Suasana bandara tidak sebising biasanya, tidak banyak orang yang berlalu lalang dengan tujuan kota berbeda. Dua koper berukuran sedang berada di sisi bangku restoran, di samping Jefian.
Jefian beberapa kali membuang napas kasar, berat sekali rasanya melepaskan sang istri untuk waktu yang tidak bisa ia perkirakan.
Mata bulat dengan binar jernih, ranum tipis semanis gula, surai panjang bergelombang sehalus sutra, pipi gembil dengan rona alami, tubuh mungil yang sangat pas dalam pelukan. Semua yang ada pada diri Dyra akan sangat Jefian rindukan.
Banyak pertimbangan saat Jefian memutuskan untuk memulangkan Dyra ke Jakarta, tidak mudah namun ia harus melakukannya. Setelah berunding bersama sang ibu dan sahabatnya, Dyra memang akan lebih aman berada di Jakarta bersama orangtuanya.
Setelah akhir dari keputusan, Jefian bergegas mempersiapkan semuanya, dari mulai memeriksa kandungan Dyra apakah memungkinkan menaiki pesawat, surat izin dari dokter, serta memesan tiket first class. Walaupun penerbangan hanya membutuhkan waktu 2 jam, Jefian ingin Dyra tetap merasa nyaman.
"Ibu ke kamar mandi dulu ya." Jefian tau, Itu hanya alibi Ibunya agar anak serta menantunya bisa menghabiskan waktu lebih lama.
Jam penerbangan masih tersisa 2 jam lagi, mereka sengaja berangkat pagi buta untuk menghindari Talia.
Jefian menarik pelan jemari ramping istrinya untuk ia genggam, membawa jemari lentik itu untuk ia kecup. Mata sembab karena dipaksa bangun, wajah mengantuk dengan bibir mengerucut membuat Jefian sangat ingin menggigit istrinya.
"Sementara, kamu di Jakarta dulu ya. Nanti, kalau waktunya kamu lahiran, mas ke Jakarta." Suara halus itu seakan angin lalu, Dyra sama sekali tidak berniat menatap Jefian dan tidak berniat untuk meladeni setiap ucapan suaminya.
"Boleh liat mas dulu sebentar? Mas kangen banget sama kamu." Lirih Jefian.
Jefian membuang napas berat, ia bangkit dari duduknya dan beralih duduk di samping Dyra. Tindakan tersebut sukses membuat Dyra menatap Jefian dengan raut tanya yang kesal.
Jefian bawa sebelah tangannya untuk mengusap dagu sang istri, ia tatap mata bulat sejernih laut itu. Mata yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini karena enggan menatap wajah Jefian sedetik pun.
Cukup lama ia hanya menatap, kini Jefian menarik lembut dagu sang istri untuk memutus jarak diantara mereka. Helaan napas hangat bisa mereka rasakan satu sama lain. Tidak adanya penolakan saat jarak diantara mereka semakin menipis maka, semakin berani Jefian mempersempit jarak hingga kedua bilah ranum kenyal itu saling bertemu.
Rindu, seakan sudah lama sekali Jefian tidak merasakan kenyalnya bibir sang istri.
"Ck, nggak!"
Belum sempat Jefian lumat bibir Dyra, wanita itu lebih dulu menghindar dengan wajah kesal.
"Maaf." Jefian hela kembali napas berat, jemari-jemari lentik Dyra kembali Jefian kecupi.
"Maafin, mas." Ucap kembali Jefian saat Dyra masih enggan menatapnya.
"Maaf buat yang mana?"
Kecupan Jefian seketika berhenti, wajahnya mendongak dan saat itu juga Jefian semakin merasa bersalah.
"Mas minta maaf buat kesalahan mas yang mana?" Tanya Dyra dengan lirih.
"Jadiin aku pelampiasan? Jadiin aku bahan taruhan? Sekongkol buat bohongin aku? Mas yang kasar sama aku? Yang mana mas?"
"Dyra."
"Aku cape banget mas. Aku lagi hamil besar, lagi bawa anak kamu, tapi kamu? Kamu selingkuhin aku— ah maaf, di sini aku yang jadi simpenan mas ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Clue
Fanfiction●Jaedo Dyra sangat bersyukur mempunyai Jefian dalam hidupnya. Pria kaya raya yang sudi menjadi kekasih dan akan menikahi orang biasa seperti dirinya, pria yang menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apakah Dyra selalu akan mengucap syuk...
