"Kenapa Kakek suruh kamu ke sini?"
"Buat ngobrol."
Ditiro sudah diperiksa oleh dokter spesialis jantung yang dipanggil ke rumah. Pria yang telah memasuki usia senja itu dinyatakan baik-baik saja. Hanya mengalami syok ringan dan memerlukan banyak istirahat. Rea jadi tidak perlu merasa bersalah.
"Pasti masalah anak," tebak Candra saat membukakan pintu penumpang untuk istrinya. "Kakek selalu nelepon aku buat ngingetin itu."
Rea menanti Candra duduk di belakang kemudi, baru dia menimpali, "Kenapa nggak pernah cerita?"
"Apa dua tahun belakangan ini kita punya waktu buat sekedar bertukar cerita?" Candra malah balik bertanya. "Selain berdebat, kita biasanya saling nggak peduli satu sama lain. Lagian aku nggak mau kamu nganggep keinginanku buat punya anak itu semata-mata demi warisan dari Kakek." Dia menyalakan mesin terus mulai mengendalikan jeep-nya keluar kompleks perumahan yang isinya orang-orang kaya. "Bunda yang bersikeras nggak mau ngelepasin rumah sakit. Karena meski modalnya dari Kakek tapi Almarhum Ayah yang membangunnya sampe bisa sebesar sekarang."
Memilih tak membalas, Rea lantas memalingkan muka. Gambaran hidup yang keras di sepanjang jalanan yang masih ramai, kemudian cukup menyita perhatiannya. Pemulung yang membiarkan anaknya tidur di emperan toko, segerombolan anak punk yang berbaris di trotoar menunggu tumpangan, juga bocah laki-laki yang meminta-minta sumbangan di perempatan traffic light.
Dia lekas menunduk. Tidak sanggup menyaksikan pemandangan itu lebih lama. Tak tega rasanya.
"Tidur aja kalo capek."
Rea merasakan usapan di kepalanya. Dia lalu menoleh. "Yang ... aku mau pergi liburan."
Hamparan air yang luas dan jernih, serta embusan angin yang sepoi-sepoi mungkin bisa memperbaiki tatanan dalam otaknya yang benar-benar berantakan. Dia butuh pikiran yang jernih untuk menentukan keputusan selanjutnya. Keputusan yang tak diambilnya dalam keadaan emosi. Keputusan yang akan digodognya matang-matang seperti saran dari Rian.
"Lupain," lanjut Rea sebab suaminya diam saja. "Aku nggak akan pergi kalo kamu nggak ngizinin."
Candra membalas tatapan istrinya sebentar kemudian tersenyum lebar. "Boleh. Mau ke mana?" Kalau Rea meminta izin baik-baik dan tak keras kepala, dia juga tak mungkin tega menolaknya.
"Bali kayaknya."
Pandangan Candra sudah kembali lurus ke depan, tapi tangannya masih menempeli kelapa sang istri. "Kapan?"
"Besok." Rea sudah tidak lagi bekerja pada orang lain. Dia membuka praktek mandiri sejak tiga tahun yang lalu. Jadi mau ke kantor atau tidak, bukan masalah baginya. Di sana ada pegawai-pegawai kepercayaannya yang mampu meng-handle tugasnya dengan baik.
"Berapa hari?" Tanya itu terlontar di kala Candra tengah mengingat-ingat adakah urusan rumah sakit yang memerlukan kehadirannya. Jika masalah jadwal praktek, dapat dialihkan ke dokter anak yang lainnya.
Rea berpikir sejenak. "Dua atau tiga hari." Apabila dirasa otaknya belum cukup segar, dia tinggal memperpanjang sewaktu-waktu.
"Oke. Besok kita berangkat ke Bali." Bibir Candra terkatup tepat di saat dia menginjak rem lantaran lampu di depan kendaraan mereka menyala merah. Kepalanya kemudian menengok ke kiri.
"Kita?"
Kekehan keluar dari mulut Candra begitu melihat kening berkerut dan raut wajah tak percaya dari istrinya. "Iya, kita. Aku sama kamu, Yang ...." Jemari Candra perlahan merangkak turun dari kepala lalu berhenti di atas punggung tangan Rea. "Aku temenin kamu liburan."

KAMU SEDANG MEMBACA
LANGGENG (Tamat)
RomanceLanggeng ... harapan semua orang terhadap pernikahan mereka, tak terkecuali Rea. Namun, dari banyaknya pertengkaran yang telah menjelma menjadi neraka dalam rumah tangganya, akankah dia dan Candra dapat merealisasikan harapan itu?