Lembar - 6

6K 785 57
                                    




Rea adalah cinta pertamanya. Mereka bertemu saat masih remaja. Candra awalnya hanya mengagumi cara berpikir Rea yang berbeda dari gadis seusianya.

Rasa kagum itu lalu berkembang menjadi rasa suka. Seiring berputarnya hari, minggu, dan bulan, akhirnya muncullah benih-benih cinta.

Cinta monyet.

Begitu dulu dia menyebutnya. Candra waktu itu tak pernah berpikir bahwa cintanya akan bertahan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Mungkin karena sikap Rea yang seringkali mengalah terasa bagaikan makanan lezat bagi keegoisannya, yang membuat dia merasa nyaman, yang di masa selanjutnya menjadikan cintanya tumbuh subur lalu mengakar kuat.

"Seandainya kamu tetap menjadi Rea yang penurut, kita nggak akan ada di posisi sulit kayak sekarang." Candra tidak sedang bermonolog. Dia yakin istrinya pasti terbangun sewaktu tadi dia mengoleskan obat. Candra tahu, Rea merupakan tipe orang yang mudah sekali terjaga lantaran suara-suara lirih atau sentuhan kecil sekali pun.

Jemari Candra kemudian merambati pipi sang istri. Pipi yang biasanya selalu penuh dengan bekas ciumannya. "Aku salah ... kamu juga salah ...."

Terbiasa dimengerti dan dituruti, Candra otomatis sangat kesal ketika Rea mulai membangkang. Dari hal-hal kecil seperti jam kerja yang tak masuk akal hingga masalah besar tentang keinginannya memiliki anak.

Candra jadi gampang tersulut emosi. Dinas luar kota yang dulunya tak pernah dipermasalahkan, belakangan dijadikan pemicu pertengkaran demi pertengkaran.

Sampai akhirnya Candra berada di titik murka lalu memutuskan berpaling pada Hulya.

"Aku lelah, Yang ... bisa kita akhiri aja?"

Tentu kehidupan pernikahan seperti ini tak diinginkan oleh semua orang, termasuk Candra. Siapa yang sanggup bertahan dalam rumah tangga yang laksana neraka? Dia hanya ingin hidup tenang. Bekerja, bercengkerama mesra bersama istri tercinta, kemudian menghabiskan sisa usia dengan anak-anaknya.

Sesederhana itu kemauannya.

Namun, Rea justru mempersulit semuanya.

"Kalau kamu tetap begini. Kamu yang bakalan paling menderita."

Perang dingin ini baru berlangsung dua hari, tapi luka Rea sudah banyak sekali. Tadi pagi di apartemen, sebetulnya Candra sadar hati istrinya itu pasti hancur.

Memang tidak semestinya Candra menyembunyikan Hulya di sana. Di area yang menyimpan sejuta kenangan mereka.

"Yang pertama harus kamu lakukan ... keluar dari sini!" Lima belas menit sejak kedatangan mereka tadi pagi, Rea sudah tidak seramah sebelumnya. Kalimatnya meluncur dengan dingin. Membuat Candra tak mampu memberikan perlawanan apa-apa untuk membantu Hulya. Sepertinya si perawat yang ngotot minta dinikahi memantik sedikit emosi istrinya.

"Nggak bisa, Bu ... saya nggak mungkin kembali ke kos."

Belum pernah sebelumnya, Candra melihat Hulya bicara seketus itu. Mukanya yang biasa kalem juga tampak mengeras.

"Aku bakalan beliin kamu rumah. Dan nanti kamu ditemenin sama seseorang," kata Rea melanjutkan.

"Nggak. Saya tetap mau di sini!"

Dada Rea tertarik ke atas. Agaknya istrinya itu tengah mengambil napas dalam-dalam. Selanjutnya, bibir Rea yang dipoles warna pink alami mendesis, "Tolong, jangan bikin aku marah ... aku nggak mau kamu tinggal lebih lama di sini."

Dia serta Hulya di ujung pembicaraan cuma bisa saling menatap tanpa berani mengemukakan pendapat apalagi sangkalan. Sudah pernah Candra katakan, Rea mempunyai sihir ajaib di mulutnya. Jika sihir itu sudah dikeluarkan, siapa pun orangnya akan dibuat tak berdaya.

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang