BAB 31

70 11 5
                                    

SEBELUM MULAI MEMBACA, PASTIKAN KALIAN SUDAH FOLLOW AKUN INI!
JANGAN LUPA KASIH BINTANG DAN KOMEN YG BANYAK, YA!

●●●
"Arika kami keluar kan dari sekolah ini. Dan ini surat keterangan yang menjadi alasan mengapa anak bapak kami keluarkan. Silahkan, pak," kata bu Livi selaku kepala sekolah SMP Wijaya Bakti sembari memberikan sehelai kertas putih pada Gun yang duduk di depannya.

"Saya sudah jelaskan kalau anak saya tidak bermaksud melukai teman-temannya dan membuat keributan disini. Tapi saya juga tau kalau anak saya bersalah, dan saya minta tolong beri kesempatan untuk dia. Saya akan pastikan kejadian ini tidak terulang kembali, bu. Tolong, beri kesempatan satu kali lagi untuk dia," pinta Gun dengan segala kerendahan hatinya.

"Ini sudah menjadi keputusan final kami, pak. Kami sebenarnya juga berat untuk mengambil keputusan besar ini. Terlebih, Arika anak yang pandai dan mempunyai banyak prestasi yang tidak dimiliki anak-anak lain. Tapi dengan mempertahankan dia untuk tetap di sini juga sangat berat." Jelas kepala sekolah itu.

Sungguh, Gun sangat sedih menerima kabar ini. Perasaannya sangat bercampur. Apa jadinya jika sang putri mengetahui hal ini. Pasti dia jauh lebih sedih daripada dirinya. Sekolah ini adalah sekolah terbaik di kota padat penduduk ini. Banyak anak-anak yang menginginkan belajar di SMP favorit itu, termasuk Arika. Namun karena kesalahannya di hari ini, anak itu harus kehilangan kesempatannya untuk belajar dan menimba ilmu di sana.

Merasa tak bisa memberi pembelaan lagi untuk sang anak, Gun pun meninggalkan ruangan itu lalu mengajak Arika yang duduk terdiam  di depan kantor itu pulang tanpa mengucap satu katapun padanya tentang alasan dirinya dipanggil menghadap sang pemimpin sekolah. Meskipun ya, sedikit banyaknya Arika tau kalau ayahnya dipanggil karena kelakuannya tadi. Pasti dia sangat kecewa padanya, pikir Arika.

"Apa kata bu Livi, pah?" Ucap Arika lirih seraya menoleh kearah Gun yang sedang fokus mengemudi.

Gun menggeleng lalu berkata, "Tidak ada, sayang," katanya dengan senyum terpaksa.

"Jangan bohong, pah. Semuanya pasti nggak baik-baik aja, kan?" Tukas Arika pelan.

Gun menghela nafas terlebih dahulu sebelum memberi penjelasan, "Mungkin sekarang nggak baik, tapi nanti juga akan membaik," jelas sang ayah berusaha menghilangkan kekhawatirannya.

"Kamu tenang aja, papah pasti akan cari sekolah yang nggak kalah bagusnya dengan sekolah kamu itu. Papah janji." Cetus Gun yang tentu saja membuat Arika terkejut setengah mati.

"Apa maksud papah? Kenapa harus cari sekolah lain?" Tanya Arika dengan mata yang membulat dan juga nafas yang tak beraturan.

Gun membisu saat diberi pertanyaan itu. Bahkan dia tak sanggup untuk menggerakkan anggota tubuhnya lagi dan membuat mobil hitamnya mematung di tengah jalan.

"Jawab, pah!" Tekan Arika yang kini memegang erat lengan kiri Gun dengan memberi sedikit goncangan di sana.

"Maaf, sayang, papah nggak bisa mencegah ini untuk tidak terjadi sama kamu. Tapi mereka sudah memberi keputusan yang final, kalau kamu dikeluarkan dari sekolah." Ungkap Gun membuat Arika semakin terkejut dan terguncang mendengarnya.

Tidak bisa dibohongi, perasaan Arika sangat sedih saat itu. Bahkan beberapa butir air matanya berjatuhan melintasi pipinya yang mulus terawat itu. Gun juga merasakan hal yang sama dengannya. Matanya berkaca-kaca sejak Arika mengajaknya bicara.

"Semua ini terjadi gara-gara dia! Sejak dia muncul lagi, hidup aku jadi nggak bisa bahagia. Pertama dia merusak pesta ulang tahunku. Lalu dia buat aku dan juga papah bertengkar. Dan sekarang, dia mengambil teman-temanku. Bahkan parahnya lagi, wanita itu ngebuat aku kehilangan sekolah impianku. Aku benci wanita itu, pah! Aku benci dia!" Tutur Arika menatap paras sang ayah dengan segala emosi yang ada.

"Kalau saja dia mati saat kecelakaan itu, pasti semuanya akan jauh lebih baik!" Lanjutnya dengan tatapan tajam dan juga merah.

Tentu saja ucapan itu mengundang amarah Gun berkali-kali lipat. "Arikaaaaa! Bicara yang baik! Atau kamu mau tangan papah ini nyadarin kamu lagi!" Pekik sang ayah dengan tangan kanannya yang sudah terangkat setinggi telinga.

Gemetarlah tubuh anak gadis itu. Bukan karena takut, melainkan rasa bencinya pada wanita itu yang kembali bertambah. Kedua telapak tangannya mengepal erat, suara nafas yang ia hembuskan pun dapat terdengar jelas, begitupun matanya yang semakin merah jadinya.

"Terus aja, pah. Terus aja papah belain mantan istri papah yang payah itu! Aku tau kalau papah masih suka sama wanita itu. Papah juga masih berharap dia kembali. Dia sudah kembali, pah. Tunggu apa lagi? Cepat nikahi dia. Buat dia menjadi milik papah lagi. Dan buang saja putri papah yang sulit diatur ini. Buang saja, pah! Lagi pula aku ini sampah yang sama sekali tidak berguna lagi di hidup papah, kan?" Ucap Arika semakin memuncak.

Mengatur nafas dan mencoba tenang, adalah dua hal yang Gun lakukan saat ini. Dia paham kalau sebuah api bisa padam jika terkena air. Menanggapi perkata  Arika sama saja menyalakan sumbu api yang lebih besar untuknya. Perlahan dia menurunkan tangannya dan kembali memegang stir lalu menancapkan gas dan membuat mobil itu bergerak kembali.

Semakin hari, semakin sulit saja bagi Gun untuk mengendalikan putri kesayangannya itu. Mengapa Tuhan memberi ujian seperti ini padanya jika bukan untuk menambah rasa sabarnya.

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Parah banget anak yang satu ini

Komentar kalian?

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang