13 | Pertemuan

2K 177 3
                                    

AYAH

Apa yang kamu sampaikan sudah Ayah sampaikan pada Mama dan Papanya Gani. Ayah harap kamu sekarang sudah bisa lebih tenang, karena mereka tampaknya juga akan menyerah dan tidak akan lagi mengganggumu. Kamu kerja saja seperti biasanya, lalu cepat pulang setelah pekerjaanmu selesai. Ayah sayang dan rindu padamu.

Ziva masih mendekap kedua lututnya di atas tempat tidur. Usai membaca pesan yang Ayahnya kirimkan, perasaan Ziva masih saja belum benar-benar tenang. Bukan karena tadi dirinya hampir saja mendapatkan masalah besar akibat kamarnya dimasuki penyusup. Tapi karena dirinya tidak benar-benar yakin kalau Gani akan berhenti menghubunginya dan mengganggu hidupnya. Ia tahu betul bagaimana sifat Gani. Laki-laki itu sering sekali memaksakan kehendak dan berusaha keras untuk mendapatkan hal yang dia inginkan. Kedua orangtua Gani mungkin akan langsung menyerah, namun Gani belum tentu demikian. Hal itulah yang membuat Ziva belum merasa tenang.

Suara ketukan pada pintu kamarnya membuat Ziva tersadar kembali dengan dunia nyata. Perasaannya mendadak was-was ketika ketukan pintu itu terdengar beberapa kali.

"Ziv, ayo keluar. Kita harus kembali ke Desa Gebang sekarang juga," ajak Hani.

"Iya, Han. Tunggu sebentar ya, Sayang," sahut Ziva, yang kemudian meraih ponselnya dan segera memasukkannya ke dalam saku celana kerja.

Ketika Ziva membuka pintu kamarnya, wajah Raja, Mika, Hani, Tari, dan Rasyid bisa langsung terlihat olehnya. Hani berjalan duluan bersama Mika, sementara Tari menggandeng tangan Rasyid karena Batagor tampaknya sedang ingin bermanja-manja pada keduanya. Raja sendiri kini kembali berjalan di sisi Ziva seperti sebelumnya. Wajah Ziva terlihat tidak secerah tadi, seakan tampak seperti sedang banyak pikiran.

"Kamu sudah biasa memanggil Hani dengan panggilan 'sayang'?" tanya Raja.

"Mm ... aku kebiasaan memanggil dia 'sayang', sejak kami masih SMA. Dulu dia itu adalah salah satu siswi yang sering dirundung di sekolah. Aku sengaja memanggilnya 'sayang' setiap kali kami bertemu, agar para perundung yang merundungnya menjauh. Aku dan Tari selalu ada di sisinya setelah kami masuk di kelas yang sama saat naik ke kelas sebelas. Sejak itu pula para perundung menjauhi dia sepenuhnya, tapi pada saat itu aku sudah benar-benar kebiasaan memanggil dia 'sayang'. Dia sudah kuanggap seperti Adikku sendiri, dan kebanyakan orang yang tidak tahu kalau aku adalah anak tunggal, akan berpikir kalau Hani memang Adikku," jawab Ziva.

Raja pun mengangguk-anggukkan kepalanya, setelah mendengar jawaban langsung dari Ziva.

"Jadi kalau nanti kamu punya Suami, dia akan bersaing dong dengan Hani? Suamimu jelas juga ingin dipanggil 'sayang' oleh kamu," ujar Raja.

Ziva pun tertawa pelan saat mendengar apa yang Raja katakan. Ia menatap ke arah pria itu dengan wajah yang sudah jauh lebih cerah daripada sebelumnya.

"Panggilan mesra dan penuh cinta itu tidak cuma 'sayang', Ja. Ada banyak kok kata-kata yang artinya sangat mesra untuk pasangan. Jadi Suamiku nanti jelas tidak perlu bersaing dengan Hani, meskipun Hani akan kupanggil 'sayang' seumur hidup. Aku bisa memanggil Suamiku dengan panggilan 'cintaku', 'rembulanku', dan lain sebagainya."

"Rembulanku tampaknya cukup bagus. Aku setuju kalau kamu akan memanggil Suamimu nanti dengan panggilan rembulanku," tanggap Raja.

"Hm ... iya, nanti akan kupanggil Suamiku dengan panggilan Rembulanku. Mengkhayal saja dulu, selama calonnya belum ada," sahut Ziva, sambil berusaha menahan geli akibat menerima saran yang random dari Raja.

Retno, Mila, dan Faris tampak sangat menikmati momen pertemuan mereka sore itu di salah satu restoran pilihan Retno. Suasana warm and cozy sangat terasa di restoran tersebut. Membuat mereka bertiga kembali bisa mengingat masa-masa muda dalam hidup mereka masing-masing.

"Duh, rasanya jadi ingin membawa Ziva ikut datang ke sini. Suasana restoran ini benar-benar menyenangkan loh, Bu Retno," ungkap Mila.

"Saya juga maunya begitu, Bu Mila. Ingin sekali rasanya membawa Raja ke sini untuk makan bersama. Tapi apa daya, Raja itu kalau sudah dapat telepon soal panggilan kerjaan, sudah susah rasanya mau menahan dia lebih lama," tanggap Retno.

"Tidak ada bedanya, Bu Retno. Ziva juga seperti itu. Kalau atasan sudah telepon, dia akan langsung berangkat saat itu juga dan tidak menunda-nunda," ujar Faris.

"Tapi kami bisa apa. Itulah yang menjadi kesenangan anak-anak. Ziva masih muda, dan kami rasa sangatlah tidak adil jika kami menahan-nahan keinginannya. Toh menurut kami, keinginan Ziva saat ini hanyalah menyangkut dengan pekerjaan. Tidak ada yang keluar dari jalur aman," tambah Mila.

"Benar sekali, Bu Mila ... Pak Faris ... saya sependapat dengan kalian berdua mengenai anak-anak. Mereka masih mencari jati diri. Mereka masih butuh menemukan hal-hal yang belum pernah mereka temukan. Jadi saya pun selalu begitu terhadap Raja. Kalau dia harus pergi saat pekerjaan memanggilnya, maka saya tidak akan pernah menahan-nahan langkahnya. Bagi saya, bahagianya Raja adalah hal paling penting yang harus dia dapatkan."

Mereka kembali menyantap daging steak yang saat itu masih hangat, meski tak sehangat awalnya saat baru saja disajikan. Lagu-lagu klasik yang dimainkan oleh seorang pianis di sudut restoran itu menambah kesan yang hangat dalam pertemuan mereka.

"Oh ya ... apakah Raja belum ada rencana menikah, Bu Retno?" tanya Mila, merasa sedikit penasaran.

"Seperti yang saya bilang tadi, Bu Mila, Raja itu gila kerja. Dia benar-benar memusatkan seluruh waktunya untuk pekerjaan yang dia geluti. Dia sama sekali belum pernah dekat dengan wanita manapun, dan tampaknya sejauh ini belum ada yang akan dia kenalkan kepada saya sebagai calon Istrinya," jawab Retno, apa adanya.

Faris dan Mila pun kini saling menatap satu sama lain, setelah mendengar jawaban dari Retno.

"Kalau boleh jujur, Ziva pun belum pernah dekat dengan pria manapun sebelum akhirnya berpacaran dengan Gani. Kami berdua yang mendorongnya untuk mencoba menjalani hubungan dengan Gani. Kami berdua terpengaruh dengan bujukan dari Bu Arlita dan Pak Tomi, yang memang ingin sekali menjadikan Ziva sebagai menantu di dalam Keluarga Jatmiko. Tapi mungkin memang pada dasarnya bukan jodoh, sehingga terbongkarlah kelakuan buruk Gani yang ternyata berselingkuh selama enam bulan terakhir dengan Rere. Saya tahu kalau Rere itu keponakan saya, dia adalah anak dari Adik kandung saya. Tapi untuk sikap, sifat, dan pergaulan yang dipilihnya, jelas sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Saya bahkan tidak tahu kalau dia ternyata dengan sengaja menggoda Gani untuk merebutnya dari Ziva. Saya masih tidak habis pikir dengan kelakuannya itu," ungkap Faris, apa adanya.

"Tentu saja Pak Faris tidak akan menyangka hal tersebut. Rere itu bukan anak Pak Faris, meskipun masih ada hubungan kekeluargaan. Rere juga bukan Ziva, yang Pak Faris dan Bu Mila didik sendiri selama ini. Tentu saja mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Saya jelas tidak merasa kaget. Saya kenal baik dengan Ziva. Dia adalah sosok anak perempuan yang benar-benar diimpikan oleh orangtua manapun di dunia ini. Dan kalian beruntung karena memilikinya," tanggap Retno, penuh dengan penilaian positif terhadap Ziva.

Tak lama kemudian ponsel mereka bertiga mendadak berbunyi pada saat yang bersamaan. Mereka memeriksa ponsel masing-masing, lalu saling menatap satu sama lain.

"Apakah kalian juga dipanggil untuk menghadiri pertemuan antara Keluarga Jatmiko, Keluarga Hardiman, dan Keluarga Bareksa?" tanya Retno.

"Ya, tampaknya kita bertiga memang harus hadir untuk menjadi saksi dan juga menjadi penengah besok malam, Bu Retno," jawab Mila, yang sebenarnya enggan untuk hadir.

* * *

TELUH BERAS KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang