❶❹ peduli

782 94 16
                                        

Masa ngidam sepertinya sudah tiba untuk Dyra. Wanita itu sering kali menginginkan sesuatu di jam yang tidak tentu. Semua keinginan sebisa mungkin Dyra tahan, karena ia tau mencari makanan di sini tidak semudah di Jakarta. Pun, calon bayi sangat mengerti keadaan sang ibu. Tidak menuntut untuk selalu menuruti keinginannya.

Tapi untuk kali ini, si bayi tidak bisa lagi menahan keinginannya. Kurir dari tempat Jefian bekerja yang biasa mengantarkan kebutuhan dapur, lupa memenuhi keinginan Dyra untuk membawakan buah semangka.

Entah sejak kapan, Dyra bisa meenangis hingga terdengar sangat menyakitkan hanya karena sebuah semangka yang tidak bisa ia dapatkan.

Lagi dan lagi yang Dyra lakukan jika keinginannya tidak bisa terkabul adalah menonton mukbang sambil memakan es krim.

"Mas!"

Dyra berjengit terkejut saat keluar dari kamar mandi sudah menemukan Jefian berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Ngapain nangis di kamar mandi?" Tanya Jefian dengan datar.

Dyra menipiskan bibirnya, ia kira suara tangisnya di dalam kamar mandi tidak akan terdengar, sebab ia sudah menyalakan air untuk meredam suara tangisnya.

"Siapa yang nangis, ngaco. Mas salah denger kali."

"Jangan kebiasaan bohong. Kamu udah ketauan sekali bohong, jadi nagih bohong terus."

Jefian tak gentar menatap Dyra yang juga tengah menatapnya dengan tidak suka. Wanita itu tidak pandai berbohong, sudah jelas kedua matanya bengkak sehabis menangis.

"Apa sih, minggir!" Dyra tidak suka saat Jefian memojokkannya dengan kalimat yang tidak bisa ia bantah.

Kalau pria itu sudah tau Dyra habis menangis, lalu apa pedulinya Jefian? Selama kehamilan Dyra, suaminya juga tidak pernah peduli padanya. Mengapa sekarang seolah ingin tau lebih jauh.

"Mau apa?" Pertanyaan Jefian mendapat tanya besar dari Dyra.

"Kamu mau makan apa? Bayinya..." Jefian menunjuk pada perut Dyra dengan gestur lirikan matanya. "...mau apa?"

Dyra mengusap perutnya lembut, ia tatap Jefian yang masih menunggu jawaban darinya.

"Semangka."

Setelah jawaban Dyra, hening beberapa detik hingga deringan ponsel Jefian dalam kantung pria itu berbunyi. Jefian melepas cekalannya pada pergelangan tangan Dyra dan segera berlalu untuk mengangkat panggilan.

Lihat, Dyra tidak bisa berharap lebih pada Jefian. Pria itu hanya penasaran, bukan peduli.

Dyra memilih untuk ke kamar, sudah tidak ingin melihat mukbang sambil memakan es krim. Moodnya berantakan karena Jefian, pun karena pria itu mengangkat telpon.

Bukan apa-apa sebenarnya hanya mengangkat sebuah panggilan telpon. Tapi, akhir-akhir ini suami Dyra itu sering mengangkat telpon jauh dari pandangannya, seakan tidak ingin didengar oleh sang istri.

Dyra tau, rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Tapi, apa harus Jefian selingkuh di belakangnya hanya karena masalah anak.

Bukan maksud menuduh, tapi pikirannya benar-benar tidak bisa positif. Apa yang disembunyikan seorang pria ber-istri jika mengangkat setiap panggilan harus diam-diam, tidak ingin didengar oleh istrinya jika bukan menyembunyikan selingkuhannya.

Kedua sahabatnya pun berkata seperti itu. Pria yang tidak bisa lepas dari ponselnya perlu dicurigai. Jefian sekarang tengah seperti itu, tidak bisa lepas sedetik pun dari ponsel genggamnya.

"Pakai jaketnya."

Dyra tersentak dari lamunannya saat jaket denim milik Jefian tersampir di bahu sempitnya.

Blue ClueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang