Lembar - 20

7.5K 904 71
                                    



Jadi begini ... rasanya dipaksa mengalah dan menuruti kemauan orang lain? Amat sangat menjengkelkan sekali.

Sumpah, sejak akhirnya harus setuju melepaskan Rea demi sang bunda dan nama baik keluarga, Candra sudah ratusan kali mengumpat. Mencoba menyalurkan amarah yang bergelung membentuk badai di dadanya.

"Shit!" Dia mengulangi lagi. Entah makian tersebut berada di urutan berapa di pagi hari ini. Candra tak sempat menghitungnya. Lagipula untuk apa dihitung kalau dia yakin umpatan-umpatan lain akan segera menyusul.

Dunianya berantakan. Teramat kacau-balau tanpa kehadiran Rea di sisinya. Bangun tidurnya terasa lemas, sepanjang hari apa saja yang dilakukannya tidak ada yang benar, dan malamnya ditutup dengan mimpi buruk.

Jangankan semangat, bernapas saja Candra malas.

Hidupnya serasa mati.

"Kamu kenapa, sih?!" Santi yang sedari tadi memerangkap tindak-tanduk sang putra dalam bola matanya, bertanya sembari mengerutkan dahinya. Mereka duduk di meja makan, tapi mulut Candra tidak mengunyah, melainkan mengumpat tak jelas.

"Lusa agenda sidang yang pertama. Kalau aku sama Rea nggak dateng lagi kayak sidang mediasi kemaren, mungkin cuma dua kali sidang, hakim udah ketok palu." Pengacara yang mengurusi perceraiannya, baru saja mengirimkan kabar tersebut. Ah, seandainya saja tidak ada janji sialan itu, sudah pasti dia akan hadir di pengadilan terus bersikukuh menolak bercerai. Sayang seribu sayang ... Candra telah menukar keutuhan rumah tangganya dengan kebebasan Santi.

Demi tak mendapatkan label anak durhaka.

"Itu kabar baik namanya," ujar Santi menanggapi. "Lebih cepat menikahi Hulya lebih baik. Sebelum perutnya keliatan buncit dan kalian jadi bahan omongan banyak orang." Dia lantas kembali memasukkan potongan roti panggang ke mulutnya yang sepagi ini sudah dihiasi polesan pewarna bibir.

Tak pelak Candra berdecak. Tidak sadarkah sang bunda jika sebelum Candra yang menjadi bulan-bulanan masyarakat, Santi telah lebih dulu mengalaminya? Bahkan meski sudah dua minggu berlalu dari kejadian penggerebekan itu, beritanya masih viral di mana-mana. Santi sampai belum berani keluar dari persembunyian.

"Aku belum kepikiran buat nikahin Hulya." Sebenarnya pernah terpikirkan hal itu bulan lalu, tapi sekarang tidak lagi. Kedudukan Rea ... di hati dan rumah ini tidak mungkin bisa digantikan oleh siapa pun, termasuk perempuan yang sedang mengandung anaknya sekalipun.

"Kamu ini lucu ...." Respon Santi keluar juga dalam bentuk kekehan singkat. "Siapa yang kemaren-kemaren ngotot buat nikahin Hulya karena udah terlanjur hamil? Siapa yang sering bilang pengen memberikan keluarga yang utuh buat anak kamu nanti?"

"Itu sebelum aku tau fakta yang sebenernya, Bun!" kata Candra sambil bangkit dari kursinya. "Aku nyesel sekarang."

Santi menipiskan penglihatannya. "Fakta tentang apa?"

Mendengkus, Candra memilih tak menjawabnya. Akan lebih baik jika itu tetap menjadi rahasia diantara dirinya dan sang istri. Dia lalu beranjak setelah menyambar tas yang ditaruhnya di kursi yang lain.

"Jangan lupa, nanti siang kamu harus temenin Hulya cek kandungan!"

Candra mendengar teriakan itu, tapi lagi-lagi dia tak berniat menyahuti. Euforia karena akan segera menjadi ayah entah kabur ke mana. Perasaan yang kini tinggal di hatinya hanyalah ... tersiksa.


*****


"Dok ... kira-kira anak kita cewek apa cowok, ya?"

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang