Suasana rumah di kediaman Jefian begitu hening. Padahal matahari sudah menampakkan diri dari satu jam lalu namun, penghuni rumah nampaknya masih nyaman bergelung dengan kasur. Hingga ketukan pintu rumah yang berkali kali hanya mengusik Jefian dari tidurnya, tidak dengan Dyra yang masih menjelajahi mimpinya.
Jefian beranjak tanpa suara, tidak ingin mengganggu istrinya. Masih dengan wajah bantal dan hanya menggunakan celana rumahan pendek ia berjalan untuk membuka pintu utama. Decakan dengan wajah kesal ia layangkan pada tamu di hadapannya.
"Kalau rumah dimalingin juga kayaknya lo gak akan bangun."
"Lo malingnya."
"Kurang ajar. Nih, Wulan abis buat nasi kuning."
Jefian menerima bungkusan dari Kendra dengan wajah tanya. "Dalam rangka apa?"
"Ngga dalam rangka apa-apa, anak gue pengen makan nasi kuning aja." Jefian mengangguk tidak lupa mengucap terima kasih.
"Gue balik dulu, jangan lupa nanti ada meeting."
Jefian melambaikan tangan saat kepergian Kendra. Ia menutup pintu dengan malas, diingatkan kembali oleh Kendra bahwa nanti akan ada meeting di kantor, padahal ini adalah hari sabtu.
Pekerjaan Jefian memang tidak akan ada istirahatnya sampai bangunan tinggi itu berdiri kokoh dengan sempurna. Maka Jefian juga harus tahan dengan semua tekanan, mau tidak mau ataupun suka tidak sukanya dia. Ini pekerjaan impiannya, cita-citanya.
"Sayang, bangun udah siang." Jefian singkirkan selimut yang menghangatkan istrinya. Tangannya terulur mengusap perut Dyra yang sudah membesar.
"Heung~"
"Buka dulu matanya, jangan tidur kelamaan nanti badan kamu sakit."
Jefian bantu tubuh istrinya untuk duduk saat kesadaran Dyra sudah benar-benar pulih. Rambut panjang nan legam itu Jefian rapihkan agar tidak menutupi wajah cantik istrinya.
"Mandi dulu, abis itu sarapan. Tadi Kendra bawain nasi kuning."
"Kiya ulang tahun?" Tanya Dyra dengan wajah terkejut.
"Nggak, Kiyanya cuma lagi pengen makan nasi kuning."
Dyra bernapas lega, ia kira dirinya melupakan hari ulangtahun anak dari teman suaminya itu.
"Aku males mandi, mas."
Jefian berhenti mengecupi wajah istrinya, ia berdecak saat lagi-lagi mendengar kalimat yang sama setiap paginya. Semenjak kehamilan Dyra semakin membesar, istrinya memang jadi semakin malas, sering mengeluh mudah lelah juga. Kata dokter itu wajar dialami ibu hamil, jadi Jefian memaklumi. Tapi, semenjak kehamilan Dyra menginjak tujuh bulan, istrinya semakin malas untuk mandi dan Jefian tidak bisa mewajarkan hal itu.
"Bau loh."
"Ngga, aku masih wangi kok."
Ada saja balasan wanitanya yang tidak mau mengalah akan pendiriannya. Memang Dyra tidak bau, aroma tubuh alaminya memang harum walaupun istrinya tidak mandi seharian, Jefian tidak bisa bantah itu.
"Iya kamu emang wangi, tapi harus tetap mandi, sayang. Nanti badan kamu lengket, malemnya jadi susah tidur. Kasian juga kan abang kalau kamunya tidur malam terus, jadi badan kamu harus tetap seger, biar abang juga aktif."
"Abang?" Fokus Dyra saat Jefian bicara hanya pada kalimat 'abang' yang Jefian lontarkan.
"Hm, abang." Jefian sejajarkan wajahnya pada perut besar Dyra, ia singkap baju tidur Dyra untuk mengecup langsung perut besar istrinya.
"Kamu papi panggil abang ya? Soalnya nanti abang bakal punya adik lagi, abang mau kan punya adik, hm?"
Duk
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Clue
Fanfiction●Jaedo Dyra sangat bersyukur mempunyai Jefian dalam hidupnya. Pria kaya raya yang sudi menjadi kekasih dan akan menikahi orang biasa seperti dirinya, pria yang menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apakah Dyra selalu akan mengucap syuk...
