikan kucing dan anjing, mengalami perbaikan seiring dengan perubahan waktu. Kini mereka laksana saudara kembar dari negeri Jiran, Upin dan Ipin.

"Kalo gue lusa," jawab Siska yang mulai mengunyah nasi ditambah suiran ayam pop dan beberapa helai daun singkong. "Suami nggak bisa cuti lama-lama."

"Eh iya ... kenapa lo nggak ngajak dia? Lo tinggalin di hotel?" Rinjani menelan ludah ketika menonton Siska makan dengan lahapnya. Mungkin terlalu merindukan masakan padang yang bercita rasa khas Indonesia.

Endy membuka menutup plastik yang membungkus telur balado sambil bercerita. "Paling lakinya jam segini masih tidur. Dia mirip kalong. Siang buat tidur, malamnya kerja. Ya sebelas dua belas lah sama maling."

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang