BAB 40

80 12 6
                                    

SEBELUM MULAI MEMBACA, PASTIKAN KALIAN SUDAH FOLLOW AKUN INI!
JANGAN LUPA KASIH BINTANG DAN KOMEN YG BANYAK, YA!

●●
Ara terdiam beberapa saat setelahnya. Lalu dia cepat-cepat melepaskan tangan Iqbal dari lengannya disambung mengusap pipinya guna menghilangkan jejak air matanya dan berkata, "Baiklah kalo emang itu yang kamu mau. Aku juga akan mengakhiri hubungan palsu ini!" Seru Ara melototkan matanya pada Iqbal.

"Ambil ini! Benda ini sudah nggak ada artinya sekarang. Seperti cinta diantara kita!" Tukas wanita ini sembari mencopot cincin yang terpasang di jari manis tangan kirinya.

"Apa yang kamu lakukan, Nis? Jangan lepas cincin itu! Itu cincin tanda cinta aku ke kamu!" Sergah Iqbal menarik paksa tangan Ara hingga tubuhnya jatuh di dada bidang dokter ini.

Waktu terasa berhenti saat itu juga. Kedua orang itu saling bertatapan dengan jantung yang berdegup kencang. Memori akan kebersamaan mereka kini muncul di pikiran Iqbal. Sedangkan rasa kecewa dan amarah muncul di hati Ara. Matanya berubah jadi lebih merah kali ini. Lantas dia mengatakan banyak hal tanpa berpikir terlebih dahulu saking kecewanya.

"Cinta itu nggak penting kan? Yang penting bisa mendapat keturunan. Buat apa aku pake cincin ini? Sudah nggak ada artinya kan? Lebih baik kamu simpan atau kasih ke perempuan lain yang lebih sempurna daripada aku! Yang bisa cinta sama kamu, yang bisa memenuhi hasrat kamu, yang bisa jadi pahlawan penyelamat keturunan keluarga Salim, dan punya segala-segalanya melebihi aku! Berikan itu pada dia!" Pekik Ara lalu mendorong pelan tubuh Iqbal hingga keduanya saling berjauhan.

Setelahnya, Ara cepat-cepat melepas cincin pemberian Iqbal yang sudah tiga tahun tersemat di jarinya itu dan menjadikannya lumayan sulit lepas. Dia mengerahkan semua tenaganya untuk melepas benda itu dan akhirnya berhasil. Sedikit ada senyum di bibirnya saat itu.

Perlahan tangannya meraih tangan kanan Iqbal lalu membuat telapak tangan pria itu membuka kemudian dia menaruh cincin itu di atasnya sambil berkata, "Aku cuma punya cinta dan mimpi untuk bahagia. Terimakasih sudah mau berjalan bersamaku." Katanya pelan namun menusuk dengan kedua bola matanya yang menatap sayu wajah Iqbal lalu memutar tubuhnya, membelakangi Iqbal dan kembali menangis seraya melangkah pergi.

Iqbal pun tak bisa berkata lagi. Pemuda itu hanya bisa menatap kepergian Ara dengan tetesan air mata yang mulai jatuh dari pangkal matanya kemudian menggenggam cincin itu dan mendekapnya erat di atas dadanya.

"Maaf, Nis, maaf. Aku menolak bukan karena aku tidak cinta lagi sama kamu. Tapi aku tidak bisa menerima keadaan kamu yang seperti ini," lirih Iqbal diiringi tangis kemudian meninggalkan tempat bersejarah tersebut setelah melempar tanda cintanya pada Ara ke gulungan ombak yang menyeretnya sampai ketengah laut lepas sana.

Tidak ada yang mudah di dunia ini. Bahkan untuk mencintai apalagi untuk kehilangan cinta. Tapi bukankah ini adalah sebuah keseimbangan? Dimana kita berani bercinta maka disitu pula kita berani putus cinta.

Beberapa menit kemudian, mobil merah kesayangan Ara sudah terparkir di halaman rumah tepatnya di bawah pohon pucuk merah yang tingginya dua kali tinggi orang dewasa pada umumnya. Terlihat pula pemilik mobil itu sudah berdiri di depan pintu rumah Evi yang berbahan dasar kayu dan setengahnya kaca. Tangan kanannya hendak meraih gagang pintu itu, tetapi belum sempat terjadi, seseorang sudah terlebih dahulu meraihnya dan membukakan pintu untuknya dari dalam rumah.

"Klek," kira-kira seperti itu suaranya.

"Nisa. Akhirnya kamu balik juga, gek. Iwa khawatir banget sama kamu," kata wanita di balik pintu itu pada Ara.

Tidak ada respon yang Ara berikan pada Evi saat itu. Wanita yang baru saja putus cinta tersebut langsung melenggang masuk dengan tatapan mata yang kosong dan sukma yang berhamburan. Tentu hal ini membuat Evi mendesak bertanya tentang apa yang terjadi padanya saat ini.

"Semua udah berakhir, iwa. Semuanya udah berakhir!" Jawab Ara dengan air mata yang kembali turun dari pangkal matanya. "Aku kira ini masih bisa diperbaiki. Tapi aku salah. Aku salah, iwa!" Lanjutnya menatap dalam wajah Evi yang sudah memasang muka tegasnya.

"Sudah iwa duga dari awal. Dan kamu juga sudah berjanji untuk tidak berharap lagi pada dia, kan? Jadi, lupakan dia dan simpan air mata kamu. Jangan dibuang untuk menangisi kepergian dari orang yang tidak pernah tulus mencintai kamu!" Nasihat Evi sembari menggenggam kedua telapak tangan Ara, mencoba menyalurkan kekuatan untuknya.

Ara menggeleng pelan sembari mengatupkan kedua matanya dengan erat sehingga air matanya terbendung beberapa detik dan berkata, "Hati aku nggak bisa bohong, iwa. Aku masih berharap banyak sama dia..hiks hiks hiks," jujurnya menangis sesenggukan. "Aku masih cinta dia, hiks hiks hiks.." imbuhnya setelah terjeda dua detik.

Melihat tangisan Ara yang semakin menjadi, lantas saja Evi memeluk tubuhnya dan mendekap erat di atas dadanya tanpa bicara apapun lagi. Dia mencoba menghentikan tangisan Ara dengan kasih sayang yang ia curahkan saat itu.

Selama kurang lebih tiga menit lamanya Ara berada di pelukan Evi, kini dia merasa sedikit lebih tenang. Tanpa sengaja dia menyeletuk, "Kenapa takdirku begitu kejam seperti ini, iwa?" Celetuknya  pada Evi dalam posisi yang masih sama.

Belum sempat Evi menanggapi pertanyaan itu, sudah ada orang lain yang mendahuluinya. "Takdir tidak pernah kejam kepada kita. Pikiran buruk kita lah yang membuatnya menjadi terlihat sekejam itu," tutur seorang pria yang sedari tadi diam dan tak diperhatikan keberadaannya oleh Ara.

Suara itu sangat familiar di telinga Ara. Perlahan dia mengangkat kepalanya lalu menjauhkan tubuhnya sepuluh senti dari Evi dan menoleh kearah sumber suara itu.  "Apa pikiranku selalu buruk sampai-sampai aku selalu merasa  kalau takdir hanya membuatku terluka dan sengsara seperti ini?" Ujar Ara pada pria itu dengan kedua alis yang diturunkan.

Pria yang tak lain adalah Gun ini pun terlihat menghela nafas panjangnya sebelum menjawab, "Jika memang benar seperti itu, tandanya kamu harus menghilangkan pikiran buruk itu!" Serunya dengan pupil membesar. "Menyalahkan takdir sama saja kamu menyalahkan Tuhan. Itu juga berarti kamu tidak mengimaninya. Bagaimana bisa orang yang tidak beriman hidupnya merasa bahagia? Itu mustahil, Ra!" Lanjutnya mencoba memberi penjelasan pada Ara.

Tentu wanita yang ada di hadapan Evi jadi terdiam dan mulai mencerna ucapan Gun dengan terus memikirkannya sampai dia berada di dalam kamar yang tak bercahaya tanpa seorang teman lagi. Kesunyian pun ia dapatkan dengan sempurna. Dan dari itulah semua memori akan perjalanan hidupnya yang penuh duka dan sedikit suka kembali terbuka. Dimulai dari kehilangan sang ibu, lalu cinta dan mimpinya, kemudian sang ayah, sahabat sejatinya, calon anak pertamanya, kehancuran hubungannya dengan sang suami, menghadapi kebencian dari Arika, dan sekarang harus menghadapi kehancuran hubungannya dengan sang calon suami. Semua itu cukup membuatnya terluka dan putus asa.

"Aku hanya manusia yang lemah, ya Allah. Kenapa Kau mengujiku dengan semua cobaan ini? Apa yang sebenarnya ingin Kau tunjukkan padaku, ya Allah!" keluh Ara berisak sembari mendongakkan kepalanya dengan air mata yang turut mengiringinya.

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Vote dan komennya ditunggu

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang