Kandungan Dyra sudah memasuki bulan ke sembilan, bulan dimana artinya ia akan segera melahirkan. Namun, hingga saat ini kehadiran Jefian tidak pernah ada untuknya. Sejak Dyra mendarat di Jakarta, tidak ada kabar sedikitpun dari Jefian.
Pikiran Dyra jadi berkecamuk, memikirkan hal yang tidak-tidak. Apa benar Jefian akan kembali dengan Talia dan mencampakkan dirinya serta anak mereka. Dyra takut.
"Sayang, hari ini jalannya di taman rumah aja ya, ngga usah di taman komplek."
Lamunan Dyra buyar saat suara lembut mertuanya menyapa di pagi hari.
"Gapapa, kan?"
"Ah, iya, gapapa bu."
Jalan pagi memang sudah menjadi rutinitas Dyra setelah ia menetap di rumah mertuanya.
Iya, rumah mertua. Setelah dipulangkan ke Jakarta, Dyra tidak benar-benar dipulangkan ke rumah orangtuanya. Ibu mertuanya langsung membawanya ke rumah megahnya dan sampai saat ini pun ia tidak diizinkan untuk kembali ke rumah orangtuanya, walaupun hanya ingin menginap satu hari saja.
Ibu dari Jefian sempat memohon pada Dyra untuk tidak pulang, dengan alasan takut jika orangtua Dyra tau masalah di dalam rumah tangga anaknya dan tidak mengizinkan Dyra untuk kembali lagi.
Ibu Jefian itu sangat menyayangi Dyra, sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Maka, saat anaknya membuat masalah, ia sangat marah dan mencoba untuk membantu sang anak agar masalah mereka cepat selesai walau dengan cara yang salah sekalipun.
Dyra beberapa kali mencoba memberi pengertian sekalipun, itu tidak membuat mertuanya berhenti keras kepala. Berakhir dengan orangtua Dyra yang mengunjungi anaknya di rumah keluarga Jefian dengan syarat Dyra tidak akan bercerita masalahnya dengan Jefian.
"Kamu sudah rasain kontraksi kecil-kecilan belum, sayang." Tanya mertua Dyra setelah mereka menyelesaikan jalan paginya dan berakhir duduk di bangku taman rumah
"Belum, bu."
"Kalau takut lahiran normal, jangan dipaksa ya sayang. Gapapa kalau mau cesar."
"Gapapa bu, aku mau lahiran normal aja. Aku sama bayi sehat kok, bu."
Hening kembali menyelimuti mereka. Dyra memperhatikan mertuanya yang tengah mengupas dengan telaten buah apel untuk diberikan padanya.
"Bu." Dyra memberanikam diri dengan pertanyaan yang sudah lama ingin ia tanyakan.
"Mas Jefian mua gugat cerai aku ya?"
"Hussh, kamu ngomong apa sih?"
Dyra menunduk dengan wajah sedih. "Mas Jefian ngga ada kabar sampai sekarang, aku coba hubungin pun ngga pernah digubris. Aku mau lahiran juga mas Jefian ngga peduli–"
"Mas Jefian sama mba Talia beneran–"
"Sstt, Dyra dengerin ibu."
Air mata Dyra luruh saat tubuhnya dipeluk mertuanya. Usapan lembut di bahunya hanya membuat ia semakin keras menangis.
"Dyra takut, bu."
"Ngga ada yang perlu ditakutin, Dyra. Kamu cuma perlu percaya sama suami kamu. Jefian ngga akan ninggalin kamu." Ibu Jefian melepas pelukan pada menantunya. Tangan yang sudah tidak muda lagi menghapus lelehan air mata di pipi gembil Dyra.
"Anak ibu itu, sayaang sekali sama kamu. Anak nakal itu udah cinta mati sama kamu, ngga mungkin dia tinggalin menantu cantik ibu."
"Sabar ya, sayang. Tunggu suami kamu pulang sebentar lagi."
"Doain selalu yang terbaik buat suami kamu"
👣👣👣
Bangunan tinggi yang masih dalam proses pembuatan menjadi saksi bisu bagaimana karir seorang pria di Kota Kalimantan. Pria yang akhirnya memutuskan mengakhiri cita-citanya sebagai arsitek, demi keluarganya dan demi menggapai cita-citanya yang lain, membangun keluarga kecil impiannya.
Sudah cukup puas Jefian berkarir menjadi arsitek. Sekarang, ia ingin menghampiri istrinya setelah masalah di sini selesai.
"Lo serius mau berhenti Je?" Pertanyaan dari seniornya membuat Jefian tersenyum.
"Serius bang, gue udah bayar pinalti juga."
"Serius lah bang, biarin Jefian hidup tenang sama keluarga kecilnya." Kendra ikut menimpali atas pertanyaan senior mereka.
"Kita duluan bang, Jefian harus kejar jam penerbangan." Tidak mau sahabatnya berlama lama menetap, Kendra mengajak Jefian untuk segera menuju bandara.
"Thanks ya, Ken." Ucap Jefian saat mobil yang dikendarai Kendra melaju dengan kecepatan sedang.
"Ck, kayak sama siapa aja lo. Tugas sahabat kan emang saling bantu, asal ada tipnya." Ucap Kendra dengan canda yang membuat mereka tertawa.
"Hidup bahagia ya Jef setelah ini. Jaga keluarga lo baik-baik. Jangan balik lagi ke kota yang buat lo hampir ancur ini Jef."
Jefian meng-iyakan perkataan Kendra dalam hati. Tidak akan ia menginjakkan kaki di kota yang hampir membawa duka untuknya. Kota yang menyimpan memori kelam lebih banyak.
"Sehat-sehat Jef, jaga diri lo. Jangan sampe mati lagi, nanti gue ngga ada teman yang sering jajanin."
Jefian terkekeh dengan keputus asaan yang dibuat-buat Kendra.
Mati ya...
Jika diingat lagi, rasanya juga ia mau menyerah. Tidak kuat dengan rasa sakit tusukan di tubuhnya. Ia yang kekurangan banyak darah dan sempat koma.
Setelah pemulihan pasca koma dan operasi, Jefian harus dihadapi dengan tuntutan hukum kekerasan.
Talia yang ia laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik, percobaan pembunuhan dan pemerasaan itu ternyata juga balik menuntut Jefian atas tuduhan penganiayaan.
Saat itu Jefian masih sangat lemas pasca pemulihannya namun, harus segera diadili dan dijatuhi hukuman penjara. Jefian sudah buntu sekali, tidak bisa berpikir sama sekali. Namun lagi-lagi, sahabatnya itu membantu dirinya.
Kendra mencoba menghubungi orangtua Jefian, segera ayah dari Jefian mengurus semua masalah dengan uang. Tidak sampai satu bulan Jefian sudah bebas dari penjara.
Masalah bisa teratasi dengan uang itu memang benar adanya.
Jefian berhutang dengan kedua orangtua nya serta Kendra. Mereka sangat berjasa untuk Jefian. Ia tidak tau, jika tidak ada orangtuanya dan Kendra, mungkin ia tidak bisa bertemu Dyra lagi untuk waktu yang lama.
"Kalau lo udah muak kerja di sini, hubungin gue Ken."
"Wih, lo kasih kerjaan ya? Langsung angkat gue jadi sekretaris lo aja lah."
"Iya."
"Anjing?"
"Tadi katanya lo mau jadi sekretaris gue?"
"Ya ngga gitu juga, nyet."
"Karena lo sahabat gue aja Ken, makanya lo punya privilege."
"Hadeeh, dasar orang kaya." Kendra menggeleng kepala dengan tingkah Jefian. "Kalau gue jadi lo, gue lebih milih lanjutin bisnis keluarga. Ngga akan jadi arsitek yang berakhir ketemu nenek lampir."
"Bangsat lah Ken."
"Loh iya dong, gue bener. Gue tinggal ongkang-ongkang kaki tanpa harus susah-susah nyari kerja. Gaji arsitek sama jadi CEO mah bedanya jauh, men. Ngga perlu dah ketemu nenek lampir yang bikin rumah tangga gua di ambang penceraian."
"Nggak bakal tuh ngerasain mati suri, apalagi di penjara."
Jefian berdecak kesal, setelah kejadian ini Kendra senang sekali menyindir dengan maksud meledek dirinya terus menerus, membuat Jefian tidak bisa membalas pria kurang ajar itu.
⌒ ⌒ ⌒ ⌒
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Clue
Fanfiction●Jaedo Dyra sangat bersyukur mempunyai Jefian dalam hidupnya. Pria kaya raya yang sudi menjadi kekasih dan akan menikahi orang biasa seperti dirinya, pria yang menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apakah Dyra selalu akan mengucap syuk...
