2 | Insiden

3.2K 242 7
                                    

Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Juanda di Surabaya memakan waktu selama satu setengah jam. Penerbangan kali itu mereka lewati dengan lancar tanpa ada kendala penundaan penerbangan ataupun turbulensi ketika pesawat sudah mengudara. Setelah pesawat mendarat, Ziva segera membuka seat belt yang dikenakannya, lalu membuka tempat penyimpanan untuk mengambil tas miliknya serta tas milik Raja. Raja terdiam selama beberapa saat ketika menerima tas miliknya yang disodorkan oleh Ziva saat itu.


"Seharusnya aku yang ambilin tas untuk kamu dari tempat penyimpanan itu. Kenapa jadi malah kamu yang mengambilkan aku tas?" tanya Raja.

Ziva pun tersenyum.

"Ja, aku ini partner kerja kamu. Aku ada di samping kamu bukan buat bikin kamu susah, tapi untuk meringankan pekerjaan kamu. Jadi siapa pun yang duduknya di pinggir, jelas pasti akan menjadi yang pertama ambil tas di tempat penyimpanan," jelas Ziva. "Sudah, jangan dipermasalahkan lagi. Ayo cepat kita berbaris agar bisa cepat turun."

Raja pun mengangguk dan menerima saja penjelasan yang Ziva berikan, meskipun saat itu ia sebenarnya tetap keberatan dengan apa yang Ziva lakukan untuknya. Sejak kecil Raja selalu diajarkan oleh Ibunya untuk bersikap baik dan mendahulukan kepentingan wanita pada setiap kesempatan. Namun jika wanita yang dihadapi oleh Raja adalah seseorang yang memiliki sifat mandiri seperti Ziva, entah bagaimana caranya bagi Raja untuk menjalankan kebiasaan yang selalu diajarkan oleh Ibunya.

Tari mengumpulkan mereka di tempat kedatangan di depan Bandara Juanda. Pak Heru tampak sudah menunggu mereka saat itu dan siap mengantar mereka ke penginapan sebelum mulai bekerja beberapa jam ke depan. Tari terus saja menggendong Batagor yang baru saja dikeluarkan dari bagasi pesawat. Batagor tampaknya senang sekali karena Tari tak pernah lupa membawanya ketika bekerja.

"Tari ke mana-mana selalu bawa Batagor?" tanya Raja kepada Mika.

"Iya. Batagor adalah belahan jiwanya Tari. Jadi enggak bisa ditinggal," jawab Mika.

"Hah? Belahan jiwa?" heran Raja.

Hani dan Ziva pun terkikik geli saat mendengar tanggapan Raja, sementara Rasyid hanya bisa tersenyum-senyum dalam diamnya.

"Jangan sering-sering percaya dengan apa yang Mika katakan, Ja. Nanti kamu bisa tersesat kalau mendengarkan ucapannya," saran Hani.

"Mika bercanda kok, Ja. Batagor selalu dibawa ke mana-mana sama Tari karena dia enggak bisa dititip sama orang lain. Batagor cuma mau nurut sama Tari doang. Dia enggak mau makan kalau bukan Tari yang kasih makan," jelas Ziva.

"Ya Allah, kirain Batagor benar-benar belahan jiwanya Tari. Baru aku mau tanya, kalau belahan jiwa Tari adalah kucing, terus belahan jiwaku apa dong kira-kira?" ungkap Raja, sambil mengusap-usap dada.

"Mungkin kodok, iguana, atau ...."

"Mika! Jangan jahilin Raja, deh!" tegur Hani, sambil bersiap ingin menyambit Mika dengan sepatunya.

Mika segera berlari dan meminta perlindungan pada Rasyid. Raja hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat kelakuan Mika dan Hani, sementara Ziva sudah tertawa tanpa berusaha menahan-nahan diri. Mereka kembali naik ke mobil yang sudah disediakan oleh Heru. Perjalanan berlanjut menuju ke penginapan yang cukup dekat dengan Desa Gebang, tempat terjadinya kasus aneh yang menimpa beberapa keluarga.

"Dua orang yang meninggal dunia secara tak wajar itu sudah dimakamkan sore tadi. Mereka berasal dari dua keluarga yang berbeda, sehingga malam ini kemungkinan kedua keluarga itu sama sekali tidak bisa tidur akibat takut akan menjadi korban selanjutnya," jelas Heru, yang malam itu menjemput mereka didampingi oleh sopirnya.

"Bolehkah beberapa di antara kami melihat situasi Desa Gebang malam ini juga, Pak Heru? Hanya dua orang saja, tidak lebih," pinta Ziva.

Raja menoleh ke arah Ziva, karena merasa tahu bahwa dirinyalah yang akan diajak untuk melihat situasi Desa Gebang malam itu. Hanya saja, Raja belum tahu apa tujuan dari pengamatan pertama yang ingin dilakukan oleh Ziva.

"Iya, tentu saja boleh. Nanti kalian akan saya temani secara langsung untuk melihat keadaan Desa Gebang," jawab Heru.

Mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi Heru kini tiba di depan sebuah penginapan. Barang-barang bawaan mereka diturunkan dari mobil, agar bisa dibawa ke kamar yang sudah ditetapkan sebagai tempat mereka menginap.

"Tas kalian biar kami yang bawa," ujar Rasyid kepada Raja dan Ziva.

"Iya, pergilah bersama Pak Heru. Lalu setelah kembali, jangan lupa untuk beri tahu kami tentang situasi di Desa Gebang," pinta Tari.

"Oke. Kalau begitu aku dan Raja akan langsung pergi sekarang juga," sahut Ziva, yang kemudian memberi tanda pada Raja untuk mengikuti langkahnya.

Raja pun segera mengikuti Ziva yang kini akan kembali masuk ke mobil milik Heru. Di dalam mobil itu hanya ada sopirnya, sementara Heru masih berada di luar dan bicara dengan Tari.

"Owalah, tak pikir yang mau ikut ke Desa Gebang hanya yang wanita saja," ujar sopir tersebut.

Ziva langsung menatap tajam ke arah sopir tersebut dari arah belakang, sementara Raja tampak tidak suka dengan cara bicara si sopir.

"Memangnya kenapa kalau bukan wanita semua yang ikut? Ada masalah?" tanya Raja, dengan nada lebih tinggi.

"Pak Heru tahu tentang kelakuan dan cara bicara anda yang seperti barusan? Sudah biasa ya, jelalatan terhadap wanita?" tambah Ziva.

"Alah! Kalian itu pendatang, jadi jangan macam-macam. Jangan coba-coba bicara sama Pak Heru. Cuma begitu saja kok tersinggung! Suka-suka saya tho, kalau mau jelalatan sama perempuan!" jawab si sopir.

Heru pun masuk ke mobil itu tak lama kemudian, saat Raja dan Ziva masih diliputi rasa tak percaya atas apa yang dikatakan oleh si sopir tadi.

"Oke. Ayo kita langsung ke Desa Gebang," perintah Heru.

"Maaf, Pak. Kami naik ojek saja. Kami tidak jadi ikut di mobil ini," tolak Ziva.

Raja membuka kembali pintu mobil dan keluar lebih dulu sebelum Ziva.

"Loh, ada apa? Kenapa kalian mendadak membatalkan ikut dengan saya?" tanya Heru, seraya ikut turun dari mobilnya.

Sopir pribadi Heru tampak sedikit memucat, namun tetap saja mengarahkan tatapan tajamnya pada Raja dan Ziva seakan hendak mengancam.

"Sopir Bapak kurang ajar mulutnya. Dia melecehkan rekan saya secara verbal!" tegas Raja, sama sekali tidak takut dengan ancaman yang dilayangkan oleh si sopir melalui tatapannya.

Heru pun langsung menatap tajam ke arah sopirnya dan tampak seakan butuh penjelasan. Tari dan Rasyid mendekat karena mendengar keributan.

"Saya ndak bilang apa-apa kok, Komandan. Mbak dan Masnya saja yang mungkin salah tangkap," elak si sopir.

Ziva pun mengeluarkan tape recorder kecil miliknya dari dalam saku, lalu memutarnya untuk didengarkan oleh Heru.

"Owalah, tak pikir yang mau ikut ke Desa Gebang hanya yang wanita saja."

"Memangnya kenapa kalau bukan wanita semua yang ikut? Ada masalah?"

"Pak Heru tahu tentang kelakuan dan cara bicara anda yang seperti barusan? Sudah biasa ya, kurang ajar dan jelalatan terhadap wanita?"

"Alah! Kalian itu pendatang, jadi jangan macam-macam. Jangan coba-coba bicara sama Pak Heru. Cuma begitu saja kok tersinggung! Suka-suka saya tho, kalau mau jelalatan sama perempuan!"

Klik!

"Bagaimana, Pak Heru? Apakah ucapan sopir Bapak barusan harus saya perkarakan di kantor Polisi?" tanya Ziva, tampak begitu tenang.

* * *

TELUH BERAS KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang