"Halo ...."
Urung membuka pintu, Rea lekas bergeser ke kiri, menyingkir dari tempat keluar-masuknya pengunjung restoran. Dia lantas berdiri di depan jendela kaca yang sangat besar.
"Selamat siang, Bu Rea ... ini nomor saya, Bu ... Danu."
Tatapan Rea jauh menumbuk kaca, kemudian mencari-cari di mana ibu mertuanya berada.
"Iya, Danu ... ada apa?"
"Saya sudah kirimkan lewat email, data-data yang tadi pagi Bu Rinjani minta pada saya. Ada juga beberapa foto sebagai bukti."
Rea mencetak senyumnya miring ketika penjelajahan matanya menemukan posisi ibu kandung Candra. Perempuan itu tidak duduk sendiri. Ada seorang gadis berbaju merah muda yang menemani.
"Terima kasih, Danu ... saya akan berbicara pada Rinjani agar menaikkan gaji kamu."
"Sama-sama, Bu ... semoga data yang saya kirimkan berguna bagi Ibu."
Seusai memutus panggilan dari Danu, Rea buru-buru membuka surelnya. Dia terbelalak tak percaya saat secarik biodata serta foto yang diterimanya berhasil dia buka. Astaga. Benar-benar tak terduga.
Dengan menggenggam bukti akurat di tangan, Rea melangkah penuh percaya diri memasuki restoran. Tak memerlukan waktu yang lama, dia sudah bisa menyapa sang ibu mertua. "Siang, Bun ...." Dia lekas menunduk, mencium pipi Santi kanan dan kiri.
"Gimana kabar kamu?"
Tanpa mau repot-repot melirik ke kursi di samping Santi, Rea lantas mengambil tempat duduk di depan ibu mertuanya. "Baik, Bun ... Bunda sendiri gimana ... sehat?"
Santi dulunya hanyalah seorang gadis desa. Keberuntungan memihaknya kala dia hijrah ke ibu kota untuk mencari pekerjaan. Dia berjumpa dengan seorang pria kaya raya yang merupakan anak pejabat. Keduanya kemudian menikah. Dan lahirnya bayi bernama Candra Mahaprana Ditiro.
"Bunda sehat." Santi mengambil cangkir tehnya lalu menyesapnya. Semua gerakannya sudah terukur, pelan, dan anggun. Semenjak menikah, sikapnya memang tak boleh sembarangan. Maklum, dia adalah menantu orang terpandang.
"Apa ada hal yang penting sampai Bunda minta Rea buat datang ke sini?" Jelas itu cuma sekedar basa-basi. Dengan kehadiran seseorang yang ada di sebelah Santi saja, Rea sudah dapat menebak racun apa yang hendak mertunya suguhkan padanya.
Santi menoleh ke kursi sebelahnya. Lalu agaknya memberikan semacam kode menggunakan lirikan mata pada perempuan yang duduk di sana.
Perempuan itu mengerti. Dia gegas berdiri. "Aku ke toilet sebentar, ya, Tan ...," ucapnya sebelum mengumbar senyum congkak kemudian menjauh dari meja.
Sumpah, Rea rasanya ingin tertawa. Apa Hulya pikir mampu mengalahkannya dengan meminta bantuan pada Santi?
Iya, perempuan yang pergi ke toilet itu Hulya. Dan si suster sepertinya baru salah perhitungan. Karena Rea tidak akan pernah tunduk dan kalah pada siapa pun.
"Rea ... Bunda sudah tahu—"
"Bunda ...," sela Rea tak mau memberikan kesempatan Santi untuk menuangkan racun itu ke dalam pikirannya. "Ada sesuatu yang mau Rea tunjukkan ke Bunda." Tanpa memutus kontak mata, dia lekas mengusap layar ponselnya kemudian langsung menyerahkan benda pipih tersebut ke tangan Santi.
Dengan kening berkerut samar, Santi menerimanya. "Apa ini?" tanyanya sebelum menatap ke layar. Tapi begitu dia sedikit menunduk guna mengetahui apa yang ingin Rea tunjukkan, wajahnya seketika berubah pias.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGGENG (Tamat)
Roman d'amourLanggeng ... harapan semua orang terhadap pernikahan mereka, tak terkecuali Rea. Namun, dari banyaknya pertengkaran yang telah menjelma menjadi neraka dalam rumah tangganya, akankah dia dan Candra dapat merealisasikan harapan itu?