Lembar - 4

7.5K 859 68
                                    




Pernah Rea berkeyakinan ... pengkhianatan yang terjadi dalam hidupnya tidak akan terulang. Cukuplah sekali dia berhadapan dengan simpanan papanya yang diselundupkan secara diam-diam ke dalam keluarga kecil mereka.

Namun faktanya kini, takdir tak sebaik itu. Badai bernama perselingkuhan kembali menerjang, dengan kekuatan yang lebih dahsyat dan berasal dari laki-laki yang juga Rea sayangi setengah mati.

Mengapa ... garis hidup begitu kejam padanya?

Mengapa ... pengkhianatan kedua harus ada padahal luka dari yang pertama saja masih terasa?

Mengapa?

Apa karena dulu Rea mampu menghadapinya dengan apik lalu sekarang Tuhan menganggap dia juga akan sanggup menyelesaikannya dengan baik?

Begitukah?

Baik, kalau memang itu suratan takdir yang mesti dilaluinya. Rea akan berusaha sama kuatnya seperti dulu. Rea akan menjalankan perannya dengan sempurna.

Namun, ada satu perbedaan yang sangat penting. Jika dulu tujuannya adalah merebut cinta pertamanya kembali. Saat ini, jelas bukan itu. Rea hanya bermaksud meneteskan setitik bara api di atas dada Candra dan Hulya.

Agar mereka tahu ... apa itu luka.

"Kenapa diem aja, Yang?" Rea menepuk paha Candra pelan. Suaminya itu tampak melamun. Tak juga mendapatkan atensi dari pria yang duduk bersebelahan dengannya, Rea lantas beralih memerhatikan Hulya.

Tadi saat dia mengatakan bahwa telah mengetahui hubungan terlarang diantara suaminya dan perempuan itu, Hulya terkesan tak terkejut. Rea jadi mengambil kesimpulan ... mereka berdua memang sudah merencanakan untuk memberitahunya tentang kondisi ini. Hanya saja Rea terlanjur tahu lebih dulu karena kebetulan yang tak terduga.

Rea cukup takjub mendapati reaksi Hulya yang bisa disebutnya congkak, dagunya mendongak. Sepertinya gadis itu benar-benar tidak punya malu. Tidak ada raut rasa bersalah di wajah yang tak lagi pucat. Hulya malah seolah terang-terangan ingin melawannya.

Oke, Rea akui ... musuh besarnya ternyata bukan tipe perempuan lemah. Tidak seperti simpanan papanya yang hanya bisa menunduk takut ketika mereka berbicara empat mata.

Menarik. Rea makin tertantang.

"Yang ...," panggil Rea sembari mengguncang paha sang suami. Dia mau Candra sendiri yang menjelaskan dari awal sampai akhir. Dia ingin melihat bagaimana reaksi Hulya ketika orang yang memberi harapan malah mencabutnya sendiri dengan paksa.

Candra menoleh lambat dengan pupil mata yang membesar, seakan tatapan itu berkata, bisa diam? Tapi apa Rea peduli? Tidak. Mau bola mata itu sampai menggelinding keluar pun, dia takkan terusik. "Ayo, bilang ...."

Tahu tak dapat lagi mengulur waktu, Candra akhirnya menatap Hulya dengan sorot mata sendu. Semoga perempuan yang sedang mengandung anaknya itu paham, dia benar-benar terpaksa. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti permainan Rea. Tapi Candra bertekad akan mencari cara, apa pun, supaya secepatnya Rea mau melepaskannya tanpa drama.

"Sus ...." Candra menjeda. Menarik napas panjang kemudian membuangnya perlahan. "Maaf ... saya nggak bisa menikahi kamu."

Senyum Rea melengkung indah saat dilihatnya mata Hulya yang kembali mendelik tak percaya.

"Ta-pi ... ke ... napa?" Hulya tergagap setelah sekian detik mencerna ucapan Candra. Apa-apaan ini? "Bagaimana dengan nasib anak dalam kandungan saya, Dok?"

Katakan bagaimana caranya Hulya sanggup menghadapi dunia? Keluarga ... kerabat ... dan teman-temannya pasti akan mencemoohnya habis-habisan kalau mereka tahu dia hamil tanpa suami.

LANGGENG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang