Lembar - 21

7.5K 825 122
                                    



Belum selesai usaha Rea dalam membujuk Candra supaya mau masuk ke dalam ruang pemeriksaan Hulya, keduanya tiba-tiba dikejutkan dengan bunyi ponsel yang berdenting berbarengan.

Rea yang pertama bergerak guna mengambil handphone dari tas selempangnya. Satu pesan masuk tertera di layar.

"Dari Kakek?" tanya Candra yang ternyata telah membuka mata. Dahinya berkerut dalam.

Menoleh, Rea lantas memberikan isyarat agar sang suami juga melihat siapa yang mengirim pesan ke nomor lelaki itu.

Candra lekas merogoh kantung celana kainnya. Dia mengeluarkan si benda pintar lanjut menyalakannya. "Bunda," katanya tanpa ditanya. Berikutnya, Candra mengulir layar sehingga pesan tersebut terbuka.

Bunda : Can cepet pulang. Kakek dateng ke rumah kamu. Bunda takut dimarahin. Bunda nggak berani keluar dari kamar.

Selesai membaca kalimat itu bersama-sama, ganti Rea yang mengusap ponselnya.

Kakek : Kakek ada di rumah kamu. Mau bicara penting.

Setelah memahami dua pesan yang telah mereka cerna, Rea dan Candra saling bersitatap tanpa suara. Keduanya sama-sama tahu ... akan menghadapi masalah baru.

Di detik selepas mereka akhirnya memutuskan untuk beranjak dari kursi, secara berturut-turut Hulya dan Elis keluar dari ruangan yang berbeda.

Rea bergegas menghampiri asisten rumah tangganya. "Kandungan kamu baik-baik aja, kan?" Dia sungguh mengkhawatirkan keluhan-keluhan Elis beberapa hari terakhir ini.

Elis tersenyum. "Baik, Bu ... kata dokter sakit pinggang buat ibu hamil itu wajar. Ini saya cuma diresepkan vitamin sama penambah darah. Bukan obat sakit pinggang."

"Syukurlah ...." Rea menarik sejumlah uang dari dalam tas selagi berbicara, "Elis ... saya ada urusan penting. Kamu bisa kan pulang sendiri?" Kemarin, Rea sempat membelikan Elis smartphone, jadi gadis itu dapat menggunakan aplikasi ojek online yang ada di dalamnya.

"Bisa, Bu ...," jawab Elis sambil mengangguk. Di kampung, dia terbiasa pergi ke mana-mana sendiri. Bahkan ke sekolah yang jaraknya puluhan kilometer saja dia berani.

Rea lantas memberikan puluhan lembar uang merah. "Ini buat bayar rumah sakit sama ojek." Dia mengusap sebentar lengan gadis manis di depannya. "Kamu hati-hati pulangnya."

"Iya, Bu ... Ibu jangan khawatir. Saya bisa kok."

"Ya sudah, saya pergi dulu."

Berbalik, Rea kemudian menyusuri lorong menuju tempat parkir kendaraannya. Tapi baru juga sepuluh meter dia berjalan, seorang pria sudah mensejajari langkahnya.

"Kamu pulang sama aku."

Rea mendengkus lalu tanpa mau repot-repot menoleh, dia menyahut, "Aku bawa mobil sendiri."

"Tinggal aja, nanti diambil Pak Tono."

Candra menawarkan solusi yang menurut Rea buang-buang waktu dan energi. "Nggak usah ngerepotin orang. Yang penting aku sampe ke rumah, kan?"

Rumit sekali rasanya sekarang hidup Candra. Semuanya serba sulit, bahkan hanya sekedar menghabiskan sisa-sisa waktu bersama istri sendiri saja susahnya bukan main.

Hampir tiap malam dia mengunjungi apartemen Rea selepas berdinas di rumah sakit, tapi tak pernah dibukakan pintu. Mau memaksa pun malu sebab di unit itu Rea tak sendiri, melainkan berdua dengan Elis.

Apa Candra harus sekarat dulu supaya Rea sudi menemaninya?

"Cuman jalan dari sini ke rumah aja kamu nggak mau, Yang ...? Apa aku semenjijikan itu di mata kamu?" Ayunan kaki Candra terhenti. Seluruh tubuhnya terasa lemas.

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang