Perang dingin sudah berlangsung hampir satu minggu. Tidak ada dari keduanya yang mengalah untuk meminta maaf, pun tidak berniat untuk meminta maaf. Karena bagi keduanya, diri mereka merasa paling benar.
Padahal jika ditelaah, si pria lah yang bersalah di sini. Namun, dengan perasaan lembut Dyra, ia masih melayani sang suami seperti semestinya. Menyampingkan rasa marahnya untuk tetap menyiapkan segala keperluan sang suami.
Tapi apa yang didapat Dyra dari Jefian? Sikap acuh yang membuat hati kecil Dyra terluka. Setiap pagi, Jefian hanya membawa bekal yang Dyra siapkan, tanpa mau sarapan lebih dulu seperti biasanya, mengabaikan jerih payah Dyra untuk memasak di pagi hari.
Setiap tidur, Jefian membelakangi Dyra. Mengabaikan Dyra saat wanita itu berbicara padanya. Jam pulang kerja pun selalu berbeda dengan jam pulang kerja Kendra, yang seharusnya selalu sama.
Lelaki itu selalu mengabaikan Dyra saat wanita itu menunggu kepulangannya, bahkan hingga tertidur di sofa ruang depan tidak ada simpati suaminya untuk sekedar membangunkannya dari tidur dan menyuruhnya berpindah. Sampai Dyra terbangun dengan rasa terkejut karena menunggu kepulangan Jefian, Dyra masih terbaring di sofa dengan selembar selimut di tubuhnya.
Hati Dyra sakit diperlakukan seperti itu. Ingin marah, tapi tenaga untuk berbicara pun sepertinya sudah tidak ada.
"Mas..."
Panggilan Dyra hanya dilirik sekilas oleh Jefian, kemudian pria itu kembali sibuk dengan ponsel genggamnya.
Hari ini adalah hari minggu, yang harusnya jadwal Jefian untuk libur. Tapi, pria itu lagi-lagi meninggalkannya untuk keluar bersama teman kerja, dengan alasan membicarakan masalah pekerjaan.
Dyra mengambil paksa ponsel dari genggaman Jefian, membuat pria itu mengerang kesal.
"Kamu apa-apaan sih! Balikin."
Dyra menyembunyikan ponsel Jefian di balik tubuhnya saat pria itu ingin merebut paksa.
Dyra menatap jefian yang juga tengah menatapnya dengan wajah dingin. Kalimat yang sudah Dyra susun sejak pagi, hilang sudah dari otaknya saat bertatap dengan mata tajam Jefian. Entah mengapa, getar mata yang berlomba untuk mengeluarkan air mata saat satu kata saja ingin Dyra keluarkan.
"Pulangin aku." Ucap Dyra dengan satu tarikan napas.
Jefian masih menatap Dyra tanpa perlawanan berarti.
"Pulangin aku ke rumah orangtua ku." Lagi, kini dengan isakan tertahan.
"Ngelantur kamu."
Jefian beranjak dari ranjang setelah mengucapkan dua kata, berniat meninggalkan Dyra ke ruang kerjanya. Namun, cekalan dari tangan mungil di lengannya, menahan langkah Jefian.
"Mau mas apa?! Ngga kayak gini mas cara nyelesain masalah."
Jefian melepas lembut tangan mungil Dyra, ingin sekali menggenggam erat tangan dingin itu dan berkata bahwa dirinya juga tengah dilanda kebingungan. Namun, ego prianya menahan untuk melakukan itu.
"Kamu tau sendiri apa yang mas mau." Jawaban dingin Jefian membuat Dyra tidak tau harus berbuat apa lagi. Dalam hati merutuki diri sendiri, karena itu jawaban yang memang tidak akan berubah.
"Aku ngga bisa."
Dyra memberanikan diri menghadang Jefian di depan pintu kamar yang tertutup, tidak membiarkan suaminya keluar selangkah pun.
Tubuh Dyra yang kurus, tidak terlihat jika wanita itu tengah mengandung. Namun, Jefian bisa merasa perut buncit istrinya saat wanita itu memeluk tubuhnya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Clue
Fanfic●Jaedo Dyra sangat bersyukur mempunyai Jefian dalam hidupnya. Pria kaya raya yang sudi menjadi kekasih dan akan menikahi orang biasa seperti dirinya, pria yang menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apakah Dyra selalu akan mengucap syuk...