Lembar - 18

6.8K 874 68
                                    



Rea dengan setia mengikuti gerakan kaki Candra yang setengah berlari. Mereka sedang menyusuri lorong menuju ruangan bagian pemeriksaan.

Satu jam yang lalu, sesaat setelah Candra selesai mandi, pria itu dihubungi oleh pengacara keluarga Ditiro. Memberi kabar yang membuat wajah sembab Candra seketika bertambah pias. Rea yang sudah mengetahui mengenai berita tersebut lebih dulu, hanya bisa berusaha menyalurkan dukungan secara mental. Makanya, dia setuju ketika sang suami memohon agar ditemani ke kantor polisi guna menemui Santi.

Iya. Kabar burung yang diedarkan oleh sebuah akun gossip itu ternyata benar.

Benar-benar Santi Dewi Maharani.

"Bun ...." Candra menghambur ke sisi ibunya, perempuan yang tengah duduk menunduk di kursi besi panjang yang cukup untuk tiga orang. "Bun ...," panggilnya sekali lagi lantaran Santi tak merespon. Jangankan menyahut, mendongak pun tidak.

Candra lantas berlutut sementara Rea masih berdiri saja tak jauh dari ambang pintu. Bingung juga harus bagaimana. Memberi support? Pada pelakor? Tidak, terima kasih. Biar itu menjadi tugas suaminya saja.

"Bun ... bilang kalo ini cuman fitnah." Tangan Candra digerakkannya untuk menggenggam jemari Santi yang terasa sedingin es. Dia masih yakin seyakin-yakinnya bahwa ini pasti bukan kesalahan ibunya. Mungkin sekedar kesalahpahaman semata. Santi tidak akan berbuat sehina itu.

"Bun ...," ulang Candra lembut, tapi Santi tetap bak manekin hidup. Dan sikap tersebut menghadirkan ketakutan dalam dirinya. Kalau tidak bersalah ... mengapa tak ada penjelasan atau pembelaan yang keluar dari mulut sang bunda? "Bun ... jangan bilang kalau—"

"Dokter Candra ...."

Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, Candra lekas menengok ke samping. Dia kemudian berdiri dan menghampiri dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai pengacara keluarga Ditiro.

"Dok ...."

Sebelum Candra memulai tanya, pengacara berkumis itu langsung berinisiatif menjelaskan duduk perkaranya. "Ibu Santi sudah selesai diperiksa sebagai terlapor atas kasus dugaan perselingkuhan disertai perzinahan yang dilaporkan oleh istri sah dokter Vikri. Sekarang, Bu Santi sudah diperbolehkan pulang. Tinggal menunggu proses penyelidikan berjalan."

"Sebentar ...." Candra membutuhkan waktu yang cukup lama demi mengurai penjelasan itu. "Maksud Bapak ... tuduhan itu benar? Bapak yakin Bunda saya bukan difitnah?!"

Melihat suaminya yang mulai diserang panik bercampur emosi, Rea menghampiri. Dipeluknya salah satu lengan Candra kemudian dibelainya naik-turun. "Hadapi semua masalah pakai kepala dingin." Dia lalu menatap mata yang dilapisi kacamata hitam itu dengan sorot lembut.

Candra membuang napasnya kasar sambil memalingkan muka. Sejenak dia mengatur emosinya dalam posisi itu. Setelahnya, dia kembali memandang ke depan dengan sikap yang lebih tenang. Siap untuk mendengarkan berita apa saja, yang terburuk sekalipun.

"Pelapor punya bukti-bukti yang kuat, Pak. Screenshot percakapan whatsapp, beberapa bill hotel, sama yang paling kuat adalah video penggrebekan semalam. Sepertinya pelapor sudah mengintai dari lama."

Penjelasan itu cukup untuk memaksa Candra agar paham dan meyakini bahwa Santi memang bersalah. Dia lantas mengadu kepalan tangannya dengan kerasnya tembok. Yang membuat sang istri sontak terpekik kaget.

Untung saja, ruangan itu sepi. Tidak ada petugas. Hanya ada mereka berlima.

Rea mengusap buku-buku jari Candra yang memerah sebelum menyuruh pria itu duduk. "Biar aku yang ngomong," ucapnya lalu beranjak dari ujung kursi.

"Silakan dilanjutkan, Pak ...." Rea sempatkan mengulas senyum tipisnya supaya pembicaraannya dengan dua pengacara senior ini tidak kaku.

Sang pengacara yang tidak berkumis, menambahkan uraian singkat rekannya. "Mungkin dalam satu minggu ke depan, status Bu Santi bisa naik menjadi tersangka. Karena ini delik aduan, maka satu-satunya yang dapat menyelamatkan hanyalah jika pelapor mencabut laporannya."


