BAB 27

105 12 6
                                    

SEBELUM MULAI MEMBACA, PASTIKAN KALIAN SUDAH FOLLOW AKUN INI!
JANGAN LUPA KASIH BINTANG DAN KOMEN YG BANYAK, YA!

○○○
"Makasih, ya, om. Om udah nganterin Arika pulang. Arika janji, Arika akan minta maaf sama papah. Arika juga nggak akan kabur-kaburan lagi. Arika akan berusaha jadi anak yang patuh sama orang tua." Kata Arika pada Irwan di depan gerbang rumah megahnya.

"Hem, sama-sama anak baik. Om seneng dengernya," balas Irwan tersenyum lebar. "Ya udah, kamu masuk sana. Pasti papah kamu udah nungguin di dalem."

"Iya, om. Sekali lagi terimakasih,"

Irwan pun mengangguk dan tersenyum pada gadis itu. Lalu dia pergi setelah mendapat pelukan manis dari Arika dan juga salam perpisahan yang sedikit mengandung bawang darinya.

Arika masih berdiri di depan gerbang itu, memandangi mobil silver sang dokter yang mulai menjauh dari pandangannya, sampai akhirnya menghilang tanpa jejak.

Gadis yang baru pulang setelah satu hari meninggalkan rumah itupun mulai melangkah masuk setelah pintu gerbang berbahan dasar besi setinggi dua meter di hadapannya terbuka. Dia juga nampak menarik nafas panjangnya dan membuangnya perlahan sebelum dirinya benar-benar berada di dalam area rumah besar itu.

"Klek," suara knop pintu yang terbuka.

Gadis ini langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut rumah itu dengan tujuan mencari keberadaan sang ayah tanpa memanggil namanya.

"Itu papah. Papah pasti khawatir banget. Dia pasti sedih karna aku pergi. Aku bakal langsung peluk papah dan minta maaf sama dia." Batin Arika saat melihat Gun yang sedang duduk di atas sofa dengan punggung belakangnya yang ia senderkan.

Arika melangkah mendekat pada Gun dengan senyuman tipis dan juga mata yang berkaca-kaca saat mengingat kembali semua kasih sayang yang sudah Gun berikan padanya selama ini.

"Gun, ini tehnya. Diminum ya, biar kamu agak enakan," kata seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari arah dapur dengan membawa secangkir minuman yang masih mengeluarkan hawa panas di tangannya.

Sontak saja Arika terkejut seraya menghentikan langkah kakinya dengan bola mata yang menatap tajam wanita itu.

"Makasih, Ra," jawab Gun pelan sembari mengambil alih cangkir itu, lalu menyeruput sedikit demi sedikit air yang ada di dalamnya.

Hati Arika kembali bergejolak kali ini. Api-api kemarahan dan kecemburuannya kembali terpantik saat melihat keberadaan wanita itu di sini.

Sebuah vas bunga berbahan dasar beling yang berada di atas meja kayu tepat di samping kirinya menjadi sasaran atas kemarahannya.

"Prakkk," begitulah kiranya suara yang dihasilkan dari pertemuan vas beling dengan marmer yang menjadi tempat berpijak siapa saja orang yang masuk ke rumah ini.

Tentu saja Gun yang sedang menikmati minumannya jadi terhenti dan mengarahkan pandangannya pada sumber suara keras itu lalu berdiri sambil mengucap, "Arika," yang ternyata kompak dengan Ara alias Nisa.

"Sayang, kamu pulang," cetus Gun dengan senyuman tipis. "Kamu baik-baik aja, kan?" Tanyanya penuh perhatian dengan sebuah pelukan sayang pada anak itu.

"Papah udah cariin kamu kemana-mana. Tapi papah nggak berhasil temuin kamu, sayang. Papah khawatir sama kamu," ungkap Gun mengecup pucuk kening Arika diakhir kalimatnya. "Jangan pergi lagi. Papah nggak mau itu terjadi!"

"Maaf, pah, Arika janji nggak akan pergi tanpa ijin dari papah lagi," janji Arika yang mulai melunak kembali.

Gun hanya mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya pada gadis itu, seolah tak ingin dia pergi lagi. Nisa yang melihat pemandangan itupun terlihat lega juga bahagia, dan berharap hubungan mereka bisa membaik lagi seperti sebelumnya.

"Aku pengen bicara berdua sama papah. Hanya berdua. Aku nggak mau ada orang lain di sini selain aku dan papah. Bisa kan, pah?" Ucap Arika yang sudah melepas pelukan Gun dengan tatapan matanya yang dalam.

Sadar betul dengan ucapan Arika, Gun menoleh ke arah Nisa sembari menganggukkan kepala seolah memberi kode pada Nisa untuk memberi waktu berdua dengan sang putri. Nisa yang langsung paham pun ikut mengangguk dengan kedua bibir yang rapat, lalu meninggalkan kedua orang itu beserta istana megahnya dan kembali ke tempat asalnya dengan membawa rasa bersalah.

Banyak kata maaf yang keluar dari mulut Gun dan Arika saat keduanya bicara. Mereka sama-sama menyadari kesalahan yang sudah dibuat beberapa hari ini sehingga menimbulkan keretakan diantara keduanya. Janji untuk tidak mengulangi kesalahan itu pun ikut tertuang dalam pembicaraan empat matanya.

"Makasih ya, pah. Papah udah mau maafin aku," ucap Arika yang duduk berdampingan dengan Gun sembari memegang kedua tangan Gun penuh bahagia.

"Makasih juga, karna Arika mau maafin papah," balas Gun tersenyum yang juga membuat Arika melakukan hal yang sama, lalu kembali berpelukan.

"I love you, baby," lirih Gun di telinga Arika.

"Love you too, papah hero," respon Arika yang semakin nyaman berada di pelukan sang ayah.

Tanpa terasa, hari sudah gelap kembali. Lampu-lampu oranye di jalanan juga sudah menyala guna membantu si raja malam menyinari bumi yang kehilangan sumber cahaya terbesarnya.

Lelah akibat perjalanan jauhnya kemarin, membuat kedua kaki Arika terasa pegal dan sakit. Gadis ini pun menjadi sungkan untuk turun dari tempat tidurnya, kecuali kalau untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang muslim.

Sebagai ayah yang perhatian, Gun membawakan sepiring nasi beserta lauk lengkap dengan susu dan air bening untuknya. Tak hanya itu, Gun juga menyuapinya seperti anak kecil. Sudah lama sekali dirinya tidak menggunakan tangan kanannya untuk memberi makan anak kesayangannya secara langsung. Dan rasa rindunya itu tuntas di malam ini.

Setiap suapan yang Gun berikan pada Arika terasa sangat nikmat sekali. Bahkan, bibir Arika tak lepas tersenyum saat itu. Tulus. Mungkin itulah kata yang menggambarkan isi hati Gun.

"Arika," ucap Gun sembari menodongkan sesendok nasi ke mulut Arika.

"Hem," deham Arika seraya menerima suapan itu.

"Arika bilang, kata maaf bisa mengakhiri semua masalah, kan?" Kata duda dua kali ini dengan pelan.

Merasa yang diucapkan sang ayah benar, Arika menganggukkan kepalanya dengan mulut yang masih sibuk mengunyah.

"Eum, kalau permintaan maaf papah bisa Arika terima, apa permintaan maaf dari orang lain juga bisa Arika terima?" Tanya Gun lebih dalam.

Arika menelan makanannya lalu menjawab, "Tentu aja, pah. Kan memaafkan salah satu bentuk dari kebesaran hati kita. Selain itu, di agama kita juga udah diterangkan di dalam satu hadits Ath-Thabrani yang bunyinya, 'Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan'. Jadi udah jelas banget kalo memaafkan itu dianjurkan. Dan Arika akan berusaha ngelakuin itu." Jelas Arika seperti ustadzah saja,hihi.

Mekarlah senyum di bibir Gun saat itu juga. "Kalau begitu, besok siang kita ketemu sama orang yang mau minta maaf sama kamu, ya. Sambil lunch bareng juga," kata Gun menatap dalam mata Arika.

Arika mengangguk tanpa bertanya siapa orang yang dimaksud ayahnya dan menyudahi hari itu dengan hati bahagia.

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Apakah benar Arika akan memaafkan orang itu?
Bagaimana jika tidak?

Next???

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang