"Kumohon, Shishou."Tsunade dengan tegas menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak memberimu izin untuk berkelana. Rumah sakit masih membutuhkanmu, Sakura!"
Sakura tampak kecewa dengan keputusan Tsunade yang dinilainya diputuskan tanpa pikir panjang.
"Kupikir Shishou lah orang pertama yang akan mengerti alasanku untuk mengajukan izin cuti ini. Ternyata aku salah." Tangannya terkepal, menahan ledakan perasaan sedih dan kecewa.
Wanita di balik kursi hokage tampak tak bergeming. Dia tetap kekeh pada keputusannya.
Namun gadis bersurai merah muda ini tak kalah keras kepala. Ditatapnya mata Godaime Hokage dengan lantang, seakan hendak mengumumkan peperangan.
"Aku sudah melakukan tugasku lebih dari kata baik di rumah sakit. Tak sehari pun pernah ku lalaikan tugasku, selain saat mendapatkan misi yang tak lain dan tak bukan adalah perintah darimu, godaime-sama."
"Ck."
Sakura bisa mendengar Tsunade mendengus kesal, mendengar panggilan kebesarannya disebut.
Sedikit lagi. Ia hanya harus memancingnya sedikit lagi.
"Sudah 3 tahun, aku tidak pernah mengambil jatah cutiku, godaime-sama. Dan kupikir, ini adalah saat yang tepat. Tiga bulan tidak ada apa-apanya dibanding 3 tahun yang telah kuhabiskan di rumah sakit. Aku percaya, yang mulia godaime-sama tentu tidak akan merampas hak para shinobinya."
Ucapan sarkastik Sakura tampaknya sukses membuat Tsunade muak.
"Aku tidak mengerti kenapa kau sampai segigih ini ingin keluar desa—"
Tidak lagi. Jangan menatap dengan pandangan penuh simpati seperti itu, Shisou.
Tsunade menghela napas, sebelum melanjutkan ucapannya. "Kupikir kau sudah jauh lebih dewasa untuk menghadapi keadaan ini, Sakura. Tapi untuk kali ini, ternyata penilaianku salah." Wanita berambut pirang itu membalikkan kursinya, enggan menatap Sakura.
"Dua bulan. Aku memberimu waktu dua bulan. Pergilah kemanapun yang kau mau. Aku tidak akan menahanmu. Tapi kau tetap berkewajiban untuk melapor secara berkala, langsung kepadaku."
Sakura tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagianya.
"Saya pasti akan melakukannya, godaime-sama." Ia menunduk dalam-dalam, mengucapkan terimakasih dengan cara yang patut kepada seorang pemimpin desa.
"Berdirilah."
Sakura menurut. Tsunade sudah kembali membalikkan kursinya.
"Aku mengizinkanmu pergi sebagai pemimpin desa. Tapi sebagai gurumu, aku menentang hal ini."
Manik mata keduanya bertemu. Sakura dan Tsunade memiliki kepribadian yang tak jauh berbeda. Mereka sama-sama keras kepala, terlebih jika itu tentang keinginan mereka.
Acara pandang-memandang itu berlangsung cukup lama dan intens. Tidak ada yang mau mengendorkan tatapannya. Mata emerald Sakura menyorotkan keteguhan hatinya, yang lambat laun akhirnya membuat Tsunade mengalah, kalah.
"Apa kau akan pergi sendirian?"
Sakura mengangguk.
"Aku bisa membebas tugaskan Ino untuk pergi bersamamu—"
"Tidak perlu, godaime-sama. Aku tidak akan melibatkan shinobi lain untuk kepentingan pribadiku."
Sakura tahu bahwa Tsunade hanya sekedar berbasa-basi. Tentu saja saat ini tidak ada shinobi yang memiliki waktu luang untuk menemaninya berkelana selama dua bulan mendatang. Desa cukup sibuk belakangan ini. Dengan kepergiannya saja sudah cukup membuat Tsunade kelabakan mencari pengganti untuk mengisi kekosongan di rumah sakit, ia tidak akan merepotkan gurunya lebih dari itu.
Tsunade merapatkan jemari dan menopang lengannya di atas meja. "Kau gadis yang keras kepala, Sakura. Sepertinya aku harus mengakui kesalahanku, telah menurunkan sifat itu padamu." Sudut bibirnya terangkat. "Aku tidak akan menerima perpanjangan cuti. Jadi pulanglah tepat waktu!"
Sakura menatap gurunya terharu, dan tak kuasa untuk memeluk Tsunade yang masih duduk di kursinya. Ujung matanya memanas, menahan genangan air mata.
"Aku harap perjalanan ini akan memberimu jawaban mengenai hal yang selama ini selalu kau pertanyakan Sakura. Kau harus pergi dan kembali tanpa penyesalan."
"Terimakasih, Shishou. Terimakasih. Aku akan sering menghubungimu."
**
"Aku akan menemanimu, Itachi."
"Tidak perlu, Kisame. Aku butuh waktu untuk menyelesaikan sesuatu, ini tidak ada hubungannya denganmu.
"Kita adalah rekan satu tim. Kemanapun kau pergi, aku akan berada di sampingmu, Itachi."
"Aku menghargai kesetiaanmu, Kisame. Tapi aku juga ingin meminta sedikit pengertian darimu, hal ini, harus aku lakukan sendiri."
"Jika kau sudah bilang begitu, baiklah Itachi. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku."
"Terimakasih karena sudah mau mengerti."
"Kau harus selalu terhubung dengan Akatsuki, Itachi. Mereka mungkin memberikan kelonggaran waktu padamu, tapi kita tetap punya misi penting untuk di selesaikan."
"Kau tidak perlu khawatir, Kisame."
"Baiklah, jaga dirimu."
Kenapa Itachi kembali mengulangi percakapannya bersama Kisame? Tunggu dulu. Ia sudah pergi sejak pagi tadi, meninggalkan markas. Harusnya ia sudah sampai di desa tujuannya. Tapi kenapa, kenapa semuanya terlihat gelap?Langkah Itachi terhuyung. Kepalanya terasa sangat pusing. Bahkan penglihatannya mulai samar-samar. Ia memijit pelipisnya berulang kali, berusaha mengusir rasa nyeri yang tak kunjung beranjak dari kepalanya.
Sial. Ini benar-benar sakit.
Semenit kemudian, Itachi ambruk, terjatuh ke tanah.
Langit biru. Dia masih bisa melihat langit di atas sana. Langit yang selalu di pandangnya. Langit yang selalu jadi penghiburan atas segala penderitaan hidupnya.
Apakah sudah saatnya aku ke atas sana?
Perlahan, semua menjadi gelap. Satu-satunya suara yang dapat di dengarnya, hanya degup jantungnya sendiri. Namun, suara itu pun mulai terdengar samar. Ia menelan ludah, pasrah. Tubuhnya tak lagi bisa merasakan apapun.
Mungkin begini lebih baik.
"Hei, kau tak apa?"
Kenapa ia masih bisa mendengar suara?
"Tetaplah bersamaku, kumohon. Sadarlah!"
Tidak. Tidak mungkin. Ini pasti mampi. Atau, mungkin Itachi sudah berada di dunia yang lain. Ya, pasti begitu.
Itachi bisa merasakan seseorang menyentuh dadanya. Sentuhan itu terasa sangat nyata, begitu nyata. Rasa sakit perlahan tergantikan oleh kehangatan. Perasaan yang tak pernah lagi dirasakannya. Perasaan yang telah sengaja di lupakannya.
Kenapa datang lagi?
Matanya perlahan-lahan terbuka.
"Kau sudah sadar? Syukurlah! Jangan bergerak dulu, aku masih harus mengobatimu."
Suara itu terdengar sangat menenangkan.
Bayangan gelap yang menutupi penglihatannya berangsur-angsur menghilang, digantikan oleh cahaya putih yang menyilaukan.
Beberapa menit kemudian cahaya silau itu berganti menjadi siluet seorang perempuan. Perempuan dengan mata emerald yang indah. Mata itu menatapnya, dan, entah untuk alasan apa, ujung matanya menjadi berair.
Kenapa dia menangis?
Itachi menutup matanya lagi. Tubuhnya kembali merasakan sakit yang sama. Tapi kali ini, dia benar-benar kehilangan kesadaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Itachi : A Man Who Doesn't Want To Be Loved
FanficHidup hanyalah sebuah perjalanan panjang untuk menemukan sesuatu yang membuatmu yakin untuk tetap hidup. Namun tidak berlaku bagi Itachi. Jalan hidupnya sudah digariskan. Dari awal, sampai akhir, ia hanya punya satu tujuan. Mengorbankan hidupnya de...