*****


Santi menolak diantarkan pulang. Kemungkinan besar, ibu mertuanya itu takut pada Ditiro yang selama ini memang tinggal serumah. Kabar buruk pasti menyebar amat cepat. Apalagi kalau beritanya sampai viral di media sosial.

Akhirnya Candra membawa sang ibunda ke kediaman mereka. Untuk sementara, Santi akan bersembunyi di sana hingga merasa siap menghadapi dunia.

Setelah memastikan bahwa kondisi Santi sehat-sehat saja, Candra dan Rea kembali ke apartemen. Sebetulnya, Rea sudah mengatakan akan pulang sendiri, tapi Candra bersikeras mengantar.

Dan kini Rea paham jika maksud suaminya itu bukan sekedar mengantar, melainkan memang ingin ikut tinggal.

"Ada baiknya kamu tetep di rumah. Selain istirahat kamu juga sekalian nemenin Bunda." Rea mengoceh selagi Candra masuk ke kamarnya kemudian berbaring di ranjangnya. "Beliau butuh kamu ... jangan ditinggalin sendirian."

Apa Rea pikir ... Candra bisa bersikap biasa saja seolah tidak ada apa-apa pada bundanya sekarang? Di saat dia telah mengetahui perbuatan kotor yang sering Santi lakukan.

Rasa-rasanya ... untuk menatap saja Candra tak sudi. Perempuan yang paling terhormat di matanya faktanya hanyalah seorang pezina.

"Mau seburuk apa pun ... beliau tetep bunda kamu. Orang yang udah mempertaruhkan nyawanya buat ngelahirin kamu." Rea singkirkan lengan yang menutupi indra penglihatan suaminya. Dibelainya kemudian pipi Candra agar netra pria itu terbuka. "Jangan benci sama Bunda meskipun seluruh dunia melakukannya," katanya saat bola mata yang masih memerah itu telah menatapnya.

"Aku nggak nyangka ...." Sampai kehabisan kata-kata Candra membayangkan perbuatan ibunya. Kalau saja dia tak takut menjadi durhaka, pasti kalimat 'otakmu di mana?' sudah dilontarkannya. "Dari jutaan laki-laki lajang, kenapa Bunda milih suami orang?"

Ck, tanyakan itu juga pada Hulya. Suara dalam diri Rea menyahut, tapi sayangnya dia tak sampai hati melemparkannya.

"Mungkin Bunda terlanjur mencintai dokter Vikri. Atau mungkin beliau merasa kesepian dan butuh temen." Decakan lidah, Rea dengar keluar dari mulut orang yang berada di tempat tidurnya. "Iya itu bukan pembenaran, aku juga nggak bermaksud membenarkan perbuatan Bunda. Selingkuh tetap salah, tapi mungkin aja memang itu alasannya. Atau Bunda punya alasan lain yang kita nggak tau. Kayak kamu yang milih selingkuh sama Hulya. Kamu punya alasan sendiri kan buat ngelakuin itu?"

Tidak mungkin Candra tak tersentil karena ucapan istrinya. Ah, ternyata buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya. Mereka sama. Sama-sama kotor. Dan jika Candra membenci Santi lantaran masalah ini, artinya dia juga harus membenci dirinya sendiri.

"Maafin aku, Yang ...." Merangkak, Candra lanjut menjatuhkan kepalanya di pangkuan sang istri. Tangannya ikut melingkari perut perempuan tercinta. Kalau dia saja sebagai anak merasa sakit hati karena pengkhianatan Santi, lalu sehancur apa Rea menghadapi perselingkuhannya yang sampai menghasilkan anak? Ya Tuhan ... membayangkannya saja Candra sudah sesak napas.

"Udahlah ... udah aku maafin. Salahku juga yang nggak bisa ngasih kamu anak." Hal pertama yang mesti Rea lakukan jika ingin hidup tenang adalah memaafkan dan mengikhlaskan. Tidak ada gunanya juga menyimpan dendam, hanya akan memperberat langkah.

Memang sudah takdirnya begini. Dia sudah rela menerima sepenuhnya ketetapan Ilahi. Tapi ... memaafkan versi Rea tidak sepaket dengan mempertahankan rumah tangga. Dia tetap pada keputusannya untuk berpisah.

Dan Rea akan mengupayakan jalur damai untuk perpisahan mereka. Diawali dengan baik, harusnya diakhiri juga dengan baik.


*******13 Juli 2023









LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang