24 | Sepasang

1.8K 185 1
                                    

Kumandang adzan maghrib terdengar jelas di telinga. Hal itu jelas langsung membuat niatan Mbah Sarjan untuk keluar dari rumahnya mendadak urung. Keinginannya untuk mendatangi Desa Gebang terpaksa harus ia tunda sampai waktu maghrib benar-benar berlalu. Setelah makhluk peliharaannya benar-benar dilenyapkan oleh Ziva, Mbah Sarjan merasa amarahnya meluap dengan hebat. Ia tampak begitu sulit untuk mengendalikan luapan amarah yang sedang bergejolak di dalam dadanya.


"Dari semua orang kota yang datang untuk membantu Wagiman, Mugi, dan Tarjo, hanya wanita itu saja tampaknya sangat menonjol. Tampaknya dia adalah satu-satunya yang memiliki ilmu, ketimbang yang lainnya. Aku jelas akan berhadapan dengannya saat bisa keluar dari rumah ini setelah lewat waktu maghrib," gumam Mbah Sarjan.

Di tangan Mbah Sarjan saat itu sudah siap sebuah keris yang tak pernah lupa dia mantrai setiap kali bulan purnama tiba. Mbah Sarjan meyakini kalau keris itu adalah keris sakti yang akan membuatnya memenangkan pertarungan dengan siapa pun.

"Aku tidak akan kalah dari wanita kota itu. Aku akan memenangkan pertarungan terakhir malam ini, dan menuntaskan teluh yang telah aku kirimkan pada Wagiman, Tarjo, dan Mugi. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku harus bisa kembali merasakan masa kejayaanku, dulu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi langkahku untuk mencapai apa yang aku impikan!"

Mbah Sarjan menatap ke arah tiga wadah tanah liat yang digunakannya untuk menjalankan ritual teluh beras kuning. Ketiga wadah itu sudah benar-benar hampir hancur setelah makhluk peliharaannya dilenyapkan oleh Ziva. Ritual teluh itu benar-benar sudah berada pada batasnya, dan jika hancur, maka tidak akan bisa diulangi lagi oleh Mbah Sarjan. Selain karena makhluk peliharaannya sudah dilenyapkan, tenaga Mbah Sarjan sudah tidak bisa digunakan semaksimal dulu. Usia adalah hal yang menghalanginya untuk bisa melakukan sesuatu secara berulang-ulang.

"Malam ini adalah penentuan, jadi aku jelas tidak boleh menyerah begitu saja dari wanita kota itu."

Setelah shalat maghrib selesai dilaksanakan di masjid yang ada di Desa Gebang, semua jama'ah pun segera membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Tari meminta semua anggota timnya kembali berkumpul di depan rumah Pak RT untuk merundingkan langkah selanjutnya dari pekerjaan mereka. Rasyid duduk pada kursi panjang yang ada di halaman rumah Pak RT bersama Mika dan Hani, sementara Ziva dan Raja memilih berdiri bersama dengan Tari.

"Baiklah. Saat ini keadaan ketiga korban sudah mulai membaik setelah dilakukan upaya ruqyah. Baik itu ruqyah dari dalam yang telah dilakukan oleh Ziva, maupun ruqyah dari luar yang telah dilakukan oleh Rasyid, Mika, dan Raja. Namun sekali lagi, ritual teluh beras kuning yang dilakukan oleh Mbah Sarjan belum benar-benar tuntas atau bisa dibilang belum berakhir. Hal itu hanya akan berakhir setelah Mbah Sarjan berhadapan langsung dengan Ziva, karena Ziva jelas akan bisa langsung mematahkan ritual itu dengan cara berhadapan dengan pelakunya. Jadi aku minta pada kalian semua untuk bersiap-siap. Kita harus menyokong Ziva dari berbagai arah saat dia benar-benar berhadapan dengan Mbah Sarjan. Kalau soal adu ilmu, mari kita serahkan semuanya pada Ziva. Namun jika ternyata Mbah Sarjan muncul dan akan bertikai dengan Ziva menggunakan senjata, maka kita harus siap dengan persenjataan kita sendiri," jelas Tari.

"Contohnya?" tanya Raja, yang baru tahu kalau ternyata anggota di dalam tim itu haruslah memiliki setidaknya satu senjata.

Semua mata pun menatap ke arah Raja dan memasang tampang yang cukup kaget.

"Loh, kamu enggak bawa senjata apa pun, Ja? 'Kan dibrosur yang aku sebar ketika mencari anggota baru sudah kutuliskan tentang 'setidaknya harus memiliki satu senjata'," ujar Hani.

"Oh, ya? Wah ... aku enggak baca keseluruhan brosurnya, Han. Aku cuma baca yang intinya saja lalu segera menelepon nomor telepon yang tertera di brosur," balas Raja, mengakui dengan jujur bahwa dirinya tidak teliti saat membaca brosur yang dibagikan.

Rasyid dan Mika tampak langsung meringis ketika mendengar pengakuan itu, sementara Ziva dan Tari berusaha menahan tawa mereka agar Raja tidak merasa malu atau tersinggung.

"Ya sudah, tidak usah diperbesar mengenai tidak telitinya Raja saat membaca brosur dari Hani. Senjata yang aku punya 'kan sepasang, jadi salah satunya bisa kuberikan pada Raja untuk dia pegang. Lagi pula, selama ini aku hanya selalu memakai satu dari kedua senjata itu," ujar Ziva.

Raja pun langsung menatap ke arah Ziva yang memang berdiri di sampingnya sejak tadi.

"Oh, ya? Senjatamu sepasang tapi kamu hanya menggunakan satu selama tujuh tahun bekerja?" tanya Raja, terlihat sedikit heran.

"Iya. Soalnya yang satu lagi bobotnya agak lebih berat, sementara tanganku tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat terlalu lama. Jadinya ya ... aku pakai cuma satu saja selama tujuh tahun ini," jelas Ziva.

Rasyid dan Mika pun tertawa saat mendengar bagaimana Ziva menjabarkan soal bobot senjatanya yang tak pernah dipakai kepada Raja.

"Jangan dianggap enteng loh, Ja. Itu pasangan senjata punya Ziva bobotnya berat bukan sembarang berat. Kita berdua saja tidak mampu jika disuruh untuk menggunakan senjata itu," ujar Mika.

"Iya, betul itu. Aku saja langsung menyerah saat pertama kali memegangnya," tambah Rasyid.

"Serius?" Raja tampak tidak bisa percaya dengan apa yang Mika dan Rasyid katakan.

Ziva pun meraih tas miliknya dan mengeluarkan sepasang senjata yang ia punya. Wanita itu kemudian menyerahkan satu senjata ke tangan Raja, agar Raja bisa membuktikan bahwa apa yang Mika, Rasyid, dan dirinya katakan bukanlah hal bohong.

"Ini cukup ringan, kok. Enggak berat sama sekali," ujar Raja, menimang-nimang dan memindah-mindahkan senjata itu pada kedua tangannya dengan lincah.

Ziva, Rasyid, Mika, Hani, dan Tari pun merasa heran dengan hal yang sedang mereka saksikan saat itu.

"Tapi mereka bertiga memang serius kok, Ja. Senjata itu memang terasa berat ketika kami yang mencobanya," Tari menguatkan apa yang tadi tercetus.

"Coba kamu pegang yang ini, Ja," pinta Ziva, menyerahkan senjata yang satu lagi.

Raja menerimanya dan ekspresinya langsung berubah seketika serta tangannya tampak berusaha keras untuk beradaptasi dengan senjata yang biasa Ziva gunakan.

"Nah ... yang ini baru berat, Ziv. Kalau yang kamu serahkan padaku pertama justru tidak berat dan bahkan tanganku seperti tidak memegang apa-apa sama sekali," ujar Raja.

"Mungkin karena akhirnya senjata itu menemukan pemiliknya yang tepat," sahut Hani. "Itu senjata 'kan sepasang, makanya Ziva enggak bisa menggunakan kedua-duanya sekaligus. Serta harus orang yang tepat, yang memegang senjata pasangannya agar bisa digunakan seperti bagaimana Ziva menggunakannya. Jadi intinya, Raja enggak perlu lagi cari senjata untuk dia pegang, karena sekarang dia sudah menemukan senjata yang terasa pas di tangannya."

* * *

TELUH BERAS KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang