Singgah hanya tiga hari adalah omong kosong yang Jefian sesali untuk dipercaya. Bahkan ini sudah hari ke-lima namun, mertua serta orangtuanya masih betah menyambangi kediamannya. Mereka memonopoli Dyra sampai wanita itu tidak memperdulikan atensinya.
Dyra hanya akan menyiapkan bajunya untuk bekerja, kemudian wanita itu kembali bermanja pada kedua orangtuanya. Sarapan pun yang menyiapkan ibunya. Saat Jefian pulang bekerja? Jangan ditanya lagi, Dyra sudah menjelajahi alam mimpi. Padahal, Jefian sudah memaksimalkan untuk pulang lebih awal.
"Iih, mas!" Dyra memekik terkejut saat pinggangnya direngkuh oleh lengan kekar Jefian saat ia tengah sibuk di dapur.
"Kamu ngga kangen sama mas?" Tanya Jefian sambil melayangkan kecupan pada leher jenjang Dyra.
"Geli~" Dyra menggeliat detik berikut mencebik dan membiarkan Jefian. "Ngga, kan setiap hari juga ketemu?" Jawab Dyra dengan tidak yakin saat raut Jefian berubah begitu cepat.
"Kamu jadi sering cuekin mas dan lebih sering sama orangtua kamu. Udah lupa ya tugas kamu sebagai istri?"
Dyra meng-gigit bibir bawahnya dengan takut saat raut wajah Jefian begitu tak mengenakkan. "Ngga gitu mas, aku cuma mau abisin waktu aku sama orangtuaku. Kalau sama mas kan bisa kapan aja."
"Ngga bisa gitu, kamu kan sekarang udah jadi istri mas. Setidaknya jangan tidur sama orangtua kamu terus, mas juga kangen tidur sama kamu. Udah lima hari sejak orangtua kamu dateng, mas tidurnya sendiri. Kamu harusnya bisa bagi waktu buat mas dan orangtua kamu." Ucap Jefian dengan lembut.
"Mas kenapa sih?! Orangtuaku di sini cuma seminggu! Satu minggu aja aku mau abisin waktuku sama orangtua aku. Aku juga masih sempetin waktu buat mas. Lagian masalah tidur aja dipermasalahin."
Jefian tersentak saat Dyra berbicara dengan nada tinggi, terkesan membentak.
"Dimana letak kamu luangin waktu buat mas sih? Setiap pulang kerja juga kamu udah tidur sama orangtua kamu, padahal aku udah usahain buat pulang cepet. Masih sore loh, kamu udah tidur."
"Aku capek mas, tolong ngertiin aku."
"Cape ngapain aku tanya?! Aku ngga pernah nyuruh kamu ngerjain kerjaan rumah, aku gak pernah nyuruh kamu nyuci dan masak semenjak kamu hamil. Selama orangtua aku dan kamu di sini juga mereka kan yang urus semua-muanya, kamu tinggal duduk anteng. Aku tanya, kamu cape ngapain?"
Jefian menghela napas, niat hati ingin mencuri waktu untuk bermanja dan menghabiskan waktu berdua sirnah, berujung ia tersulut emosi. Rengkuhannya ia lepas kemudian berlalu tanpa kata setelah mengecup cepat ujung bibir sang istri. Daripada setan lebih jauh mengambil alih emosinya, lebih baik ia menjauh dari istrinya untuk sesaat.
"Mas." Panggilan Dyra diacuhkan.
👣👣👣
Ibu Jefian mengernyit saat anaknya duduk dengan acuh di bangku meja makan seorang diri, tanpa Dyra disisinya seperti biasa.
"Loh, Dyranya mana Jef?"
"Di kamar." Jawab Jefian acuh yang mendapat tatap bingung dari empat orangtua di sana.
Jefian menghela napas, kemudian mengangkat wajah untuk menjelaskan pada orangtua yang menampakkan raut menghakiminya.
"Dyra mual-mual lagi, kecapean jadi dia tidur lebih awal. Makanan nya nanti aku bawain ke kamar."
Raut yang tadinya menghakimi kini melunak, terganti raut lega.
"Yaudah, biar mama buatkan air jahe dulu"
"Ngga usah ma!" Jefian berdeham saat nada tinggi terlontar tanpa bisa dicegah pada mertuanya yang akan beranjak. "Maaf, maksud Jefian, biar Jefian aja nanti yang buat. Dyra juga baru tidur, kasian kalau dibangunin."
Suasana kembali hening, mereka kembali melanjutkan acara makan malam tanpa suara. Begitupun Jefian yang melanjutkan makannya tanpa napsu.
Setelah makan malam selesai, Jefian menunggu sang ibu selesai mencuci piring untuk mengajaknya berbicara. Pada akhirnya mertuanya yang membawa makanan serta air jahe untuk sang istri.
Setelah urusan sang ibu dengan dapur selesai, Jefian bawa sang ibu pada area belakang rumah untuk meminimalisir orang lain mendengar pembicaraan mereka. Tidak terlalu privacy tapi, Jefian butuh ruang.
"Bu, besok pulang ya. Jefian udah pesenin empat tiket, flightnya nggak terlalu pagi—"
"Siapa yang suruh kamu pesen tiket pulang? Kamu usir ibu dan mertua kamu?! Nggak sopan sekali kamu seperti itu!"
"Bukan gitu ibu! Dengerin Jefian dulu!" Ucap Jefian dengan kesal karena sang ibu dengan cepat memotong ucapannya dengan raut marah.
"Jef tau, kalian kangen apalagi mama sama ayah, Jefian tau mereka kangen Dyra. Tapi, kalau sampe Dyra acuhin Jefian, udah keterlaluan Bu. Jef ngga ngelarang Dyra manja sama orangtuanya, tapi ini kadang sampai ngga tidur sama Jef loh Bu. Udah lima hari Dyra ngga ada waktu buat Jef. Sehari masih jef wajarin, tapi sampai hari ke-lima Jef ngga ada waktu sekedar ngobrol doang–"
Jefian menghela napas pelan, ia sandarkan punggungnya pada tembok. Kedua matanya menyendu menatap sang ibu.
"Jef cuma butuh waktu sama Dyra. Jef mau recharger energi setelah seharian kerja, kayak biasanya. Ibu tau? Jefian berantem sama Dyra cuma karena masalah gini doang. Jadi Jefian mohon, ibu pulang dulu ya? Nanti boleh ke sini lagi, Jefian nggak larang." Ucap Jefian dengan putus asa.
Setelah lama hening, akhirnya ibu dari Jefian angkat bicara.
"Ibu ngga bisa ambil keputusan sendiri, nanti coba ibu diskusikan lagi sama yang lain." Bahu lebar Jevin ditepuk lembut oleh sang ibu. "Tapi, kalau boleh ibu saran. Kamu jangan terlalu mengekang Dyra. Ibu ngerti kamu sayang sama Dyra, tapi kamu juga harus tau, dia anak satu-satunya yang dari kecil sangat dekat sama orangtuanya. Wajar sekarang dia manja-manja sama orangtuanya."
"Iya bu—"
"Tapi bu, kalau pun kalian masih mau tinggal beberapa hari lagi, aku tetap akan mulangin kalian ke Jakarta." Lanjut Jefian dengan wajah datar.
"Kamu ini—"
"Tiketnya udah terlanjur dibeli bu, sayang uangnya kalau sampai hangus." Potong Jefian yang kemudian langsung berlari menghindari amukan sang ibu.
Bukannya tidak mau orangtuanya dan mertuanya terlalu lama tinggal, jujur saja Jefian tidak suka urusan rumah tangganya dicampuri oleh orang lain sekalipun itu orang tuanya.
Menurutnya, jika terlalu banyak orang berada di dalam rumahnya, itu akan mengurangi keharmonisan rumah tangganya, contohnya seperti sekarang, Dyra jadi semakin berjarak padanya.
"Kenapa nggak dihabisin makannya?" Tanya Jefian setelah ia berada dalam kamar miliknya yang terdapat sang istri dan mertuanya.
"Katanya mual, nak. Cuma masuk dua suap aja." Jelas ibu dari Dyra.
Jefian mendekat, ia sejajarkan tubuhnya agar dapat melihat raut sedih sang istri yang sedang menunduk.
"Makanannya ngga enak? Mau makan yang lain?" Tanya Jefian yang dijawab gelengan lemah.
"Mama tinggal keluar dulu ya." Pamit ibu Dyra yang mengerti situasi.
Jefian menghela napas pelan, ia duduk di samping istrinya dengan tangan mengangkat dagu istrinya.
"Hei, mas minta maaf udah kasar. Tapi mas minta, kamu jangan gitu lagi ya? Mas nggak larang kamu manja-manja sama orangtua kamu, mas cuma mau kamu bisa luangin waktu buat mas." Ucapan Jefian disambut isakan pelan Dyra.
Jefian mengusap halus puncak kepala Dyra kemudian beralih pada perut sang istri dan mengusapnya penuh sayang.
"Shhtt udah ya, nanti bayinya ikut sedih." Jefian bawa tubuh berisi istrinya untuk direngkuh yang langsung ditolak.
"Mas beliin sate ya? Kemarin mas liat kamu lagi seneng nonton mukbang sate. Tunggu di sini, kalau ngantuk tidur dulu aja." Masih tidak ada jawaban dari Dyra, membuat pria itu akhirnya beranjak pergi meninggalkan Dyra.
⌒ ⌒ ⌒ ⌒
Aku reminder lagi ya, jarak usia mereka beda 5 tahun, Dyra 22 Jefian 27
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Clue
Fanfiction●Jaedo Dyra sangat bersyukur mempunyai Jefian dalam hidupnya. Pria kaya raya yang sudi menjadi kekasih dan akan menikahi orang biasa seperti dirinya, pria yang menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apakah Dyra selalu akan mengucap syuk...
