Rea memang akhirnya bisa meloloskan diri dari belitan tangan sang suami, namun rupanya dia tak mampu keluar dari kesedihan yang masih membanjiri pipi.
"Yang ...."
Ketukan di pintu kamar yang sedang dijadikannya tempat untuk menyandarkan punggung terdengar. Disusul kalimat permohonan dari Candra.
"Buka pintunya ... aku pengen peluk kamu."
Badan Rea merosot. Dia lantas terduduk dengan posisi memeluk lutut. "Pulang, Yang ... kita udah selesai."
Di sisi pintu yang lain, telapak tangan Candra yang gemetaran, menyentuh benda yang terbuat dari kayu itu lembut, seolah yang tengah diusapnya adalah wajah Rea. "Nggak mau. Kalo kamu mau aku pulang, kamu harus ikut. Kalo kamu mau tetep di sini, aku juga di sini."
Candra lalu mendengar kekehan sumbang dari dalam kamar.
"Kamu masih egois kayak biasanya."
"Maaf ...." Tapi sejatinya sifat manusia memang hal tersulit yang dapat dirubah kan? "Aku cuma nggak mau pisah." Dia kemudian duduk menyamping di lantai. Tubuh bagian kirinya ditempelkannya ke daun pintu.
"Aku mungkin selamanya nggak akan pernah bisa kasih kamu anak ...." Rea lantas menumpukan dahinya di paha. Isakannya keluar lebih hebat dari sebelumnya. Candra tak pernah tahu ... seputus asa apa dirinya beberapa tahun belakangan ini.
"Nggak masalah, Yang ... kita hidup berdua aja."
Rea menggeleng walaupun tahu Candra tak dapat melihatnya. "Kamu bentar lagi punya anak. Kamu harus bertanggung jawab sama dia. Aku nggak mau jadi penghalang diantara kalian lagi." Matanya sudah perih, tapi hujan di sana belum juga mau berhenti. Rea yakin, esok hari saat bangun tidur, indra penglihatannya pasti membengkak.
Terpejam, Candra merasa rangkaian kalimat itu ibarat ujung belati yang sanggup merobek dadanya. Kenyataan bahwa dia tega menghamili perempuan lain di saat vonis tak dapat mempunyai anak jatuh tepat di atas kepala Rea, membuatnya pantas dijuluki suami terkejam di dunia.
Sementara tangisan Rea terdengar kencang, isakannya mengalir tanpa suara. Namun Candra yakin, mereka tengah menelan rasa sakit yang sama.
"Pergi ... temui Hulya. Rawat dan besarkan anak kalian sama-sama. Nanti dari Hulya, kamu bisa punya anak berapa pun yang kamu mau. Rahimnya sehat, nggak bermasalah kayak aku ...."
Candra menunduk. Dia tak mampu membalas. Segala penyesalan masih berkumpul di hati, masih menyerangnya dengan amat brutal.
"Aku udah capek banget. Aku udah nggak sanggup lagi kalo harus bolak-balik ke dokter buat berobat. Dari medis sampai pengobatan tradisional, semuanya udah aku coba, tapi hasilnya nihil. Aku capek terus-terusan berharap ada keajaiban. Aku udah nyerah sekarang ...."
Pukulan-pukulan yang cukup kencang, Candra layangkan ke dadanya sendiri. Di dalam sana ... rasanya sakit sekali. Semua tuduhan jahat yang pernah dilontarkannya tiba-tiba terngiang. Perihal Rea yang lebih mementingkan karir, perihal alat kontrasepsi yang faktanya tak pernah tertanam di rahim sang istri. Juga perihal kecaman yang tak layak terucap dari mulut seorang suami.
Demi Tuhan ... dialah sejahat-jahatnya manusia. Di tengah-tengah rasa frustasi dan upaya yang Rea lalukan agar memiliki anak, dia justru menanamkan benihnya pada perempuan lain. Dan selama ini, Candra membenarkan perbuatan menjijikannya itu di balik nama ketidakpatuhan Rea lalu melemparkan semua kesalahan pada istrinya.
Candra kian tergugu kala membedah satu per satu keburukannya. Tubuhnya makin membungkuk. Dan ketika kepalan tangan yang dipukulkan ke dada tetap tak dapat menyamarkan kesakitannya, dia menggantinya dengan remasan sekuat tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGGENG (Tamat)
RomanceLanggeng ... harapan semua orang terhadap pernikahan mereka, tak terkecuali Rea. Namun, dari banyaknya pertengkaran yang telah menjelma menjadi neraka dalam rumah tangganya, akankah dia dan Candra dapat merealisasikan harapan itu?