Tidak ada yang lebih melelahkan dari menjalankan pernikahan selama sepuluh jam. Banyaknya teman Jefian, tidak memungkinkan bagi mereka untuk melaksanakan pernikahan hanya tiga jam. Belum lagi, setelah acara di hari pertama selesai, kedua pasangan yang kini sudah sah menjadi suami istri harus kembali menyapa beberapa kerabat. Padahal, besok mereka masih harus kembali melaksanakan acara pernikahan kedua.
Namun, lelah mereka--Jefian lebih tepatnya--terbayar dengan rasa bahagia yang meletup saat merasa bebas melakukan hal apapun tanpa ada penolakan--harusnya.
"Ma-s." Dyra menggigit bibir bawahnya guna menahan erangan yang disebabkan oleh tangan besar Jefian.
Setelah membersihkan diri dari sisa riasan, kedua pasangan itu tengah mengistirahatkan tubuh mereka sebelum besok pagi kembali berpindah gedung untuk acara kedua. Namun, nampaknya Dyra tidak bisa sepenuhnya mengistirahatkan tubuh saat tangan Jefian bermain nakal di tubuhnya.
"Mas, besok masih ada acara." Ucap Dyra dengan putus asa.
Jefian mendesah kasar, tubuhnya ia baringkan pada ranjang hotel dengan kesal. Denyut di kepala yang disebabkan lelah, kini bertambah karena penolakan sang istri.
Dyra membenarkan baju tidurnya yang berantakan dengan rasa sesal. Ia ikut berbaring dengan memeluk tubuh Jefian yang tengah menutup wajahnya dengan lengan berototnya.
"Mas, jangan marah." Cicit Dyra tanpa balasan apapun. "Aku ngga mau mas cape, besok kita masih ada acara." Tangannya mengusap halus dada bidang Jefian, berharap mendapat atensi.
Helaan napas terdengar berat di telinga Dyra. Jefian menyingkirkan lengannya guna melihat lebih jelas wajah ayu sang istri tanpa riasan. Jemarinya menyelipkan helai rambut ke balik telinga Dyra.
"Waktu masih pacaran, kamu selalu nolak sentuhan mas. Sekarang, kita udah nikah kamu masih mau nolak mas?"
Suara berat Jefian membuat nyali Dyra sedikit menciut. Pandangannya ia tundukkan nggan melihat wajah mengeras Jefian.
"B-ukan gitu maksud aku."
Dyra mengepalkan tangan mungilnya untuk menghilangkan rasa gugup. Harusnya, ia sudah terbiasa dengan semua sifat Jefian. Namun, setelah menikah rasanya sangat berbeda, biasanya ia hanya takut sejenak jika Jefian marah, kali ini ia benar-benar sangat takut dan gemetar. Perubahan wajah marah Jefian sangat berbanding terbalik saat mereka masih berstatus pacaran.
"Kalau sampai kamu nolak sentuhan mas lagi, mas ngga segan-segan maksa kamu." Nada rendah penuh intimidasi itu membuat Dyra mengangguk patah.
Wajah Dyra mendongak saat jemari Jefian mengangkat dagunya. "Kamu tau, mas ini lelaki dewasa, nafsu mas lagi meluap-luapnya. Dapat penolakan dari kamu, bikin mas kesel, tau?"
"Maaf." Cicit Dyra dengan wajah sendu. "Aku cuma ngga mau bikin mas cape, ngga bermaksud nolak mas."
"Mas ngga ada bilang cape." Decak Jefian dengan menjauhkan tubuh Dyra. Ia beranjak duduk untuk melepas baju tidur satin yang membuat tubuhnya semakin panas.
Dyra memekik tertahan saat tubuhnya dikukung Jefian. "Mas ngga mau liat kamu nolak lagi, karena mas ngga suka. Kamu ngga lupa kan?"
"I-iya."
"Mas udah nunggu momen ini lebih dari dua tahun, jangan kecewain mas." Jefian mengendus setiap jengkal wajah Dyra. "Kamu cuma perlu nikmatin. Kita main lembut, hm?"
Dyra mengangguk pelan, memberi akses pada Jefian untuk menjamah tubuhnya. Walaupun, dari lubuk hati terdalam ia belum siap untuk melakukan hubungan ranjang. Karena, ucapan Jefian terkadang tidak sesuai dengan pergerakannya. Maka, itu sebabnya Dyra mencoba untuk menahan Jefian untuk tidak melakukan urusan ranjang sekarang.
Gerakan kasar yang nikmat, namun Dyra tidak menyukainya. Mungkin, jika tidak lelah dan tidak akan melakukan hal apapun di esok hari, Dyra akan menerima semua perlakuan Jefian dengan nikmat tanpa pedulikan badannya yang akan remuk esok hari.
"Mas ngga nyesel ngeluarin uang banyak." Ucap Jefian dibarengi dengan geraman lega atas puncak nikmatnya.
Dyra mengernyit bingung disela ia menetralkan deru napas setelah pelepasannya. Belum sempat ia bertanya atas kebingungan dari ucapan Jefian, tubuhnya sudah diangkat kasar.
"Tubuh kamu lebih nikmat dari yang mas bayangin."
"Jangan kecewain mas, karena mas udah korbanin segala hal buat dapetin kamu." Bisik Jefian ditengah pergumalan mereka.
👣👣👣
Jam baru menunjukkan pukul satu siang, namun Dyra sudah merasa sangat lelah. Sekujur tubuhnya terasa sangat pegal setelah kegiatan semalam, kini ia masih harus berdiri menyambut para tamu yang dominan adalah tamu mertuanya.Pun, perkataan Jefian setelah aktivitas malam mereka selesai, tidak bisa ditangkis begitu saja oleh Dyra.
"Mas ngga mau punya anak dulu. Kita tunda sampai waktunya tepat." Ujar Jefian sambil memberikan sebuah pil kecil pada Dyra. "Ini kamu minum sebelum atau sesudah kita lakuin seks, itu pencega kehamilan. Mas ngga suka pake kondom, jadi kamu yang harus ngerti."
Kalimat itu terus terngiang di otak mungilnya. Banyak pertanyaan yang ingin Dyra ajukan, namun terus tertahan di tenggorokannya.
Tepukan pelan di pundak, menyadarkan Dyra dari lamunannya. Ia menatap bayangan tubuh di belakang dari cermin di hadapannya. Sang ibu tersenyum tulus membuat Dyra ikut menarik senyumnya, sebisa mungkin tidak menampakkan raut wajah gelisahnya.
"Kok belum diganti bajunya?" Tanya sang ibu yang kini duduk di kursi samping Dyra.
Dyra menggeleng masih dengan senyumnya. "Belum, mbanya masih ambil baju."
"Mau mama ambilin makan dulu? Mama belum ada liat kamu makan nasi, tadi pagi cuma tiga suap mama itung kamu makan."
Dyra mengerucutkan bibir dengan cebikan pelan. "Eneg aku ma kalau makan. Takut sakit perut juga."
"Eneg makan nasi? Mau cemilan aja mama ambilin? Ya kalau sakit perut tinggal ke kamar mandi dong." Gemas sang ibu dengan pernyataan Dyra.
"Ribet ma sama bajunya." Rengek Dyra.
Dyra mendesis saat ibunya menepuk pelan lengan telanjangnya. "Mumpung kamu belum ganti baju, makan dulu. Mama ambilin cemilan aja, yang penting perut kamu keisi. Mama ngga mau loh kamu tiba-tiba pingsan."
Ceklek
Suara pintu tertutup mengalihkan kedua wanita beda usia dari acara mendebatkan hal sepele.
"Belum selesai ganti bajunya?"
"Belum, nak. Kamu kok udah ke sini?"
Jefian mendudukan tubuhnya dengan sopan di sofa dekat dengan meja rias. "Iya, tamunya lagi sedikit. Jadi disuruh langsung ke ruang ganti."
"Yaudah, mungkin sebentar lagi mbanya dateng sekalian sama baju Jefian. Mama tinggal dulu ya ambil makan buat kalian."
Jefian memutuskan pandangannya setelah mertuanya hilang di balik pintu besar. Ia beranjak mendekat pada Dyra yang nampak nggan menatap dirinya.
"Kenapa gitu mukamu? Ngga seneng liat mas, hm?" Tanya Jefian dengan tangan menahan dagu mungil Dyra.
Dyra menggeleng pelan dengan senyum tipis. "Ngga, aku cuma cape aja."
"Maaf ya, mas semalam ngga inget waktu." Ucap Jefian dengan sesal.
Dyra menggenggam tangan berurat Jefian yang masih asik bertenggar di pipinya. "Ngga apa-apa."
"Masih empat jam lagi acaranya selesai. Kalau bener-bener ngga kuat, bilang mas ya."
Dyra mengangguk lalu sedetik kemudian tertawa karena kecupan-kecuan kecil yang dibubuhkan Jefian pada wajahnya.
Sifat lembut serta pengertian Jefian yang selalu buat Dyra lupa akan perlakuan atau perkataan pria itu yang terkadang menyakitinya. Dyra tidak bisa melupakan banyak hal manis yang diberikan Jefian hanya karena satu hal buruk dilakukan Jefian.
⌒ ⌒ ⌒ ⌒
Kalimatnya dibaca pelan-pelan ya, aku ada naruh clue soalnya heheh

KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Clue
Fanfiction●Jaedo Dyra sangat bersyukur mempunyai Jefian dalam hidupnya. Pria kaya raya yang sudi menjadi kekasih dan akan menikahi orang biasa seperti dirinya, pria yang menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apakah Dyra selalu akan mengucap syuk...