BAB 35

76 11 5
                                    

SEBELUM MULAI MEMBACA, PASTIKAN KALIAN SUDAH FOLLOW AKUN INI!
JANGAN LUPA KASIH BINTANG DAN KOMEN YG BANYAK, YA!

●●●
Tujuh hari berlalu begitu saja, Gun belum juga menemukan anak gadisnya. Hal itu membuat kondisi kesehatan Lesti menurun, dan membuatnya harus mengkonsumsi obat setiap harinya.

"Mah, minum obatnya, ya. Biar cepet sembuh," ucap Gun dengan tlaten memberi obat pada sang ibunda tanpa telat sedikitpun.

Dengan tubuh yang lemas, Lesti hanya mengangguk dan mengambil pil dari tangan Gun lalu memasukkannya ke dalam mulut dilanjut meneguk air bening yang ada di tangan kirinya. "Aahhh…" desahnya lirih. "Kapan Arika pulang, Gun? Mamah kangen sama cucu mamah," ungkap Lesti sedih.

"Gun gak bisa mastiin kapan Arika pulang. Tapi Gun akan terus mencari keberadaan dia sampai ketemu! Mamah doain supaya Gun bisa cepet nemuin Arika, ya! Dan Gun minta, mamah fokus sama kesehatan mamah!" Tutur duda satu anak ini sembari menggenggam kedua tangan Lesti dan menatapnya penuh perasaan.

Lesti hanya menghela nafas dan menaruh satu telapak tangannya di pipi sang anak sembari mengusapnya lembut dan menjawab, "Doa mamah akan selalu menyertai kamu, sayang. Semoga Arika pulang dalam waktu dekat ini," katanya penuh harap.

"Aamiin… Thank you, ma," balas Gun tersenyum tipis lalu mendekap pelan tubuh sang mama sampai rasa tenangnya muncul dan kakinya akan melangkah mencari keberadaan sang putri lagi.

Sementara itu, Ara yang merasa sangat bersalah harus bekerja lebih keras lagi untuk menemukan Arika. Wanita ini rela membuang waktu istirahatnya hanya untuk mengitari jalanan dan bertanya pada siapa saja tentang keberadaan gadis di dalam selebaran yang ia bawa kemana-mana itu.

Pihak kepolisian sudah tidak mau membantu kasus pencarian orang hilang yang ia laporkan seminggu lalu. Mereka menyerah begitu saja lantaran tidak ada kemajuan mengenai kasus ini. Ara sangat kecewa dengan semua itu. Saking kecewanya, dia berani membentak dan mencaci petugas berseragam itu dengan caranya sendiri. Dan itu mengakibatkan dirinya harus menghabiskan satu malam di dalam sel penjara yang sangat menyesakkan. Itu menjadi pengalaman yang tidak pernah ia lupakan nanti.

Waktu sudah menunjuk pukul setengah satu dini hari. Dengan sisa tenaga yang ada, Ara berjalan tanpa menentukan arah tujuannya. Di jam-jam ini, jalanan sudah sangat sepi sekalipun di perkotaan.

Entah mengapa, langit yang tadinya penuh bintang berubah jadi gelap dan semakin gelap saja. Angin pun bertiup kencang hingga membuat dedaunan terpisah dari batangnya dengan terpaksa. Sampah plastik yang ada di jalanan pun turut berterbangan mengikuti arah angin.

Dingin. Satu rasa yang kian melanda tubuh mungil Ara yang belum terisi makanan sejak siang tadi. Sepanjang kakinya melangkah, kedua tangannya tidak berhenti menekuk di atas perut dan sesekali membenarkan rambutnya yang berantakan gara-gara angin itu.

Kali ini, dia sudah tidak kuat lagi jika harus berjalan dan mencari keberadaan Arika yang tak tau dimana tepatnya. Mencari taksi atau mendapat tumpangan lain semacamnya itu adalah hal yang sulit didapatnya di daerah yang sepi ini. Namun, nyatanya sulit itu berbeda dengan kata mustahil. Buktinya, ada secercah harapan ketika dirinya melihat segerombolan pemuda yang sedang nongkrong di jalan dengan sepeda motor yang tidak kurang dari lima.

Tanpa berpikir panjang dia mendekati pemuda-pemuda itu dan hendak meminta bantuan untuk mengantarkannya ke rumah. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat ia menyadari ada hal yang janggal dari pemuda-pemuda itu. Dengan segera dia berbalik badan dan menjauh dari para pemuda itu. Namun, apalah jadi? Mulutnya sudah kadung memanggil mereka sehingga anak-anak muda itu datang menghampirinya bahkan mengitarinya sambil meracau, "Mau kemana, cantik? Malem-malem gini jalan sendiri aja. Nggak takut ada orang jahat?" Racau salah satu diantara mereka dalam pengaruh minuman keras.

"Maaf, saya mau pulang. Tolong kalian minggir, ya!" Jawab Ara dengan hati-hati.

"Pulang kemana? Mau dianterin abang nggak?" Cetus yang lain sembari memainkan mata genitnya.

"Tidak, terimakasih." Respon Ara menggeleng cepat lalu berusaha keluar dari lingkaran yang dibuat pemuda-pemuda itu dengan rasa takut yang kian memuncak.

Jantungnya berdegup begitu keras dengan telapak tangan yang mendingin secara tiba-tiba setelah salah satu pemuda tersebut meraih tangannya dan menggenggamnya erat, membuat ia kesulitan lepas dan pergi dari mereka.

"Mau kemana si, cantik? Sini aja sama kita. Duduk, ngobrol, terus asik-asikan bareng. Ya kan, bro?"

"Iya dong. Sayang, udah ada yang cantik tapi nggak dipake!"

"Bener tuh! Bisa gratis juga, hehe."

Paham betul dengan maksud ucapan mereka, Ara mencoba memberontak dan berteriak minta tolong dengan harapan ada pengguna jalan lain yang menolongnya. Semakin mencoba lepas, justru pemuda itu semakin mengeratkan genggamannya. Bahkan bukan hanya satu orang saja yang menahannya, tapi tiga orang sekaligus. Dua memegangi tangannya, dan satu memegangi kakinya. Suara teriakannya tidak ada artinya sama sekali. Tidak akan ada orang yang datang menolongnya saat ini.

Wajah-wajah bringas dari ketujuh pemuda itu nampak jelas di mata Ara. Mereka membawanya ke sebuah pos ronda kosong di ujung jalan sana yang tidak ada satupun lampu sebagai penerangan. Apapun bisa terjadi malam itu. Hati Ara sudah sangat hancur jika memang kesuciannya harus terenggut oleh orang-orang brengsek seperti mereka. Air matanya terus saja mengalir tanda berpasrah.

Akan kah kemalangan itu terjadi padanya?

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
GIMANA INI??
KOMENTARNYA!

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang