❼ kehidupan baru

663 90 12
                                        

Hari ini tepat di mana Dyra akan diboyong Jefian ke Kalimantan, tempat suaminya tinggal dan bekerja. Setelah acara pernikahan, mereka menghabiskan empat hari di rumah Jefian dan empat hari di rumah baru Dyra.

Rumah baru yang dibeli oleh Jefian atas nama Dyra setelah dua hari pernikahan mereka. Jefian membawa Dyra serta orangtua wanitanya ke rumah yang akan dibeli, menanyakan terlebih dulu apakah letak rumah dan lingkungannya akan cocok ditinggalkan oleh mertuanya sebelum resmi membeli dengan cash.

Awalnya mereka terkejut, namun setelah Jefian menjelaskan bahwa rumah itu memang dibeli untuk Dyra dan akan mereka tempati sewaktu masa kontrak kerja Jefian di Kalimantan berkahir, mereka menerima dengan syukur.

"Udah semua? Jangan ada yang ketinggalan."

Dyra menghela pelan setelah mengecek kembali barang bawaan mereka. Tiga koper berisi baju, makanan serta kawan-kawannya. Bagpack milik Jefian yang berisi berkas penting dan tas selempang miliknya yang berisi barang penting seperti dompet, ponsel, ipad milik dirinya dan Jefian.

Tok tok tok

"Mas Jef, udah belum?" Teriakan Herin dari luar kamar memaksa Dyra beranjak untuk membuka pintu.

"Udah mba, maaf ya lama." Ucap Dyra memberi akses pada Herin untuk masuk.

"Tolong panggilin mas Sean, dek. Bantu bawa koper ke mobil." Pinta Jefian yang langsung dilakukan Herin. "Kamu tunggu depan aja sama yang lain. Ini biar mas urus."

Perintah Jefian tidak pernah ditunda oleh Dyra. Jadi, ketika Jefian memerintahkan apapun itu, Dyra segera melakukannya dalam diam.

Di teras depan rumah baru, sudah berkumpul kedua orangtua serta mertua Dyra. Obrolan ringan mereka berhenti saat Dyra datang, diikuti langkah pelan Jefian dan Sean membawa koper.

Keberangkatan ke Kalimantan kali ini, di antar oleh keluarga Jefian, hanya sampai bandara saja. Mengingat tiga tahun lagi mereka baru bisa bertemu sang anak. Jika hari libur pun belum tentu Jefian bisa pulang ke Jakarta, hanya tahun ini saja ia bisa bebas berpulang. Sebab itu, Jefian mengajak Dyra menikah di tahun ini.

"Barangnya udah semua masuk mobil?" Tanya Ibu Jefian memastikan kembali. "Jangan sampai ada barang penting yang ketinggalan loh. Surat-surat penting udah masuk semua?"

"Udah aman semua, ibu." Jawab Dyra atas semua kekhawatiran mertuanya.

"Yaudah masuk semua ke mobil, jangan sampai ketinggalan flight." Ujar Ibu Jefian dituruti anak-anaknya.

Namun, tidak dengan Dyra, ia masih bertahan pada posisi berdirinya menghadap kedua orangtuanya dan semua memaklumi tingkah Dyra, memilih memberikan ruang bagi anak tunggal itu.

"Mama, ayah." Panggil Dyra dengan lirih.

Rentangan tangan sang ayah, membuat Dyra dengan cepat masuk ke dalam dekapan hangat sang pahlawan. Tangis lirih mereka tidak bisa dibendung lagi. Dua puluh dua tahun mereka tinggal bersama anaknya, kini harus rela melepas jauh. Melepas tanggung jawab dan diserahkan sepenuhnya pada Jefian.

Sulit bagi mereka melepaskan salah satu, namun roda kehidupan tidak selalu berputar pada porosnya.

"Udah jangan nangis ah. Kan semalam udah melepas rindunya, sampai suami kamu diabaikan." Ucap sang ibu dibarengi dengan kekehan membuat Dyra mencebik pelan.

"Nanti kalau adek telfon, diangkat ya." Pinta Dyra.

"Iya, ini kan udah ada hape baru." Ujar sombong main-main kedua orangtuanya membuat Dyra terkekeh disela tangisnya.

Ponsel baru yang dimaksud kedua orangtuanya adalah ponsel bekas Dyra pakai. Jefian menyuruhnya memberikan ponsel miliknya dan ia akan dibelikan ponsel baru, tentunya bukan ponsel biasa dengan harga dua juta seperti miliknya yang lama. Ponsel boba keluaran terbaru dengan angka hampir mencapai dua puluh juta.

"Mama sama ayah jaga kesehatan ya, jangan makan sembarangan. Jangan cape-cape, terutama ayah. Ayah, ngga perlu kerja dengan keras, Dyra sekarang udah ada yang nanggung."

Sang ayah mengusap lembut surai legam Dyra, air mata yang sejak tadi sudah kering, kini berlomba ingin turun kembali. "Puji Tuhan, adek dapat suami yang baik. Jefian juga kasih uang perbulan buat mama dan ayah yang nominalnya lebih dari cukup..."

"Nurut sama Jefian ya, jangan suka ngebantah. Layani dia dengan cinta kamu. Satu lagi... Dewasa ya nak, ingat kamu sudah menjadi seorang istri."

Dyra mengangguk semangat, senyum terpatri jelas walau air mata masih enggan berhenti. "Siap ayah. Dyra pamit ya."

Satu langkah Dyra menandakan bahwa ia siap menghadapi kehidupan baru tanpa kedua orangtuanya. Siap untuk membangun keluarga kecil dengan keharmonisan di dalamnya.


👣👣👣


Dyra tidak menyangka jika tempat tinggal Jefian akan sangat jauh dari kota. Pelosok dan membutuhkan waktu dua jam perjalanan dari kota. Jalanan yang tidak beraturan, penerangan jalan yang minim serta dirinya yang masih jet lag sebab baru pertama kali naik pesawat, membuat Dyra hanya bersandar diam di dalam pelukan Jefian.

"Mual mas." Ucap Dyra dengan lirih saat mobil kembali terguncang.

Jefian menghentikan obrolan dengan sang teman, pandangannya ia tundukan guna melihat jelas wajah sang istri yang tertutup rambut. Dengan telaten Jefian mengumpulkan rambut Dyra jadi satu lalu mengikat dengan kuncir rambut yang ada di pergelangan istrinya.

"Sebentar lagi sampai." Jefian tidak berbohong, karena sepuluh menit kemudian mobil terparkir di depan sebuah rumah yang berjajar rapi dengan rumah lainnya. Suasana sangat sepi dikarenakan waktu sudah sangat malam.

"Tunggu di mobil dulu. Mas turunin barang sebentar."

Dyra mengangguk lemah, ia hanya ingin cepat bersentuhan dengan kasur. Rasa mualnya sudah menghilang, namun rasa pusing di kepalanya tidak berhenti berputar. Saat tubuhnya ditarik pelan dan di bawa ke dalam gendongan, Dyra tetap memejamkan mata karena sudah tidak mempunyai tenaga untuk bergerak.

"Jef, gua langsung pulang ya."

Dyra menghela pelan saat tubuhnya diletakkan di sofa dan eksistensi Jefian hilang dari pandangan buramnya.

"Thanks ya bang, besok gue mampir ke rumah."

Samar-samar Dyra bisa mendengar obrolan Jefian dan kembali mendapatkan Jefian dari pandangannya.

"Keringet dingin gini badan kamu. Masih mau muntah?" Pertanyaan Jefian diberi gelengan Dyra namun detik selanjutnya anggukan cepat Dyra layangkan.

Dyra menyanggah tubuh pada tembok setelah Jefian melepas gendongannya di kamar mandi. Ia menangis setelah membasuh mulutnya, perutnya hanya berisi air saja membuat sakit dan pusing menjadi satu.

Pintu kamar mandi dibuka, menampakkan Jefian dengan segelas teh hangat. "Minum dulu, habis itu mandi ya. Biar pusingnya hilang, soalnya kamu juga gerah itu."

Dyra mengangguk setelah menghabiskan seperempat gelas teh hangat.

"Yaudah mandi, nanti mas ambilin handuk sama bajunya. Sikat gigi baru ada di deket sabun." Jelas Jefian pada sang istri, setelahnya meninggalkan Dyra untuk menyelesaikan mandinya.

⌒ ⌒ ⌒ ⌒


Bole ya minta vote sama komennya 🙇‍♀
Soalnya klean dah baca sampe sini tandanya menikmati ceritanya ya ges ya

Blue ClueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang