BAB 11

92 11 2
                                    

"Sayang...makanan sudah siap." Tutur Gun yang memanjangkan nada bicaranya seraya membuka pintu dan berjalan menghampiri Ara yang nampak datar saja melihatnya. "Nih, mau makan sendiri atau mau disuapin biar nambah enak?" Tawar Gun sedikit menggoda.

Ara masih tak meresponnya dan membuat Gun berinisiatif untuk memberikan suapan padanya. Namun suapan yang baru setengah jalan itu dihentikan Ara. "Apa maksud ucapan Arika? Kenapa dia bilang seperti itu sama bayi kita?" Ketus Ara tak terima dengan tangan kanannya yang sudah menggenggam tangan kanan Gun sementara pandangan matanya sudah menajam saat ini.

Gun yang mendapat pertanyaan itu dibuatnya menjadi bingung. Dia sama sekali tak tau menau apa yang Arika katakan pada Ara, sehingga dia merasa tak terima seperti itu. "Maksud kamu apa si, cing? Emangnya Arika tadi disini?" Jawab Gun kembali bertanya.

"Iyah. Dia di sini tadi!" Sahut Ara ngegas. "Aku sama sekali nggak suka sama dia ya, ndi. Tega-teganya dia bilang kalo kita nggak bakal ketemu lagi sama adeknya. Dia juga bilang kalo adeknya udah jadi bintang dan jauh dari kita. Apa coba maksud dia? Bayi kita baik kan, ndi? Kemarin kita baru aja cek kan di dokter?" Tutur Ara meminta penjelasan.

Deg...jantung Gun berhenti sesaat kala itu. Matanya membulat sempura dengan pandangan yang kosong sesaat. Tak disangka Arika akan mengungkap tentang adiknya dihadapan Ara meskipun itu disengaja atau tak sengaja. Mulut Gun seperti terkunci saat itu. Dia bingung harus mengatakan apa pada istri tercintanya. Apa perlu dia berbohong lagi atau kali ini dia harus jujur padanya? Entahlah, posisinya sudah sangat tersudut kali ini.

"Kenapa kamu diam, ndi? Aku butuh jawaban dari kamu! Diamnya kamu ngebuat aku ngerasa kalo ada yang kamu sembunyiin dari aku. Apa itu tentang bayi kita?" Tandas Ara yang terus mendesak dan mulai emosi. "Jawab, ndi!" Seru Ara yang sudah memindahkan tangannya di kerah baju Gun sembari mencengkramnya erat dan menggoyangkannya agar Gun mau buka mulut.

Dari itulah, emosi Gun ikut terpancing. Dia menaruh piring dan alat makan yang ada di tangannya di atas meja yang berada hanya 30 senti dari posisinya. Perlahan tangannya naik dan meraih kedua tangan Ara yang mencengkram kerah bajunya dan membuatnya sedikit tercekik kala itu. "Apa yang akan kamu lakukan setelah kamu tau jawabannya?" Ucap Gun satu nafas sembari melepas tangan Ara dari dirinya. "Apa kamu juga akan buat aku nangis, sama seperti yang kamu lakukan pada Arika?" Tukas Gun membuat Ara celingusan.

"Enggak. Siapa yang buat dia nangis. Aku nggak ngapa-ngapain dia kok! Lagipula, ibu mana yang akan rela kalo ada orang yang ngomongin hal buruk pada anaknya? Enggak ada kan?" Jawab Ara membela diri.

"Enggak usah ngebela diri kayak gitu! Aku tau, Arika pasti nangis gara-gara kamu kan!" Kata Gun menghakimi Ara.

"Loh, kok kamu malah nuduh aku si, ndi? Yang salah disini itu Arika! Aku cuma nggak mau ada orang yang ngatain bayi kita, apalagi berdoa yang buruk sama dia! Apa aku salah kalo aku marahin anak itu? Aku cuma ingin bela bayi kita!"

"Terus apa aku salah juga, kalo aku bela anak aku? Enggak kan?" Sahut Gun yang menambah suasana jadi runyam.

"Apa yang Arika katakan itu sama sekali nggak ada salahnya. Dia ngomong apa adanya. Bayi kita memang sudah meninggal sejak 2 bulan lalu. Dia sudah bercampur dengan tanah saat ini! Dan semua itu bukan karna doa Arika atau siapapun orang yang nggak suka dengan kehadiran dia. Tapi ini salah kamu! Harusnya kamu bisa jaga dia! Dan kalo kamu bilang Arika itu tega, kamu salah besar! Justru kamu yang tega udah marahin dia, sementara dia mencoba ngejelasin kepergian adeknya dengan kata-kata yang halus," jelas Gun menahan amarah dan juga sedihnya. "Dan satu lagi. Meskipun dia sedih bahkan mungkin kecewa sama kamu, dia sama sekali enggak cerita sama orang lain. Dia pendem semuanya sendiri, Ra! Dan hari ini aku bisa bilang kalo aku juga sama kecewanya dengan dia!" Tutur Gun dengan mata berkaca-kaca kemudian pergi meninggalkan Ara seorang diri di dalam kamarnya yang kini juga sudah meloloskan air matanya.

"Kenapa? Kenapa ini terjadi! Kenapa Kau selalu mengambil kebahagiaan yang aku rasakan! Apa sebenarnya dosa yang ku buat, sehingga semua orang yang menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaanku meninggalkanku secepat ini!" Tangis Ara diiringi suara barang-barang yang dijatuhkannya. "Haaaa" teriak histerisnya memecah siang hari yang panas ini.

Jarum jam terus berputar kearah kanan. Bumi yang tadinya terang benderang, kini menjadi gelap gulita. Burung-burung pun sudah berterbangan, kembali ke rumahnya. Namun, Gun belum kembali juga setelah percekcokannya dengan Ara. Dia masih berdiam diri di bawah pohon ketapang yang berada di tepi pantai. Matanya terus menatap ke arah gulungan ombak yang memecah karang dengan tubuh bagian belakangnya ia sandarkan pada batang pohon itu. Pertengkarannya dengan Ara malah membuat dirinya teringat dengan sang mantan istri. Selama hubungannya berjalan, tidak pernah ada satu pun pertengkaran diantara mereka. Mungkin itu terjadi karna dirinya dan juga Aulia, sang mantan istri sudah sama-sama dewasa dan siap mengarungi bahtera rumah tangga. Berbeda dengan pernikahannya dengan Ara yang bermula dari sebuah perjodohan tanpa ada rasa ketertarikan diantaranya. Meskipun pada akhirnya dia harus berpisah dengan Aulia karna alasan yang masih tabu menurutnya. Kalau masih diberi waktu untuk bersama, pasti Gun tidak akan menyiakan waktu itu. Jujur, dia masih menyimpan rasa cintanya pada Aulia sampai saat ini.

Angin bertiup semakin kencang. Membuat dedaunan bergoyang tak beraturan bahkan sampai ada yang terjatuh akibat tak kuat pegangan. Gun mulai merasakan hawa dingin yang teramat dalam tubuhnya yang hanya mengenakan kemeja formal berwarna putih dengan celana hitamnya yang panjang sebagai busana setelannya hari ini. Pria yang sudah terduduk selama kurang lebih 7 jam di bawah pohon ketapang itu pun bangkit dan meninggalkan tempat nyamannya. Terlihat suasana pantai di malam itu sudah sepi. Pedagang-pedagang yang sedari tadi menghampiri Gun dan menawarkan dagangannya pun sudah mengemasi barang dagangannya. Sepertinya, tinggal Gun saja pengunjung yang belum keluar dari tempat wisata itu. Pria bertubuh kekar itupun masuk kedalam mobil kemudian berlalu.

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
.
Rumah tangga memang rumit, karena harus menyatukan dua pikiran dan ego di dalamnya.

See next part, Readers⚘️
Tinggalin jejak di cerita ini ya

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang