Lembar - 14

6.7K 862 79
                                    



"Re ... lo tau nggak alasan gue ngasih Mas Wira kesempatan kedua?"

Di suatu sore yang mendung, ketika Rea sedang duduk sambil mengawasi Dira dan Wira yang bermain di timezone, Rinjani tiba-tiba bersuara. Rea lekas menoleh terus mengutarakan tebakannya. "Karena Wira berubah?"

"Salah satunya. Tapi bukan itu yang utama."

Sahabatnya itu kemudian memindahkan Dewa yang tertidur ke dalam stroller.

"Terus apa?" Rea jadi ingin tahu, apa yang sekiranya menyakinkan Rinjani agar bertahan di tengah gempuran perselingkuhan. Yang jelas pastinya ... bukan dendam.

"Gue yakin, ke depannya ... gue bisa bahagia."

Keyakinan yang menjadi nyata. Rea lalu tersenyum membalas senyum sang sahabat yang tak kalah manisnya. Setelah itu, dia melihat bagaimana Rinjani menonton kedekatan Wira dan Dira dengan raut ceria. Sepertinya benar-benar lupa kalau bocah itu pernah hadir dalam bentuk malapetaka.

"Kalo lo punya keyakinan yang sama ... gue dukung lo pertahanin Candra. Maafin ... ikhlasin semua rasa sakit yang ada. Ajak dia buat memperbaiki keadaan. Nanti kalo anak Candra lahir, anggaplah dari awal lo emang nikahin duda," kata Rinjani tanpa mengalihkan pandangan dari area bermain anak-anak.

Kedengarannya sulit. Apa Rea bisa? Sungguh, dia tak yakin hatinya selapang itu.

Rinjani lalu melirik, senyum menggantung tanggung di bibirnya. "Tapi kalo lo nggak yakin dan nggak bisa ... lepasin," sambung Rinjani selagi menepuk-nepuk punggung tangannya. "Raga, jiwa, sama hati lo punya hak buat bahagia, jangan menyiksa mereka."

"Intinya bukan masalah Candra bakalan bahagia setelah kalian pisah. Ini tentang masa depan lo sendiri. Apa lo nggak berpikir ... Tuhan akan kasih pelangi abis badai yang Dia kirim mereda?"

Dua kali menelan pahitnya pengkhianatan, apa Rea masih punya nyali untuk mengharapkan manisnya kehidupan?

Dia takut dikecewakan. Lagi ....

"Bayangin aja dulu ... nanti lo ketemu sama laki-laki baik yang bisa nerima lo apa adanya. Kapan waktunya lo bakal dikasih kesempatan buat punya anak. Lo bisa ngerasain hidup full senyum tiap harinya. Bayangin, Re ... itu semua lebih berharga dari dendam yang lo pelihara. Lo dapet apa kalo udah berhasil ngancurin Candra? Buat ngebakar dia aja lo harus jadi kayu yang akhirnya ikut jadi abu."

Tepukan Rinjani di tangannya berhenti. Berganti dengan genggaman hangat yang sangat menenangkan.

"Dendam itu cuman bisa menjanjikan kebahagiaan semu. Luka lo tetep ada. Sakitnya juga tetep terasa. Pikirin baik-baik, Re ... gue nggak mau si peri yang baik hati berubah jadi monster jahat yang mengerikan. Karma buat Candra biar itu jadi urusan Tuhan."

Penjelasan Rinjani saat itu amat panjang, namun Rea mampu mencernanya dengan baik.

Kalau boleh jujur, dendam ini juga mencederai hati kecilnya. Dia yang biasanya bertindak bak malaikat yang mengobati mental masyarakat yang datang padanya, sekarang malah berusaha untuk menghancurkan mental orang-orang terdekatnya. Miris.

Rea lalu mendesah, panjang .... Kebimbangan telah hilang. Petuah-petuah Rinjani, saran-saran dari Rian, berhasil menyinari ruang hatinya yang kelam. Dia yakin ini keputusan yang terbaik untuknya, terlebih untuk Candra.

"Kamu kenapa, Yang?" Candra melirik aneh pada sang istri. Rea yang dikiranya tengah terlelap, malah seperti orang yang sedang menggumam.

Membuka matanya, pikiran Rea kembali ke masa sekarang. Dia lantas menggeser sedikit posisinya lanjut memeluk lengan kiri suaminya. "Nggak apa-apa."

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang