❾ terbiasa

658 83 50
                                    

Lima bulan sudah Dyra menjalani pernikahan bersama Jefian. Dirinya mulai terbiasa dengan lingkungan baru, orang baru, serta sikap baru dari Jefian yang ia baru ketahui selama menjalin pernikahan.

Setiap paginya di jam tujuh, Dyra baru beranjak dari kasur bersama dengan jam bangunnya Jefian. Kemudian Dyra akan menyiapkan makanan dengan Jefian yang mulai bersiap, setelahnya ia akan mandi dan sarapan bersama. Di jam delapan, Dyra mengantarkan Jefian bekerja sampai depan rumah.

Berikutnya wanita itu akan membereskan rumah dan kegiatan lainnya yang dia isi untuk menghilangkan rasa bosan. Jika benar-benar merasa kesepian, Dyra akan berkunjung main ke depan rumah. Sesekali Dyra juga masih mengambil pekerjaan freelancenya tanpa sepengetahuan Jefian.

Kegiatan itu terus berlangsung sama setiap harinya. Ada rasa kosong dan kesepian setiap kali Dyra sendiri di rumah. Jefian yang selalu pulang di jam sebelas membuat interaksi keduanya menjadi minim karena, setelah pulang kerja Jefian akan langsung bersih-bersih dan pergi tidur lalu paginya sudah berangkat kerja lagi.

Weekend pun Jefian masih harus bekerja. Kata Wulan, itu sudah wajar mengingat pekerjaan mereka adalah arsitek dan mandor. Bangunan yang sedang di bangun pun harus selesai dengan waktu yang sudah ditentukan. Sebab itu, mereka yang sudah berkeluarga memilih program hamil agar cepat mempunyai anak untuk menemani sepinya saat ditinggal suami bekerja.

Dyra juga ingin sekali mempunyai anak untuk menemani sepinya rumah. Tapi, saat mengingat Jefian tidak ingin mempunyai anak di waktu dekat, mengurungkan niat Dyra untuk berhenti mengonsumsi pil pencegah hamil.

"Kenapa ngelamun, hm? Apa yang kamu pikirin?"

Dyra tersentak saat ada sentuhan lembut pada perutnya. Ia tersenyum tipis saat Jefian mengukung tubuh kecilnya.

"Ngga apa-apa. Mas udah selesai kerjanya?" Tanya Dyra dengan usapan halus di punggung Jefian yang kini sudah memeluk dan menaruh wajah di perpotongan leher Dyra.

"Udah." Jawabnya singkat.

Hari sabtu ini, Jefian masih harus menyelesaikan pekerjaannya yang ia bawa pulang. Mengingat kini ia sudah beristri, ia tidak bisa lagi menyelesaikan pekerjaan di kantor, karena ada wanita yang menunggu kepulangannya.

"Besok mas ada janji sama teman-teman mas, mau ke kota." Ucap Jefian memberitahu.

"Mau ngapain?" Tanya Dyra dengan nada kecewa. Pasalnya hari libur yang Jefian habiskan bersama Dyra bisa terhitung jari. Besok Ia berniat ingin mengajak Jefian ke kota, tapi suaminya itu sudah membuat janji lebih dulu.

Jefian mengangkat bahu. "Nongkrong? Sekalian ngobrol masalah kerjaan."

"Mas Kendra ikut?"

"Hm."

Dyra menggigit bibir guna menimbang apa yang harus ia ucapkan akan memiliki resiko besar. Tubuhnya kini sudah dipeluk Jefian sepenuhnya, berganti dengan Dyra yang kini menenggelamkan wajah di dada telanjang Jefian.

"Mas, gimana kalau kita program hamil?"

Tidak ada jawaban dari Jefian membuat Dyra kembali melanjutkan ucapannya. "Kalau kita punya anak, aku jadi ada temen mas, ngga kesepian kalau mas lagi ker--"

"Tidur."

Suara tegas itu memotong perkataan Dyra. "Kenapa? Kenapa mas milih buat nunda punya anak?..."

"...Kasih tau alasannya ke aku, biar aku bisa coba ngertiin. Aku ngga mau mas kalau harus nunda punya anak lama-lama, aku takut nanti malah lama dikasih anaknya sama Tuhan. Aku juga takut konsumi pil dalam jangka waktu panjang." Ucap Dyra dengan suara bergetar mencoba menahan tangisnya. Tapi apa yang dia dapat? Jefian yang berdecak dengan kasar menarik wajahnya.

"Dengar ya. Mas cuma ngga mau kamu gak ada yang perhatiin kalau hamil di dekat-dekat ini. Kerjaan mas lagi hectic, ngga memungkinkan buat mas kontrol kamu setiap hari." Ujar Jefian mencoba untuk memberi pengertian pada istri kecilnya.

"Nanti ya, tunggu sebentar lagi. Mas janji kita program anak, tapi ngga di dekat-dekat ini. Kamu ngga usah takut, pil yang mas kasih ke kamu itu sesuai anjuran dokter." Jefian menghapus jejak air mata di pipi gembil Dyra, membelainya halus untuk menenangkan sang istri. "Kamu mau kan tunggu sebentar lagi?"

Dyra mengangguk patah, matanya terpejam saat Jefian mengecupi hidung dan bibirnya dengan bisikan terima kasih serta maaf. Tidak lupa kalimat cinta yang selalu tersemat disetiap lumatan mereka.


👣👣👣


Jefian keluar dari mobil dinas menuju warung tenda yang sering dipakai untuk berkumpul dengan teman-temannya. Sudah ada sepuluh pria dewasa termasuk Kendra, sahabat Jefian. Ia kemudian menyapa dengan tos ala pria, memesan kopi, cemilan dan mengeluarkan rokok untuk menemani kumpul mereka.

"Istri bocil lo gak ikut Jef? Bawa sini sekali-kali mau liat gue gimana itu anak sekarang." Ujar salah satu pria yang duduk di paling pojok.

"Ngga nyangka sih lo mainnya sejauh ini, sampe dinikahin segala." Kini, pria bertubuh gemuk berbicara dengan kekehan ringan.

"Udah ngga bisa nahan nafsu dia bang. Ngga mau ikutan nyewa cewe, masih inget dosa makanya dinikahin buru-buru." Kali ini Kendra berucap dengan tawa ejek diikuti lainnya.

Jefian yang dibicarakan hanya terkekeh sambil menghembuskan asap rokoknya. "Gue menang nih, jangan lupa saham-saham buat gue."

"Aman, kita lagi urus atas nama lo. Anjing lah, gue kira si bocil ngga akan mau sama lo." Kini berucap pria yang terlihat paling tua diantara lainnya.

"Pesona gue ngga bisa dilewatin, bang." Kalimat Jefian membuat pria lainnya mengumpat namun membenarkannya.

"Enak kan Jef nikah? Ada yang ngurusin, urusan ranjang juga aman apalagi sama daun muda, udah ngga perlu main solo lagi."

"Banyak untungnya si Jefian, bang. Nanti gue juga mau nyari yang muda ah buat dinikahin."

"Tapi ya, waktu gue jemput si Jefian sama istrinya, emang masih keliatan kayak bocah, mana badannya juga kecil." Ujar pria jangkung yang duduk di hadapan Jefian.

"Istri gue ngga bocil banget kali, bang. Cuma dari luar aja perawakannya kayak anak kecil, dalemnya mah beda lagi." Ucapan Jefian mengundang rasa penasaran pria dewasa di sana, memaksanya untuk mendeskripsikan bagaimana sang istri. "Rahasia negara itu mah, kepo lo pada."

"Lo yang mancing duluan, nyet." Kendra menepuk keras lengan berotot Jefian.

Jefian terkekeh pelan. "Enak lah, rapet. Staminanya lebih oke." Pernyataannya mendapat berbagai siulan dari teman-temannya.

"Tapi ini lo beneran ngga akan nyesel kan nikahin Dyra? Masalahnya nama tuh bocah udah masuk ke pemerintahan sebagai istri lo. Susah lo kalau mau cerai sewaktu-waktu Talia balik."

"Aman deh, urusan belakangan itu." Jawab Jefian dengan senyum tipis, asap rokonya ia hembuskan dengan napas berat bersamaan hilang senyum di bibirnya.

Topik obrolan kembali berputar di antara mereka. Sesekali Jefian menimbrung dengan candaan. Sampai tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, bulan mulai muncul menggantikan tugas matahari. Mereka yang membawa masing-masing mobil dinas, memilih untuk pulang satu persatu, tentu Jefian yang pamit lebih dulu.

Jefian menyempatkan diri untuk membeli burger kesukaan sang istri, lalu mengemudikan mobilnya dengan cepat mengingat hari semakin gelap.

Jefian memarkirkan mobilnya di halaman depan. Lampu teras sudah menyala dan lampu ruang depan yang mati menandakan Dyra sudah lelap dalam tidur.

Jefian mengunci pintu rumah dan dengan cepat membersihkan diri sebelum ikut bergabung ke alam mimpi bersama istrinya.

Cup

Cup

"Mimpi indah, sayang." Ucap Jefian pada Dyra yang sudah dalam rengkuhannya. Hidungnya mengusak pipi lembut sang istri dengan pelan.

"Maafin, mas."

⌒ ⌒ ⌒ ⌒

Ngeri ya topik obrolannya 😬

Blue ClueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang