Lembar - 15

6.9K 877 85
                                    





"Aaa ...."

Untuk kesekian kali, Rea membuka mulutnya, lalu menguyah sushi yang disodorkan oleh suaminya teramat pelan.

"Aaa ...."

Melihat rahangnya yang berhenti bergerak, Candra kembali mengarahkan potongan makanan khas negeri matahari terbit itu ke depan mulutnya. Sejujurnya ... lambung Rea sudah penuh, tapi bibirnya tak mampu menolak. Mungkin ini akan menjadi momen terakhir dirinya bisa makan langsung dari tangan Candra.

"Kamu kenapa nggak makan?" Telapak tangan Rea bersiaga di depan mulut ketika dia berbicara, berjaga-jaga barangkali ada makanan yang tersembur keluar.

Candra mengusap sudut bibir istrinya menggunakan ibu jari, padahal tidak ada kotoran apa-apa di sana. "Aku mau suapin kamu dulu, sampe kamu kenyang."

"Tadi bilang udah laper banget?" Padahal sejak turun dari pesawat, Candra sudah mengeluhkan perihal cacing-cacing dalam perutnya yang meminta jatah makanan.

"Nggak apa-apa, masih bisa aku tahan, Yang ... yang penting kamu dulu."

Rea kembali membuka mulutnya. Tapi kali ini dia mengunyah cukup cepat sebagai upaya untuk menghalau air yang hendak berkumpul di pelupuk mata. Merasa dorongan ingin menangis kian kuat, dia lekas membuang muka. Beruntungnya, ponsel Candra berdenting dan pria itu langsung mengeceknya. Jadi Rea punya waktu guna mengendalikan diri selagi Candra sibuk dengan pesan yang entah dari siapa.

Yakin sudah tenang selepas menarik napas panjang lanjut mengembuskannya pelan-pelan, Rea menghapus lelehan air mata di pipinya. Di detik berikutnya, barulah dia berbalik menghadap sang suami.

"Kamu nangis?"

Tak menyangka kalau Candra dari tadi memerhatikannya, Rea cepat-cepat berkata, "Iya." Sambil tersenyum tipis.

"Kenapa?" Kesalahan apalagi yang telah diperbuatnya? Hingga di saat-saat romantis seperti ini, Rea tetap menangis. "Aku nyakitin kamu lagi?"

Jawaban Rea keluar dalam bentuk gelengan kepala. "Aku nangis karena seneng. Kita udah lama nggak kayak gini. Kamu udah lama nggak seperhatian ini ...."

Ternyata mengucapkan kata perpisahan tak semudah yang Rea bayangkan. Lidahnya lagi-lagi melontarkan kalimat yang tak sejalan dengan pikirannya.

"Aku pikir kenapa ...." Candra memasang kelegaan di masing-masing sudut bibirnya. Dia lekas merapat kemudian memeluk istrinya erat-erat. Diam-diam, dia menyusupkan tangan kanan ke saku jaketnya. Lalu ketika pelukan dilepaskannya, sesuatu yang telah dipegangnya, dia perlihatkan pada Rea.

Kernyitan samar mampir sebentar di dahi Rea. "Hadiah lagi?" Di Bali, dia sudah mendapatkan cukup banyak kejutan.

"Hm. Coba buka ...." Menurut rencana dalam otaknya, hadiah terakhir ini akan dia persembahkan sebelum mereka pulang, namun Rea yang tampak kehilangan antusiasme, membuatnya berpikir untuk menundanya.

Rea lantas membuka kotak yang masih dipegang suaminya. Gerimis kembali membasahi hati. Dia terharu sekaligus tercabik. Isi dari kotak itu adalah sebuah jam tangan yang sudah lama dia idam-idamkan.

"Jam impian kamu ...," kata Candra selagi mengeluarkan si benda mewah dari rumah-nya. Jam yang telah terpasang di pergelangan tangan kiri Rea dilepaskannya lebih dulu sebelum dia memakaikan yang baru. "Aku sering liatin kamu lagi perhatiin jam itu di HP pas mau tidur."

Jadi Candra masih peduli? Rea kira ... kemarahan benar-benar menyebabkan mata hati laki-laki itu menjadi buta. "Makasih, Yang ...," gumamnya yang tak lagi berusaha menutupi embun di kedua bola matanya.

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang