BAB 37

64 11 7
                                    

SEBELUM MULAI MEMBACA, PASTIKAN KALIAN SUDAH FOLLOW AKUN INI!
JANGAN LUPA KASIH BINTANG DAN KOMEN YG BANYAK, YA!

○○○
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit, mereka sampai di sebuah rumah minimalis yang hanya halaman rumahnya hanya mampu menampung satu unit mobil saja. Karena itu lah, Gun memarkirkan mobilnya di tepi jalan depan rumah itu.

Tanpa membuang waktu lama, ketiga orang itu berjalan menuju pintu utama yang menjadi akses keluar masuk penghuninya.

Rasa tak sabar pasti ada di lubuk hati Gun dan Ara, tapi apa jadinya nanti kalau Arika menolak pulang? Apa Gun bisa mendengar penolakan itu sendiri?
Ah, sudah lah tidak usah dipikirkan dulu. Yang penting mereka berusaha membujuknya.

"Klek," suara knop pintu yang dibuka diiringi kata salam dari Irwan dan diikuti oleh Gunara yang selalu berjalan di belakangnya beriringan.

"Wa'alaikumsalam," jawab seorang nenek dengan tongkat di tangan kanannya dengan raut wajah cemas yang nampaknya sudah sangat menanti kepulangan dari sang cucu.

"Awakmu soko ngendi wae tho, nduk? Mbah wes ngenteni, malah awakmu ora balik-balik!" Panik mbah tanpa menerima juluran tangan dari sang cucu.

"Maaf, mbah, semalam…"

"Wes, ora usah dijelaske! Saiki kamu ke Rumah Sakit wae! Liat keadaane anak wedok iku. Mbah khawatir sanget!" Potong Mbah dengan perasaan bercampur.

"Maksud mbah apa? Kenapa Arika di rumah sakit?" Tanya Irwan yang masih belum paham dengan perkataan mbah.

Langsung saja mbah menceritakan kejadian di dini hari tadi, saat Arika tiba-tiba menangis memanggil namanya sembari memegangi bagian perutnya, kesakitan.

Jelas saja Irwan terkejut mendengarnya. Dia bergegas keluar tanpa mengatakan apapun pada mereka, dan membuat Gun dan Ara mengikutinya dengan bingung karena mbah berbicara menggunakan bahasa jawa full saat menjelaskannya.

"Ara, Gun, ayok naik mobil saya aja. Kita harus cepat sampai. Semoga Arika tidak mengalami sakit yang serius," ucap Irwan yang sudah membuka pintu mobilnya.

"Apa yang terjadi sama Arika? Kenapa dia masuk rumah sakit?" Tanya Ara menatap paras Irwan dengan air mata yang siap turun.

"Saya tidak tau pasti, yang penting sekarang kita ke rumah sakit, dan cari tau kondisi Arika sekarang!" Jelasnya.

Ara pun mengangguk dan duduk di bangku depan bersama Irwan, sedangkan Gun menempati posisi belakang. Hatinya sama sekali tidak tenang. Firasatnya mengatakan kalau putrinya dalam kesulitan besar.

Ternyata, bukan hanya firasat seorang ibu saja yang kuat. Tapi firasat seorang ayah juga tak kalah kuatnya. Saat ini Arika sedang mengalami masa kritisnya. Gadis ini belum juga sadar sejak jatuh pingsan saat rumah dini hari tadi. Laporan pemeriksaannya sudah keluar saat ini.

"Arika harus melakukan transplantasi ginjal. Kita harus menemukan pendonor untuk dia secepatnya! Kalau tidak, kemungkinan hidupnya tidak akan lama lagi," ucap Irwan yang ditugaskan membaca laporan medis Arika.

Deg…terhentilah detakan jantung Gun selama beberapa detik setelah mendengar ucapan dokter spesialis bedah itu. Matanya membulat sempurna dan kali ini mulai memerah, menahan air mata kesedihannya. Tak berselang lama, air mata itu jatuh dibarengi tubuhnya yang juga jatuh terduduk di atas lantai yang dingin dan sedikit berdebu. Terguncang. Sangat, sangat, terguncang, Gun mendengarnya.

"Arika, anak papah, hiks hiks hiks," lirih Gun dengan perasaan hancurnya. "Jangan tinggalin papah, nak. Kamu dunia papah. Papah nggak akan bisa hidup tanpa kamu. Hiks hiks hiks," ucap Gun dengan bibir gemetar dan juga air mata yang terus membanjiri wajahnya.

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang