➁❶ permohonan

387 65 13
                                    

Matahari masih malu-malu menampakkan diri saat Dyra mulai terbangun dari tidurnya. Matanya bengkak dikarena hampir seharian ia menangis, kepalanya pusing, tubuhnya tiba-tiba sangat pegal, serta perutnya yang keram.

Dyra menyandarkan tubuh pada headboard ranjang dengan raut kesakitan, tangannya meremas pelan perut bagian bawahnya yang begitu sangat sakit, ia baru ingat sempat terjatuh duduk kemarin. Wajah tertunduk Dyra dengan ringisan lirih kini mulai ia kontrol, ia angkat wajahnya dengan napas yang mulai diatur untuk mengurangi kejang perutnya.

"Laper ya bayi? Maaf ya, kemarin lupa makan." Ucap Dyra pada perut besarnya, tangannya tak henti mengelus perut besarnya agar sang jabang bayi merasa aman dan nyaman.

Tubuh berisi bayi itu Dyra paksa bangkit karena ia dan calon bayinya butuh makan, langkahnya pelan dan sangat hati-hati. Dyra lihat tubuh besar berbaring di atas sofa, ia baru ingat kemarin mengunci pintu kamar sehingga suaminya tidak bisa masuk. Langkahnya kembali ia lanjutkan menuju dapur.

Dyra ambil sebutir telur untuk ia dadar setelah menghangatkan nasi kemarin.

"Dyra."

Dyra terperanjat saat suara rendah Jefian menyapanya dengan tiba-tiba, ia abaikan sosok itu dan melanjutkan kegiatannya. Jefian mungkin terganggu dengan kegiatannya, padahal ia sudah seminim mungkin menghasilkan suara yang bisa membangunkan pria itu. Mungkin juga pria itu terbangun karena menghirup wanginya telur dadar dengan campuran sayur yang Dyra masak.

Dyra menghela napas pelan, ia ambil lagi dua buah telur untuk ia dadar. Pria di sampingnya masih diam, tidak berniat bergerak ataupun kembali bersuara hingga Dyra selesai dengan kegiatan masaknya.

"Mau makan?" Tanya Dyra dengan tangan cekatan menaruh nasi pada masing-masing piring dengan jatah Jefian yang lebih banyak darinya. Ia tau, pria itu juga belum makan sejak kemarin.

Dyra duduk nyaman pada bangku makan setelah meletakkan bagian Jefian. Mau dimakan ataupun tidak, ia tidak urus karena sekarang perutnya benar-benar butuh asupan makanan.

Dyra makan dengan pelan, saat suapan ketiganya terdengar derit bangku yang tidak lain adalah Jefian.

"Makasih." Setelah mencuri kecupan kilat di kening Dyra, Jefian memulai makannya.

Mereka makan tanpa kata. Canggung? Tentu saja, namun Dyra mencoba bersikap biasa saja walaupun sebenarnya dari lubuk hatinya benar-benar ingin menangis, marah dan memaki suaminya.

"Biar mas aja yang cuci."

Dyra membiarkan Jefian mencuci piring bekas mereka makan setelah ia selesai mencuci tangannya. Ia tinggal Jefian dan kembali ke kamar, karena jujur perutnya semakin terasa sakit. Pintu kamar tidak Dyra kunci, pun tidak Dyra tutup karena mau menghindar dari Jefian bagaimanapun tidak bisa, mereka masih satu rumah.

Dyra membuka matanya perlahan saat keningnya yang dibanjiri keringat dingin diusap oleh tangan besar Jefian, raut Jefian terlihat sangat khawatir saat Dyra meringis memegangi perutnya.

"Dyra."

"Sa-akit"

"Sak-ith hhahh sa-kit m-mas hhhaah." Dyra semakin meringis dengan tangan meremas perutnya. Jefian yang melihat istrinya kesakitan begitu panik, otaknya tidak bisa memproses tindakan apa yang harus ia lakukan.

"M-mas hiks... r-rum-ah s-sakithhh."

Mendengar kata terakhir istrinya, otak Jefian langsung memproses dengan cepat. Ia ambil kunci mobil dan berlari keluar untuk membuka pintu rumah dan pintu mobil penumpang di depan, setelahnya ia kembali ke kamar untuk mengambil dompet dan membawa sang istri dalam gendongannya. Ia letakkan dengan hati-hati Dyra pada kursi penumpang.

Jefian tidak ingat apakah pintu rumahnya sudah tertutup atau belum karena, setelah memastikan Dyra duduk dengan nyaman dan seatbelt terpasang dengan aman, ia langsung menjalankan mobilnya dengan cepat.

Melihat wajah kesakitan Dyra serta erangan sakit yang istrinya tahan membuat hati Jefian nyeri. Tangannya mencengkeram kemudi dengan kencang, air mata ia tepis dengan cepat saat akan turun bebas di pipinya. Wajahnya mengeras dengan pandangan kembali fokus pada jalan.

👣👣👣


"Kandungan istri bapak tidak apa, hanya keram kejut yang diakibatkan tekanan stres yang ibunya rasa, jadi berdampak pada bayinya yang ikut merasa. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, bu Dyra harus dirawat lebih dulu ya pak sampai keadaan tubuhnya mulai membaik. Dimohon untuk bapak selalu menemani istrinya dan tidak memicu kembali rasa stres pada ibu Dyra."

Jefian menjambak pelan rambut tebalnya dengan wajah tertunduk saat mengingat kembali perkataan dokter. Pemicu keadaan istrinya sekarang tentu saja dia sendiri.

Kening Jefian semakin mengkerut saat melihat tubuh istrinya terbaring lemah dengan alat pembantu nafas, hatinya benar-benar sakit. Tadi, saat akan sampai rumah sakit, Dyra sudah tidak sadarkan diri, padahal selama perjalanan Jefian tidak hentinya menyuruh sang istri untuk tetap sadar. Dari elusan di pipi, genggaman di tangan, serta nyanyian lirih agar istrinya tetap sadar, semua cara ia lakukan tapi, istrinya berkata tidak kuat sebelum kesadaran sang istri hilang.

"Sayang."

Tangis yang Jefian tahan kini pecah juga, tubuhnya yang duduk di kursi bergetar dengan hebat. Wajah berantakannya ia sembunyikan pada genggaman tangan istrinya yang tidak diinfus.

"Maaf.. maafin mas. Jangan sakit, jangan luka, mas mohon tetap sehat." Jefian kecup tangan dingin Dyra dengan bertubi-tubi.

"Ayo marahin mas, pukul mas, katain mas, mas salah. Tapi mas mohon, jangan diem aja, jangan tinggalin mas."

Berjam-jam Jefian menunggu Dyra siuman, hingga ia tidur kembali dan bangun saat dokter akan memeriksa keadaan Dyra, istrinya belum juga bangun. Jefian tetap setia menunggu hingga melupakan jam makannya.

Saat matahari mulai berhenti menerangi bumi, Dyra mulai terbangun dari tidur panjangnya dn membuat Jefian bernapas lega.

Tidak banyak suara yang Dyra lontarkan saat beberapa kali Jefian bertanya apa yang istrinya rasa pada tubuhnya. Jefian pun tidak mau memaksa, hanya memastikan Dyra baik-baik saja serta makan dengan banyak setelah tidur panjangnya.

"Pulang."

Suara lirih itu menghentikan Jefian dari kegiatan membersihkan sisa makan Dyra. Tangan Jefian terulur untuk mengelus lembut pipi sang istri.

"Nanti ya kalau keadaan kamu udah bener-bener sehat, dokter saranin kamu dirawat beberapa hari dulu."

Dyra menepis pelan tangan Jefian, mata sayunya menatap Jefian tanpa ekspresi. "Pulang."

"Iyaa nan—"

"Pulangin aku ke rumah orangtua ku."

"Dyra—"

Jefian termengu tidak bisa melanjutkan ucapannya saat Dyra menangis dengan terus menlontarkan kata sakit.

"S-sakit hiks.. sa-akit mas hiks.." Dyra menepuk dadanya dengan air mata yang terus mengalir.

"S-sakit hahh hiks.."

Jefian putus kontak matanya dengan Dyra, menatap apapun selain Dyra. Hatinya seperti ditusuk beribu jarum melihat istrinya seperti itu. Air matanya pun tidak bisa ditahan untuk tidak ikut turun.

"P-pulangin hahh aku m-mas hiks.. pul-lang.. s-sakit hahh.."

"Maaf."

Hanya pelukan penenang dan ucapan maaf yang bisa Jefian lakukan untuk saat ini pada Dyra. Jefian tidak bisa memaafkan dirinya atas perlakuan brengseknya dulu yang membuat keluarga kecilnya hari ini diambang kehancuran. Keluarga kecil yang ia idamkan, ia impikan, yang ia baru bangun dengan wanita yang sangat ia cintai.

Jefian tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika Dyra meninggalkannya. Tolong, jangan sampai. Jefian tidak tau akan jadi seperti apa ia ditinggalkan untuk kedua kalinya dengan wanita yang ia cintai.

⌒ ⌒ ⌒ ⌒

Huftt

Blue ClueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang