"Udah, Re ... nanti tangan lo pegel."
Menggeleng tanda tak mau, Rea lantas mengecup singkat pipi tembam balita berjenis kelamin laki-laki yang tengah digendongnya. "Nggaklah, masa gini doang pegel," sahutnya kemudian sembari memerhatikan sang sahabat yang sedang meletakkan piring berisi puding mangga ke atas meja.
"Dia udah gendut banget loh itu."
Iya. Sepertinya Dewa memang mengalami kenaikan berat badan yang lumayan banyak. Satu bulan yang lalu saat Rea menggendongnya, pipinya belum segembil ini. Rea lalu menoel lengan si balita yang mirip roti sobek. "Lo kasih makan apa, sih? Cepet banget gedenya."
"Ya mpasi kayak kebanyakan orang." Rinjani kemudian duduk di sofa yang sama dengan Rea usai menata beberapa camilan di meja. "Sini, nanti tangan lo kesemutan." Direntangkannya dua tangan ke depan, bermaksud mengambil alih putranya yang tertidur lelap.
Bukannya memberikan, Rea justru bergeser mundur. "Biarin gue gendong bentar lagi kenapa sih. Gue masih kangen sama ini anak."
Dewa sangat lucu. Pipinya yang empuk juga terlihat amat menggemaskan. Balita yang merupakan jiplakan Wira itu sudah bisa mengoceh. Tadi ketika Rea datang, dia disambut dengan celotehan tak jelas yang malah terdengar merdu di telinganya. Bermain bersama Dewa, membuatnya bisa sedikit melupakan permasalahan yang ada. Menatap wajah tak berdosa dengan mata biru lautnya yang indah, mampu mengisi energinya yang sempat terkuras habis.
Rinjani terkekeh. "Lo jadi nggak bisa nyicipin puding bikinan gue."
"Ah, bosen. Lo bikinnya puding mangga mulu. Tiap ke sini gue disuguhin itu terus."
"Hahaha ...." Tawa lepas Rinjani memenuhi tiap sudut ruang keluarga. "Itu salah satu camilan favoritnya Mas Wira. Seminggu sekali gue pasti bikin. Dia suka nyariin kalo puding mangganya nggak ada di kulkas."
Rea menyunggingkan senyumnya. Dia ikut bahagia melihat rumah tangga sahabatnya sekarang begitu harmonis. Rinjani dapat melawan badai yang menyerang pernikahannya dengan sangat tangguh. Dan Rea harap dia mampu melakukan hal serupa. Bukan untuk bertahan selamanya, tapi demi harga diri yang tak boleh mati.
"Sayang ...."
Kompak, Rea dan Rinjani menoleh ke arah depan. Ah, mungkin Tuhan akan memberikan kesempatan hidup yang panjang bagi Wira. Baru dibicarakan, sosoknya sudah muncul dengan tangan yang menenteng tas kerja.
"Iya, Mas ...." Rinjani kemudian kembali mengulurkan tangan, meminta Dewa dari gendongan Rea.
Sedikit tak rela, Rea menyerahkan balita yang kelopak matanya masih menutup rapat itu pada ibunya. Sudah menjadi rutinitas sehari-hari, Wira akan pulang setiap jam makan siang hanya untuk melihat atau sekedar menimang sebentar anaknya.
Sesibuk apa pun, Wira selalu menyempatkan untuk pulang.
Sesayang itu Wira pada putranya. Jelas sekali terlihat, Wira sudah memimpikan mempunyai anak sedari lama.
Tapi sebelum Rinjani hamil, Wira tak pernah membahas masalah anak atau pun meminta sang istri melalukan program kehamilan.
Semuanya dibiarkan berjalan apa adanya ....
Wira tak memaksa apalagi sampai menghamili perempuan lain.
Tak sadar, Rea tersenyum miris. Kenapa Candra tak bisa seperti Wira? Apa sulitnya menunggu sebentar lagi?
"Re ...."
"Andrea ...!"
Mengerjap beberapa kali, Rea lantas membulatkan mata. "Ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
LANGGENG (Tamat)
RomanceLanggeng ... harapan semua orang terhadap pernikahan mereka, tak terkecuali Rea. Namun, dari banyaknya pertengkaran yang telah menjelma menjadi neraka dalam rumah tangganya, akankah dia dan Candra dapat merealisasikan harapan itu?