"Kamu akan semakin kuat, setelah tiga orang lagi mati karena teluh yang aku kirimkan. Ayo, nikmatilah persembahan dariku untukmu. Lalu buat mereka tersiksa saat waktu maghrib tiba nanti," ujar Mbah Sarjan, sambil terus menaburkan kemenyan serta bunga tujuh rupa ke dalam wadah tanah liat yang dipegangnya.
Makhluk besar bertaring nan menyeramkan itu tampak menikmati jamuan yang diberikan oleh Mbah Sarjan. Waktu yang dinantikan oleh makhluk itu maupun Mbah Sarjan sendiri akan segera tiba. Tepat pada waktu maghrib nanti, akan menjadi puncak dari teluh beras kuning yang sudah Mbah Sarjan kirimkan kepada ketiga korban yang tersisa."Sebentar lagi masa kejayaanku akan kembali. Aku akan merasakan lagi bagaimana luar biasanya saat berada di puncak kejayaan itu. Tidak akan ada yang bisa membuat diriku terpuruk lagi, bahkan Koperasi atau Bank konvensional sekalipun. Mereka yang dulu sering meminjam uang padaku akan kembali menjadikan aku sebagai orang yang paling mereka butuhkan. Aku akan kembali menjadi orang penting bagi mereka, dan mereka akan kembali menghormati aku seperti yang pernah aku lalui dimasa lalu. HA-HA-HA-HA-HA!"
Tawa yang keluar dari mulut Mbah Sarjan saat itu benar-benar sama persis dengan tawanya dimasa lalu. Laki-laki itu tampaknya benar-benar tidak bisa keluar dari lingkaran ingatan masa lalunya. Dia merindukan bagaimana rasanya dibutuhkan oleh orang lain. Dia merindukan bagaimana rasanya dipuja-puja oleh orang lain, karena dianggap sebagai penolong saat seseorang sedang kesusahan. Dia merindukan bagaimana rasanya dihormati oleh banyak orang ketika dirinya melintas di jalanan sebuah desa. Dia benar-benar membutuhkan semua itu kembali ke dalam hidupnya, untuk memuaskan keinginannya yang sudah lama tidak terpenuhi.
DUA PULUH TAHUN LALU...
Salah satu warga melihat kedatangan Mbah Sarjan yang saat itu baru saja turun dari mobil pribadinya. Toyota camry berwarna hitam yang baru keluar pada pertengahan tahun dua ribu tiga itu benar-benar mengkilap, saat dipandang oleh mata siapa pun di Desa Gebang. Mbah Sarjan adalah satu-satunya orang yang bisa memiliki mobil pada saat itu. Dia adalah orang terkaya dan seluruh warga Desa Gebang tidak ada yang tidak mengenalnya.
Warga yang tadi melihat kedatangan Mbah Sarjan pun segera memberi tahu kepada warga-warga lainnya. Warga-warga lainnya yang sudah tahu apa niat dari kedatangan Mbah Sarjan saat itu tampak biasa saja dan kembali meneruskan pekerjaan mereka. Sosok Mbah Sarjan benar-benar muncul tak lama kemudian. Laki-laki itu tampak berjalan menggunakan tongkatnya yang dilapisi logam berwarna emas, sopir pribadi dan juga ajudannya berjalan di belakang mengikuti langkahnya. Mbah Sarjan tampak berharap bahwa dirinya akan disambut oleh para warga di desa tersebut seperti biasanya.
"Yo ... nggumunake deso iki ora koyo biyasane. Kabeh wergo koyo-koyo ora ngatekake tekanku. Ono opo?*" tanya Mbah Sarjan kepada ajudannya yang bernama Karyo.
"Nuwun sewu, Juragan. Mbok menawi mboten prelu nyilih dhuwit saking Juragan. Krungu pinten-pinten tiyang, wergo sakmeniko langkung remen nyilih koperasi**," jawab Karyo, apa adanya.
Raut wajah Mbah Sarjan mendadak tidak terlihat secerah tadi, saat baru turun dari mobilnya. Dia menatap Karyo yang kini terlihat tidak enak saat menyampaikan hal tersebut.
“Nyilih ning Koperasi? Lha kok iso? Opo bedane nyilih dhuwit ning Koperasi karo nyilih dhuwit ning awakku?***" Mbah Sarjan terdengat tidak bisa menerima hal itu.
"Anu, Juragan. Mungkin wergo nduwe alasan kanggo niku****."
"Ngomong wae, Karyo. Kandhane sing jelas maksudmu*****," perintah Mbah Sarjan, yang malas merasa penasaran terhadap sesuatu.
“Nuwun sewu, Juragan. Sepisan malih, nuwun sewu. Mbok menawi wergonipun milih nyilih dhuwit saking Koperasi amargi bunga utangipun langkung cendhek katimbang naliko nyilih dhuwit saking Juragan. Mula, boten purun nyilih dhuwit saking Juragan kados ingkang dipunginakaken. Wedi podho ora iso mbayar bunga sing ageng******," jelas Karyo.
Mendengar penjelasan dari Karyo serta melihat sendiri bahwa para warga Desa Gebang sekarang berusaha menghindarinya, membuat Mbah Sarjan merasa tidak dihargai lagi. Sejak saat itu, Mbah Sarjan benar-benar tidak pernah lagi disapa seperti dulu dan bahkan rumahnya tidak pernah lagi dikunjungi oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan pinjaman uang. Mbah Sarjan pun akhirnya mengalami kemunduran di dalam hidupnya dan harta yang dia miliki perlahan-lahan mulai habis hingga tidak bisa lagi membayar gaji orang-orang yang bekerja padanya.
Mengingat semua itu membuat Mbah Sarjan menjadi semakin antusias untuk membuat mati para warga yang sudah dia kirimkan teluh beras kuning. Ia benar-benar tidak sabar ingin melihat bagaimana pada akhirnya para warga yang dulu meninggalkannya akan kembali lagi memohon pertolongan padanya.
"Sebentar lagi. Hanya sebentar lagi. Aku akan melihat bagaimana mereka mulai memohon kepadaku seperti dulu, dimasa kejayaanku," gumam Mbah Sarjan, seraya tersenyum penuh keyakinan.
Sayangnya, saat baru saja ia hendak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat sejenak, makhluk bertaring yang ia pelihara mendadak mengamuk tanpa alasan.
"Kenapa? Ada apa? Apakah terjadi sesuatu?" tanya Mbah Sarjan.
Makhluk itu tetap mengamuk dan mulai menghancurkan halaman depan rumah Mbah Sarjan. Hal itu membuat Mbah Sarjan segera masuk ke rumahnya untuk melihat pada air di dalam wadah logam, tentang keadaan yang sedang terjadi di Desa Gebang. Rasa marah jelas tidak bisa ia hindari saat itu, ketika melihat bahwa ketiga korban yang sudah menerima kiriman teluh beras kuning darinya sedang menjalani proses ruqyah.
"Orang-orang kota kurang ajar!!! Berani-beraninya mereka mengganggu pekerjaanku!!!" amuk Mbah Sarjan.
Ketiga wadah tanah liat yang digunakan untuk melakukan teluh kepada ketiga korban yang tersisa tampak mulai retak di beberapa bagian. Jika sampai wadah tanah liat itu benar-benar pecah, maka jelas tidak akan ada lagi kesempatan bagi Mbah Sarjan untuk meraih keberhasilan yang dia impikan.
"Ini tidak bisa dibiarkan!!! Orang-orang kota itu harus segera aku atasi!!! Aku akan membuat perhitungan kepada mereka karena telah mengganggu apa yang sedang kulakukan!!!"
Mbah Sarjan segera keluar dari rumahnya kembali, lalu menatap ke arah mahluk bertaring perliharaannya sambil berkacak pinggang.
"Kembalilah ke Desa Gebang! Hentikan perbuatan mereka dan buat mereka membayar semua hal yang telah mereka lakukan demi menghalang-halangi keberhasilan kita!" perintah Mbah Sarjan.
Makhluk bertaring itu pun segera menghilang dari hadapan Mbah Sarjan untuk kembali ke Desa Gebang. Mbah Sarjan masuk kembali ke dalam rumah dan hendak mengawasi semuanya melalui air di wadah logam seperti tadi. Kedua tangannya mengepal erat, seakan sudah siap membunuh semua orang yang menghalangi langkahnya.
"Tidak akan kubiarkan! Benar-benar tidak akan kubiarkan!" geramnya, penuh amarah.
* * *
TRANSLATE :
* "Yo ... tumben sekali desa ini tidak sama seperti biasanya. Semua warga terlihat tidak peduli dengan kedatanganku. Ada apa kira-kira?"
** "Maaf, Juragan. Mungkin itu karena mereka sedang tidak butuh meminjam uang dari Juragan. Saya dengar dari beberapa orang, para warga sekarang lebih memilih meminjam ke Koperasi."
*** "Meminjam di Koperasi? Kok bisa begitu? Memangnya apa bedanya meminjam uang di Koperasi itu dengan meminjam uang kepadaku?"
**** "Anu, Juragan. Mungkin mereka ada alasan tersendiri mengenai hal itu."
***** "Katakan, Karyo. Katakan dengan jelas apa maksudmu."
****** "Maaf, Juragan. Sekali lagi, maaf. Mungkin para warga memilih meminjam uang di Koperasi karena bunga pinjamannya jauh lebih sedikit, daripada ketika meminjam uang dari Juragan. Maka dari itu, mereka tidak mau lagi meminjam uang dari Juragan seperti dulu. Takut tidak bisa membayar bunganya yang besar."
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BERAS KUNING
Korku[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 1 Ziva adalah seseorang yang selalu merahasiakan pekerjaannya, karena selama ini dirinya bekerja untuk membantu orang-orang yang terkena teluh dari berbagai kalangan. Diremehkan oleh anggota keluarga dari pihak A...