BAB 10

105 12 0
                                    

"Sayang, udah waktunya makan siang nih. Kamu makan ya?" Tawar Gun pada Ara yang sedang duduk di tepi kasur dengan pandangan matanya yang kosong. "Ucing, are you hear me?" Tanya Gun seraya menyentuh bahu Ara sehingga lamunannya pecah.

"Eh, iya ndi. Ada kenapa?" Respon Ara menatap wajah Gun yang sudah duduk di samping kanannya.

"Hem, udah waktunya makan. Kita turun ya," ulang Gun dengan senyuman tipis.

"Oh, iya. Kamu aja yang turun, ndi. Aku nggak laper. Lagian kalo aku turun, nanti kamu repot lagi," jawab Ara pelan.

"Huft..aku bawain kesini ya? Kita makan di sini," cetus Gun menyumbangkan ide.

Ara terlihat berpikir lumayan lama saat itu. Hingga akhirnya ia setuju, namun Gun harus memenuhi permintaannya. "Tolong bawain hasil USG kemarin, ya. Aku ngerasa tenang kalo liat anak kita," pinta Ara pada Gun dengan tangan yang bercengkrama dengannya. Gun hanya mengangguk dan membawakan apa yang istrinya inginkan. Setelah hasil itu sudah ada ditangan Ara, Gun keluar dengan perasaan bercampur. Ingin sekali air matanya jatuh ketika melihat senyum bahagia Ara yang sedang menatap vidio USG calon anaknya yang sudah meninggal akibat kecelakaan maut di hari itu. Sampai saat ini Gun belum berani untuk mengatakan tentang kebenaran itu. Entah apa yang terjadi jika Ara sampai tau tentang itu. Mungkin semangat hidupnya akan hilang lagi.

"Tok tok tok," suara pintu kamar Ara yang diketuk.

Mata Ara yang sewaktu itu fokus menatap layar laptop pun berpindah haluan pada pintu itu. "Iya, masuk," kata Ara mempersilahkan orang yang ada dibalik pintu berbahan dasar kayu untuk masuk.

"Klek" pintu itu terbuka dengan perlahan hingga sedikit demi sedikit orang itu dapat dilihat Ara. "Bunda," sapa orang itu yang tak lain adalah Arika, padanya dengan pelan.

"Eh, sayang. Sini. Bunda lagi liat dedek nih. Arika mau liat nggak?"

"Eum, mau bunda," jawab Arika sembari mengangguk dan menyeringai senang, lalu memanjangkan langkahnya dan yang terakhir mendudukkan bokongnya di atas kasur yang sama dengan Ara, tepatnya di samping kirinya. "Itu dedek Arika ya, bunda? Masih kecil banget yah," kata Arika menunjuk ke arah layar laptop yang sedari tadi menjadi pusat perhatian Ara.

"Iya, sayang. Itu adek Arika," respon Ara seraya melebarkan senyumnya. "Adek lucu nggak?"

"Eum, iyah. Adek lucu banget. Arika jadi pengen ketemu sama adek. Tapi sayangnya udah nggak bisa," ungkap Arika dengan mimik wajah yang berubah jadi sedih.

"Maksud kamu apa, sayang? Kan emang kita harus nunggu beberapa bulan lagi, baru bisa ketemu sama adek. Jadi, kita harus sabar dan nggak perlu sedih. Oke?" Jelas Ara mendikte kalimatnya.

"Emangnya bisa, bunda? Kan adek udah pergi jauh dan jadi bintang. Emang Arika bisa ketemu adek lagi?" Cetus Arika dengan kepolosannya yang memantik rasa amarah sang bunda.

"Kamu ini bicara apa si? Kamu doain adek supaya pergi? Kamu nggak suka ya, sama adek? Bunda sama sekali nggak nyangka kamu bakal benci sama adek kamu sendiri, Arika! Sampai-sampai kamu ngomong begitu ke bunda!" Murka Ara yang menajamkan pandangannya pada Arika.

"Enggak, bunda. Arika sayang sama adek. Arika juga udah janji bakal jagain adek. Tapi adek malah ninggalin kita duluan," kata Arika penuh pembelaan.

"Cukup ya, Arika! Bunda nggak mau denger kamu ngomong kayak gitu lagi! Keluar sana! Bunda nggak mau ketemu kamu lagi!" Bentak Ara diakhiri usiran yang membuat hati Arika sangat terluka.

Selama ini Arika tak pernah mendapat perlakuan kasar itu dari Ara. Namun di siang hari itu, Ara dengan teganya membentak serta mengusirnya dari kamarnya. Jantung anak kecil itu berdegup kencang serta tubuhnya gemetar hebat saking takutnya. Pandangan matanya juga langsung ia turunkan setelah usiran kedua dari sang bunda. Lantas saja ia bangkit dari duduknya dan berlari keluar dengan tetesan air mata yang sudah tak bisa dibendungnya lagi. Karena kurang kehati-hatiannya, gadis kecil ini tak menyadari kalau ada sang ayah yang sedang berjalan dengan kedua tangannya yang membawa nampan berisi makanan dan membuat dirinya berbenturan dengan tubuh sang ayah yang kekar itu.  Sontak saja langkah Gun terhenti ketika Arika menabrak dirinya sembari menyeimbangkan benda yang berada di atas nampannya yang sudah goyang dan hampir jatuh.

"Astaghfirullah, sayang. Jangan main lari-larian di dalem rumah dong. Untung kamu nggak jatuh!" Kata Gun dengan nada tinggi, namun perhatian.

"Maafin Arika, pah. Arika nggak sengaja," jelas Arika sesenggukan dengan pandangan matanya yang terus ia tujukan kebawah.

Gun yang menyadari putri kesayangannya itu meneteskan air mata pun langsung menyetarakan posisi tubuhnya dengan Arika sambil bertanya, "Hey, sayangnya papah. Kenapa nangis? Papah nggak marah kok sama Arika. Maaf yah, tadi papah ngomongnya agak ngebentak," ucap Gun yang sudah memegang tangan kiri Arika dan menatap dalam matanya yang terus mengeluarkan air mata.

"Iya pah, nggak papa," respon Arika sembari menyeka tangisannya dengan bibir dan tubuhnya yang masih gemetar.

"Ada apa, sayang? Papah lihat, kamu kayak ketakutan gitu? Coba cerita ke papah," cetus Gun dengan insting kebapakannya.

Dengan cepat Arika menggelengkan kepalanya tanda menolak untuk bercerita pada sang ayah karna tak mau menambah masalah yang ada. Menurutnya, hanya dia saja yang perlu tau apa yang sedang dirasakan hatinya. Setelah itu, Arika berjalan menuju kamar sedangkan Gun melanjutkan langkahnya menemui sang istri dan berjanji akan menyusul Arika setelah urusannya bersama Ara selesai.

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Kenapa kebenaran selalu pahit?
Karena yang manis itu janji kamu.

Tambah nyesek nggak?

See next part, Readers⚘️
Tinggalin bukti kalo kalian udah baca cerita ini dengan follow, vote, komen, and share👌

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang