BAB 7

115 14 3
                                    

Hari sudah berganti. Bahkan bulan dalam kalender masehi sudah berubah menjadi Desember, yang artinya sebentar lagi tahun ikut berganti. Namun dari banyaknya pergantian dan perubahan itu, sama sekali tak mengubah apapun pada Ara. Dia belum juga sadar sampai saat ini. Tubuhnya semakin kecil tak berdaging lagi. Tubuhnya hanya terbaring di atas kasur dengan peralatan medis yang masih lengkap melekat pada tubuhnya.

Di dalam satu kamar tamu yang telah disulap menjadi ruangan perawatan Ara,  yang berada di lantai paling dasar bangunan rumah itu, nampak seorang pria sedang duduk di kursi yang berada tepat di samping kanan tempat tidur Ara. Dia terus mengelus lembut tangan Ara yang tak berenergi, sesekali ia juga mencium tangannya dan mengusap pucuk kening Ara.
"Ucing, apa kamu tau, kalo kamu sudah 2 bulan ini nggak bicara sama aku? Aku udah kangen banget sama kamu, cing. Cepat sadar, ya. Aku nggak mau liat kamu kayak gini terus. Karna bukan kamu aja yang ngerasain sakit, tapi aku juga," kata Gun pelan sembari menatap wajah pucat Ara yang sebagian tertutup masker oksigen penuh perasaan.

"Papah," ucap seorang anak perempuan yang berdiri di tengah-tengah pintu sembari menatap Gun dalam. "Boleh Arika masuk, pah?" Tanya anak itu meminta ijin pada Gun. Gun pun mengangguk sembari tersenyum tipis padanya. Lalu Arika pun melangkah masuk dan menghampiri sang ayah.

"Ada apa sayang?" Ucap  Gun yang kini menarik tangan Arika dan membuatnya terduduk di pangkuannya. "Arika butuh sesuatu?" Tanya Gun seraya memeluk tubuh Arika dari belakang dan menaruh dagunya di bahu kecil sang anak.

"Eum..nggak ada, pah. Arika cuma pengen liat bunda aja," jawab Arika yang sedang menutupi sesuatu dari ayahnya.

"Bener?" tutur Gun yang ingin memastikan lagi. "Kalo ada apa-apa cerita sama papah ya, jangan dipendem sendiri. Karna kalo masalah cuma dipendem sendiri, ntar nggak selesai gimana? Malah buat Arika jadi tambah gede masalahnya," lanjutnya.

Arika jadi terdiam dan memikirkan ucapan papahnya itu. Di dalam kepalanya sekarang muncul beberapa pertanyaan yang menjadi keluh kesahnya sejak 2 hari lalu ketika miss Candha mengumumkan kalau akan ada acara khusus di sekolahnya dalam rangka merayakan hari ibu, dimana semua siswa harus memberikan persembahan bersama ibu mereka di hadapan teman-teman yang lain. Apa aku bisa mengikuti acara itu? Apa bunda akan sadar dan memberikan persembahan istimewa bersamaku di acara itu? Jika tidak, dengan siapa aku pergi ke acara itu? Aku juga ingin nilai tambah dari bu guru!

Akhirnya Arika menceritakan semua unek-unek yang ada di pikirannya pada Gun. Dia juga mengungkapkan keinginannya agar sang bunda bisa sembuh kembali seperti sebelumnya dengan tetesan air mata yang tak henti mengiringi ungkapan hatinya. "Grep.." langsung saja Gun memeluk tubuh Arika yang saat itu sudah berhadapan dengannya. "Sayang, kamu nggak perlu khawatir ya, bunda pasti akan sembuh. Arika pasti bisa dateng ke acara itu sama bunda. Dan Arika juga akan dapet nilai tambah dari miss Candha. Arika hanya perlu berdo'a untuk bunda sekarang, ya?" Kata Gun menahan perasaan sedihnya dengan memberikan sebuah kecupan lembut di pucuk dahi Arika.

Arika hanya mengangguk pelan dan kembali mengeratkan pelukan itu. "Ya Allah, Arika mau bunda sembuh. Arika mau bahagia kayak dulu lagi. Allah udah kasih bunda buat Arika, tapi kenapa Allah biarin bunda sakit selama ini? Sembuhin bunda, ya Allah. Sebagai balasannya, Arika bolehin Allah ambil apapun yang Arika punya. Asal jangan keluarga Arika," tuturnya dalam hati meminta pada Sang Kuasa untuk menyembuhkan ibunda tercinta.

"Ya Allah, aku sanggup menerima hukuman apapun dari-Mu. Asal Kau angkat semua rasa sakit yang istri hambamu ini sedang rasakan. Jangan hukum dia terlalu lama seperti ini. Pindahkan saja semua sakitnya padaku, agar dia bisa menikmati hidup ini lagi," ucap Gun yang juga berdialog dalam hatinya.

Memang benar apa yang tertulis di dalam Al-Qur'an, bahwa kekuatan yang paling kuat di dunia ini adalah do'a. Do'a yang ikhlas dan tulus dari hati, yang dipanjatkan hanya kepada Allah, penguasa seluruh alam. Tanpa kedua orang itu ketahui, mata Ara yang masih tertutup mengeluarkan sebuah cairan bening yang menetes dari pangkal matanya lalu mengalir pelan ke pipi sampai akhirnya hilang entah kemana, hanya menyisakan sebuah jejak saja di sana. Apakah ini akan menjadi sebuah pertanda baik untuknya? Entahlah, biarkan waktu yang akan menjawabnya.

●●●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Kalian percaya dengan kekuatan doa?
Apa itu sebuah tanda kesembuhan Ara?
Coba tulis di kolom komentar, ya!

See next part

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang