Sal, perpisahan apapun bentuknya entah baik-baik ataupun buruk sekalipun pasti meninggalkan bekas luka di kedua pihaknya.
Selamat tinggal untuk hari ini dan tahun-tahun berikutnya.
***
Rasanya pedih yang kini tengah dirasakan Devananta, hatinya kacau bak serpihan kaca yang hancur terkena hantaman. Sudah 5 jam dirinya mengurung diri di kamar, menatap polaroid yang ia simpan di bawah bantalnya.
"Jangan jadi orang naif."
"Jangan bilang gamau padahal mau."
"Jangan bilang baik-baik aja, padahal butuh pelukan."
Anta bermonolog menatap sebuah foto berukuran 2R di genggamannya. Matanya sayu, rasa sedih menjalar ke seluruh tubuhnya. Pikirannya berkecamuk, matanya berkaca, serta bibirnya bergetar menahan tangis.
"Gue bisa aja bilang tentang penyakit gue ini yang pasti bisa nahan lo buat pergi, lo bisa bertahan sama gue walapun karena rasa kasihan. Tapi, gue gak mau bilang sejujurnya." Ibu jarinya mengusap wajah seseorang pada foto itu.
"Ngeliat lo yang sebegitunya gak mau terlibat sama gue lagi, bikin hati gue berantakan. Emosi gue mau meledak rasanya."
Tangisan yang ia tahan akhirnya luruh juga, berulang kali isakkan keluar dari bibirnya. Menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan, menangis sejadi-jadinya.
Malam inilah, Devananta hancur.
"Gue masih mau lo, Sal. Gue masih mau bertahan untuk waktu yang lama. Tapi, gue tau diri, kemarin gue selalu bilang gue gak pernah butuh lo," Anta membiarkan air mata membasahi foto itu, "Gue lebih baik kesepian seumur hidup, daripada gue harus kehilangan setelah gue ngerasa ga sendirian."
Anta semakin tenggelam dalam rasa sakit, apakah ini adalah karma atas perbuatannya dulu? Apa setelah perpisahan ini Salma akan lebih bahagia?
Klek
Pintu kamar terbuka sedikit demi sedikit, meski dirinya mendengar pintu itu terbuka lebar tak ada niat untuk mengusap air matanya sedikitpun.
"Kamu kenapa sayang?"
Ketika tangan lembut mengusap surai hitam miliknya, Anta semakin menangis hingga ia mendapatkan sebuah pelukan hangat. Tangisnya tidak mereda, tubuhnya bergetar, rasanya begitu memilukan.
"Nangis aja sayang, gak apa-apa. Laki-laki boleh nangis. Mama di sini buat kamu." Ibunya semakin memeluk putra semata wayangnya dengan lembut.
Sang ibu tak tahu apa yang membuat putranya menangis dengan hebat seperti ini. Saat seperti inilah tugas ibu diperlukan, tidak menuntut sang anak untuk selalu kuat, namun sesekali mengerti akan luka yang berbeda setiap manusia.
"Sa-sakit, ma..."
Pelukannya terlepas, berubah menjadi guncangan kecil pada bahu Anta.
"Mana yang sakit? Kasih tahu mama, di mana sakitnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Devananta
Teen Fiction"JANGAN PASANG MUKA MENYEDIHKAN ITU DI DEPAN GUE, SIALAN." Terlibat dalam hubungan yang bisa dibilang sangat tidak baik (toxic) tentu seharusnya dilepaskan saja, namun, bagaimana jika kamu sudah terlanjur bergantung padanya? Devananta yang dikenal...