Lembar - 22

11.2K 932 137
                                    




Satu-satunya orang yang diperbolehkan mengantar Ditiro ke mobil hingga menunggui sampai kendaraan itu melaju hanyalah Rea. Tiga orang lainnya masih setia menunduk di ruang tamu. Terpekur ... dengan isi pikiran mereka masing-masing.

Lambaian tangan, Rea turunkan ketika mobil telah berjarak sekitar lima puluh meter. Badannya lekas berbalik kemudian melangkah riang memasuki ruang tamu guna mengambil tasnya.

Sejujurnya ... Rea tak menyangka kalau kakek Candra justru berpihak padanya. Dia pikir Ditiro sama dengan Santi.

"Senang kamu berhasil merebut hak Candra dan keturunannya kelak?!"

Rea tak tersinggung ketika tiba-tiba mendapatkan serangan itu. Dia malah terkekeh. "Iya," jawabnya singkat namun mampu membungkam mulut sang ibu mertua. Rea tak mau munafik, siapa yang tidak senang ketika kepemilikan sebuah rumah sakit swasta yang sangat besar baru saja dihibahkan padanya? Tentu saja Rea senang. Ini bisa menjadi jaminan masa depan untuknya.

Keluarganya tidak sekaya keluarga Ditiro. Papanya hanya seorang pengusaha meubel di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Usaha itu kini bahkan tak sebesar dulu, sudah lama kalah bersaing dengan para pendatang baru yang mempunyai terobosan lebih modern.

"Jangan-jangan ... kamu—"

"Bun!" cegah Candra pada Santi yang hendak melemparkan tuduhan lagi. Berbeda dengan ibunya yang tak terima dengan keputusan Ditiro, dia justru merasa lega. Setidaknya sebagai pemilik rumah sakit besar, Rea nantinya tak perlu susah payah mencari uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Selain itu, Candra juga bisa lebih mudah menemui Rea jika perempuan itu menggantikan posisi Santi.

"Kamu ini juga, kenapa diem aja?! harusnya kamu protes sama Kakek." Kemarahan Santi beralih ke putranya. Sumpah dia kesal setengah mati, Candra tampak tidak peduli pada sesuatu yang selama ini diperjuangkannya tanpa henti. "Itu hak kamu. Harusnya kamu protes!"

Candra melengos. "Bunda juga tadi diem aja." Tak sepatah kata pun Candra dengar keluar dari bibir Santi tadi. Ibunya bagai kerupuk yang baru tersiram air. "Nggak berani kan sama Kakek? Ya sama."

"Argh!" Santi kehabisan kata-kata. Dia menghentakkan kakinya sebelum beranjak dari sofa. Kepalanya terasa mau pecah. Hanya dalam hitungan hari, dia nyaris kehilangan semua asset yang dimiliki. Tiga lahan kosong di pinggiran ibu kota serta dua unit apartemen telah diserahkannya pada istri Vikri seminggu yang lalu. Sekarang ... saham rumah sakit pun turut melayang.

Santi melewati Hulya begitu saja. Baginya, sesuatu yang sudah tidak berguna untuk apa diperhatikan lagi.

Menyaksikan Santi yang biasanya terkesan sangat menyayanginya kini tampak tak peduli, hati Hulya yang tengah hancur bertambah makin parah. Tangis yang sempat surut pun kembali pecah. Bagaimana ini? Bagaimana nasib anak dalam kandungannya jika tidak ada seorang pun yang mau menerimanya?

"Niat buruk pasti akan berakhir buruk." Rea menuju Hulya yang menempati ujung sofa. "Tapi jangan khawatir, gaji Candra sebagai dokter spesialis masih cukup buat biaya hidup kalian. Jadi ...." Tangannya diluruskan kemudian menepuk-nepuk puncak kepala Hulya. "Jangan sedih lagi ...."

Di detik berikutnya, Rea memilih pergi dari sana. Dari rumah yang menyimpan banyak tangis dan tawa bahagianya bersama Candra.

Ternyata benar ... jika kita mengikhlaskan semua rasa sakit yang kita rasakan akibat dari perbuatan orang lain, maka takdir yang akan membalasnya, lebih pedih dari apa yang bisa kita kira.


*****


"Yan ... hari ini gue jemput Dira lagi boleh, nggak?"

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang