BAB 22

103 12 5
                                    

SEBELUM MULAI MEMBACA, PASTIKAN KALIAN SUDAH FOLLOW AKUN INI!
JANGAN LUPA KASIH BINTANG DAN KOMEN YG BANYAK, YA!

○○○
Surya kembali terbit. Cahayanya menerangi bumi yang semula gelap. Langit terbentang luas dengan warna ungu keorenan yang mampu mengembalikan semangat yang hilang karna hari kemarin.

"Nanti jadi ke makam bapak sama ibu?" Tanya Iqbal pada Nisa disela sarapannya.

"Iyah, jadi." Jawab Nisa seraya memasukkan makanan ke dalam mulut.

Iqbal pun hanya meresponnya dengan anggukan saja dan melanjutkan aktivitasnya. "Oh iya, aku sampe lupa. Cincin kamu udah jadi. Nanti dipake ya!"

"Iyah," singkat Nisa sembari mengangguk pelan dengan senyum tipis yang terlukis di wajah.

Saat waktu menunjuk pukul 09.00, Nisa dan Iqbal terlihat meninggalkan rumah warisan dari Ridwan. Akhirnya, setelah hampir delapan tahun tak ditempati manusia, kini rumah itu dapat merasakan kehangatan dari pemiliknya lagi meskipun hanya akan beberapa hari saja.

Roda mobil Iqbal terus berputar hingga akhirnya berhenti setelah sampai ditempat tujuan. Dengan cepat mereka melepas seat belt dan turun dari kendaraan mewah itu. Mata Nisa langsung berotasi ke seluruh sudut TPU Melati yang hanya ada gundukan tanah  dengan nisan di atasnya dengan segala bentuk dan model yang bervariasi. Beberapa macam pohon yang biasa tumbuh di tanah kuburan juga melengkapi pemandangan yang ada di sana saat itu.

Nisa menarik nafas dalam lalu membuangnya dengan cepat baru melenggang masuk dengan alas kaki yang sudah dilepas dan sebuah keranjang bunga warna-warni yang harum. "Makam bapak sama ibu pasti nggak kerawat. Udah lama banget aku nggak kesini. Semoga aja nggak ada yang rusak, ya," kata Nisa pada Iqbal yang berjalan di belakangnya.

"Iya, Nis," balas Iqbal singkat.

Setelah berjalan 250 meter dari tugu masuk, mereka pun sampai di rumah abadi kedua orang tua Nisa. Disaat itu lah satu pemandangan mengejutkan dilihatnya. Makam kedua orang tuanya terlihat sangat rapi dan terurus. Bahkan setangkai mawar merah ada di atas masing-masing makam. Tak ada satupun rumput liar yang tumbuh di atasnya. Hanya bunga tabur yang sudah nampak layu menghiasinya. Sepertinya ada seseorang yang datang sebelum Nisa dan Iqbal kesana.

Nisa dan Iqbal bertanya-tanya mengenai hal ini. Kira-kira siapa orang yang sudah melakukan itu semua. Untuk menghilangkan rasa penasarannya, Nisa bertanya pada penjaga makam sekaligus orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga kebersihan tempat itu yang sedang membakar dedaunan kering tak jauh dari tempat Nisa berdiri saat ini.

"Permisi, pak," sapa Nisa sopan.

"Eh, iya. Ada yang bisa bapak bantu?" Jawab pak Kardi ramah.

Tanpa ragu Nisa mengatakan apa yang menjadi pertanyaannya saat ini. Dan dengan ramah pula pak Kardi menjawab dan memberitahu kalau setiap hari ada yang datang ke makam itu.

"Siapa dia, pak? Apa bapak kenal sama dia?" Tanya Nisa penasaran.

"Oh, iya tentu bapak kenal. Kan tiap hari bapak ketemu sama dia. Dan biasanya dia dateng sekitar jam setengah sepuluhan," jelasnya.

Dengan spontan tangan kanan Nisa mengangkat sedikit lengan baju tangan kirinya dan melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan itu yang sudah menunjukkan pukul 09.25. "Berarti sebentar lagi dia datang. Aku harus tau siapa orang itu." Kata Nisa dalam hati.

"Maaf sekali, sebelumnya kalian berdua ini siapa ya? Saya baru lihat soalnya," cetus pak Kardi menatap bergantian Nisa dan Iqbal.

Nisa pun memperkenalkan diri kepada penjaga makam itu dan menjelaskan hubungannya dengan kedua makam yang selalu didatangi pria misterius itu baru memperkenalkan Iqbal dan mengatakan tujuannya kesana.

"Oh, jadi nak Nisa ini anaknya almarhum pak Ridwan dan bu Selfi?" Beonya yang hanya dijawab anggukan cepat oleh Nisa. "Saya kira anak bagus itu putranya." Imbuh pak Kardi dengan lipatan kulit dahinya yang semakin nampak.

"Bukan, pak. Saya anak tunggal mereka. Dan saya udah lama pindah ke Bali, jadi belum sempat datang kesini lagi," terang Nisa.

"Terus kalau bukan anaknya, anak bagus itu siapanya ya? Nggak mungkin orang asing pasti." Tandasnya sembari berpikir.

Nisa juga tidak mempunyai jawaban untuk itu. Otaknya sama sekali tak bisa berpikir tentang hubungan pria itu dengan orang tuanya. Yang ada di dalam pikirannya hanya ingin mengetahui identitasnya baru semua pertanyaannya bisa menemukan jawaban.

○○○

Di samping itu, sedang terjadi pertengkaran hebat antara Gun dan Arika. Penolakan Arika lah yang menjadi sumbu dari pertengkaran itu. Dia tak mau menuruti perintah Gun untuk meminta maaf pada orang yang sudah dibuatnya malu sekaligus hancur hatinya saat malam pesta ulang tahunnya.

"Aku nggak mau, pah! Aku nggak salah! Dan aku nggak mau minta maaf sama siapapun!" Seru Arika yang berani menatap mata Gun dengan tajam.

"Arika! Papah nggak mau denger penolakan kamu itu. Kamu ikut papah dan minta maaf sama bunda. Titik!" Kata Gun tegas seraya melangkah keluar dari kamar Arika dengan kemarah.

"Terus aja papah sebut tante itu dengan panggilan bunda. Papah nggak pernah sadar atau papah nggak bisa ngelupain dia si? Tante itu bukan bunda! Tante itu cuma orang asing aja!" Seru Arika membuat kaki Gun berhenti melangkah dan memilih memutar badannya menghadap ke arahnya lagi.

"Seorang ibu nggak akan ninggalin anaknya. Dan seorang istri juga nggak akan ninggalin suami dan keluarganya," Lanjut Arika sedikit pelan dengan helaan nafas panjangnya di awal. "Aku bersumpah. Tante itu nggak akan pernah bisa jadi seorang ibu maupun seorang istri. Hidupnya akan penuh dengan air mata penyesalan,"

Emosi Gun benar-benar memuncak saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut putrinya itu. Tanpa berpikir panjang dia melayangkan kelima jari tangannya kepada Arika. "Plakk," suara keras hasil pendaratan lima jarinya di pipi Arika.

Sungguh, Arika sangat terguncang saat mendapat tamparan keras itu dari sang ayah. Terasa sangat perih di kulit dan sakit di hati. Perlahan dia mendongak keatas sembari berucap, "Papah tampar Arika?" Lirih anak perempuan itu sembari memegang pipi kirinya yang merah dan menatap mata Gun yang merah dengan genangan air mata yang siap tumpah. "Arika kecewa sama papah!" Ungkap Arika seraya berlari meninggalkan rumah itu tanpa tujuan pasti dengan air yang terus mengikuti langkahnya.

Oh, Tuhan, apa yang Gun lakukan pada putrinya? Tanpa sadar dia melukai anak kesayangannya itu. Saat dia tersadar Arika sudah pergi dan terlanjur kecewa. Entah setan apa yang ada di dalam dirinya saat itu. Hingga dia menjatuhkan tangan pada anaknya sendiri.

Kini hanya ada kata menyesal saja di bibirnya. Namun semua itu sama sekali tak menghilangkan bekas luka yang ia torehkan di hati Arika bukan?

●●●
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Kira-kira siapa anak bagus itu?

Arika jadi makin gitu ya..

BENCI 2✔️ (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang