BAB 13

93 11 1
                                    

Seminggu kemudian, Ara yang sudah sembuh dari lukanya meninggalkan rumah keluarga M'Bilar. Seorang wanita yang seusia dengan Lesti bersama anak laki-lakinya yang datang menjemput Ara. Mereka adalah saudara Ara yang tinggal di Bali. Meskipun proses perceraiannya dengan Gun belum selesai, tetapi Ara sudah memutuskan untuk pergi dan menyerahkan semuanya pada Gun. Tak banyak kata yang Ara ucapkan saat waktu perpisahan itu harus terjadi. Yang pasti dia mengucapkan permintaan maaf dan juga terimakasih kepada seluruh anggota keluarga yang sudah menerimanya sebagai bagian dari keluarga itu selama 3 tahun terakhir ini. Air mata mereka sama-sama tumpah di sana. Pelukan erat dari Lesti yang tak kunjung lepas dari tubuh Ara seolah belum bisa merelakan keputusan itu. Berbeda dengan Gun dan Arika yang memilih pergi sebelum Ara yang mendahului dengan alasan menghadiri acara sekolah yang sudah jauh hari dipersiapkan.

Di tanggal 22 Desember tahun ini menjadi peringatan hari ibu yang paling menyedihkan bagi Arika. Semua teman-temannya bersuka cita merayakan hari ini dengan menampilkan persembahan bersama ibunya, sedangkan dia harus kembali kehilangan sosok ibunya dan tak memberikan persembahan apa-apa hari ini. Gadis kecil yang malang itu hanya duduk di bangku penonton bersama sang ayah yang terus mengusap lembut tangan kirinya dan tersenyum ketika dirinya menatapnya.

~~~~
"Kamu inget nggak, waktu itu papah pernah ajak kamu ke taman? Terus, di sana kita main ayunan, perosotan, petak umpet, terus kita juga makan es krim abis itu. Arika mau enggak, papah ajak ke taman? Papah pengen main bareng Arika lagi nih," cetus Gun mencoba memecah keheningan yang terjadi sepanjang jalan menuju rumah.

Gadis kecil itu hanya mengangguk pelan pada Gun saja. Sementara Gun tersenyum dan mengatakan "oke" padanya seraya mengambil arah kanan di persimpangan jalan. "Oh iya, Arika tau nggak, siapa orang yang paling beruntung di dunia ini?" Tanya Gun pada Arika dengan pandangan matanya yang fokus ke jalan.

Spontan Arika menggeleng, tanda ia tak mengetahui jawaban dari pertanyaan papahnya. "Mau tau siapa orangnya?" Tawar Gun membuat Arika penasaran.

"Siapa, pah?" Jawab Arika cepat dengan rasa ingin tahunya yang besar.

"Orang itu...ya, papah." Cetus Gun membuat kulit di dahi Arika membentuk lipatan halus.

"Papah?" Ucap Arika pelan dan heran.

"Iyah. Orang itu papah." Singkatnya. "Kamu tau apa alasannya?" Tanya Gun yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Arika. "Itu karena...papah dikasih putri cantik kayak kamu," jawabnya sembari menoel pucuk hidung Arika. "Eh, nggak cuma cantik si. Arika juga baik, pinter, penurut, rajin sholat, terus mau bangun pagi, mandiri, terus...apa lagi ya?" Sebut Gun sembari memikirkan pujiannya untuk Arika lagi. "Pokoknya, papah sayang banget sama Arika. Jangan pernah ninggalin papah ya. Cuma kamu kekuatan papah dan harta yang paling berharga yang papah punya," ungkap pria itu sembari mengusap lembut pipi Arika dan membuat suasana jadi mellow.

Arika melihat jelas kesedihan di mata ayahnya itu. Sebisa mungkin ia harus mengusir kesedihannya dengan melebarkan senyumnya dan berkata, "Arika enggak akan tinggalin papah. Arika bakal jagain papah sampe kapan pun," janji Arika dengan tatapan berbinar sembari memindahkan tangan Gun digenggamannya sehingga membuat Gun tersenyum tipis mendengarnya. "Makasih ya, pah. Papah selalu sayang sama Arika, walaupun papah tau, Arika lebih sayang sama bunda. Tapi sekarang, itu udah berubah pah. Papah yang paling Arika sayangi di dunia ini. Dan ternyata, papah itu hero-nya Arika. My Father is my hero," kata Arika yang membuat Gun terharu sampai-sampai pria gagah itu meneteskan air matanya.

"Thank you, baby," balas Gun pelan yang hanya dijawab anggukan oleh Arika dengan tangan kecilnya yang kemudian menghapus air mata sang ayah.

Setelah lumayan lama menyetir menggunakan satu tangannya, akhirnya Gun bisa menggunakan tangan lainnya untuk mengemudi lagi. Sedari tadi tangan kirinya sibuk dengan Arika. Hingga beberapa menit kemudian, keduanya sampai di taman yang jauh dari pusat kota. Ayah dan anak itu menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam di tempat itu. Mulai saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun, sampai terdengar suara adzan ashar yang menggema di seluruh kota. "Pulang yuk!" Ajak Gun pada Arika yang sedang duduk di atas ayunan sambil menikmati es krim strawberinya.

"Pulang? Arika males pulang ke rumah, pah!" Cetus Arika singkat.

"Ish, nggak boleh begitu. Masa males si? Nanti omah nyariin Arika loh!" Kata Gun.

"Eum..biarin aja pah. Lagian kan Arika perginya sama papah. Jadi enggak mungkin omah nyariin," sanggahnya.

Langsung saja Gun menghela nafas panjangnya setelah sembari memutar bola matanya setelah mendengar perkataan putri kesayangannya itu. "Kalo enggak mau pulang, terus mau kemana dong? Emangnya Arika enggak bosen apa?" Tutur Gun yang kembali mendudukkan pantatnya di atas kayu ayunan sebelah arika.

"Eum...bosen si. Kalo gitu kita liat matahari terbenam yuk, pah. Katanya bagus banget. Tapi Arika belum pernah liat sendiri. Cuma liat difoto yang papah tunjukin aja," ucap Arika memberikan saran.

"Hem, ide bagus tuh, sayang." Sahut Gun. "Oke, kita pergi sekarang!" Lanjutnya seraya bangkit dari ayunan itu dan menggandeng tangan kiri Arika menuju mobil lalu ke pantai.

Selama hari ini berjalan, Arika dan Gun tidak sama sekali membahas persoalan tentang Ara. Mungkin karna kedua orang itu sudah benar-benar rela dengan keadaan ini. Namun, ketika menyaksikan pergantian siang menuju malam yang begitu indah dan mendamaikan, tiba-tiba Arika teringat dengan kenangan 3 tahun lalu dimana dia masih bisa menikmati liburan di pantai bersama papah dan juga bundanya. Tanpa terkendalikan gadis kecil ini mengatakan hal yang membuat hati Gun menjadi sedih kembali. "Kenapa bunda pergi ninggalin kita ya, pah. Padahal, Arika selalu berharap bunda bisa selalu ada sama kita. Tapi ternyata bunda malah pergi. Bunda sama kayak mamah, ya. Tega ninggalin papah dan aku," kata Arika dengan pandangan matanya lurus ke depan melihat mentari yang tinggal separuh keberadaannya di bumi.

Jantung Gun langsung bergetar saat mendengar kalimat itu. Bibirnya yang sedang melebar, harus mengecil kembali bersamaan matanya menatap wajah polos sang putri yang mencoba menutupi kesedihannya. Perlahan lengan kanannya melingkari tubuh Arika lalu mendekapnya erat sembari berkata, "maafin papah, sayang. Papah udah gagal mempertahankan keluarga kita. Papah enggak bisa kasih mamah atau bunda yang kamu mau. Maaf.." kata Gun pelan seraya merobohkan bendungan air matanya.

Tangisan itu pun menyalur pada Arika. Dalam pelukan sang ayah ia bisa merasakan betapa Gun merasa bersalah atas keadaan ini. Arika tak bisa mengatakan apapun lagi. Dia hanya mengeratkan pelukannya dan menangis sepuas mungkin di sana. Hingga torehan warna oranye di langit lepas tak terlihat lagi. Rembulan bersama lintang lah yang kemudian menyaksikan keringnya air mata dari ayah dan anak itu.

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Bisa rela semudah itu gak si, kalo kalian ada diposisi mereka?

See next part

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang