Keputusan

92 8 4
                                    

"Halo, Je", suara dibalik telpon itu terdengar lirih dan penuh kekhawatiran. Aku Masih terdiam tidak tahu mau bicara apa. Dan cukup lama kami hening. Sampai beberapa menit kemudian_

"Je, ka..kamu baikkan? Maksudku keadaan kamu", ia membuka bertanya dengan nada agak canggung.

"Aku baik. Kamu?", Aku menjawab.

"Aku baik, Je. Tapi disini agak dingin hmm.", Ia terdiam sebentar Dan terdengar suara ia menarik nafas. Ia lalu melanjutkan kalimatnya.

"Oiya maaf kemarin aku cuma kasih tahu kamu lewat pesan Whatsaap kalo aku titip Sava di Ibu. Aku minta maaf aku nggak telfon kamu langsung  Karena ak..akuu nggak sempat".

Kenapa Kalimat terakhirnya membuatku kecewa ya? Padahal Jujur aku justru lebih egois. Aku bahkan tidak menanyakan dimana ia menitip Savana. Ia yang bahkan sudah peduli sama Sava dan berusaha melindungi Sava, sekarang sedang meminta maaf kepadaku yang tidak melakukan apapun pada Sava. Aku sungguh naif.

Aku Masih tidak tahu harus bicara apa.

"Oiya besok Hari terakhirku di Bandung, Sore aku balik ke Jakarta. Aapa kamu mau sesuatu?"

"Ben", aku mencoba bicara.

"Ben, maafin aku. Aku sudah buat banyak masalah ke kamu. Aku sudah banyak nyusahin kamu. Aku bikin Hidup kamu begini. Maafin aku yang nggak bisa ngelakuin yang terbaik buat Sava. maafin aku yang nggak bisa jagain Sava. Aku bener-bener naif. Padahal Kamu selalu berusaha keras. Kamu sudah bekerja keras buat Kami, Ben. Kamu sungguh-sungguh sudah bekerja keras. Kamu nggak perlu ngelakuin ini semua. Kumohon jangan memaksakan dirimu untuk ngelakuin ini semua. Kumohon..kumohon..", akhirnya aku mengeluarkannya juga.

"Jee-"

"Ben maafin aku"

"Je, kamu nggak perlu minta maaf. Dimataku kamu nggak salah sama sekali. Aku sudah berjanji akan tanggungjawab sama kalian. Kamu dan Sava adalah alasanku buat terus bertahan dan bekerja keras. Aku nggak pernah jadiin kalian beban hidupku. Tidak! Tidak pernah!"

"Ben, kumohon tidak perlu melakukan itu semua. Kamu nggak perlu maksain diri seperti ini"

"AKU NGGAK PERNAH MAKSAIN DIRI!!", nada suaranya meninggi. Ia marah.

"Jee kalian adalah tanggung jawabku. Aku sudah berjanji pada diriku, Kamu ingat saat aku bersujud di kaki papa kamu. Karena saat itu aku tahu betul perasaan kecewa orang tua kamu. Sungguh aku merasa sangat bersalah. Aku pikir aku telah jadi penjahat yang membunuh harapan orang tua buat anaknya. Sampai Saat itu aku berjanji untuk selalu pegang kata-kataku. berusaha buat kamu bahagia", suaranya terdengar lirih penuh penyesalan

"Tapi aku nggak bahagia, Ben!"

Langsung hening beberapa saat hanya ada suara deruan nafasku sambil menahan air mataku untuk keluar.

"Maafin aku hanya bisa bertahan sampai sejauh ini. Terimakasih untuk semuanya selama ini. Kamu udah melakukan lebih dari tanggungjawab kamu buat aku sama Sava. Terimakasih kamu sudah berusaha ngebahagiain aku. Jujur aku kasihan lihat kamu harus bekerja non-stop kayak gitu. Apalagi... saat kamu harus keluar subuh-subuh sambil bawa Sava kerja Dan pulang malem. Belum lagi kuliah kamu. Sedangkan aku? Aku nggak ngelakuin apapun! Aku cuma bisa mengeluh. Aku memang keterlaluan. Capek banget Ben ngelihat kamu harus maksain diri kayak gitu. Aku Capek, Ben!", Aku berhenti berbicara. Air mataku keluar.

Aku melanjutkan kalimatku sambil menyeka air mataku.

"Ini mungkin terlalu egois. Tapi aku sudah putuskan_

..aku akan ikut orang tuaku. Minggu depan kami akan pindah ke Medan. Aku akan tinggal bersama orang tuaku disana. Aku akan tinggalkan kuliahku di Jakarta.", Aku berusaha berbicara dengan tenang.

"Untuk Sava, kamu nggak perlu khawatir. Orang tuaku akan mentransfer biaya Hidup Sava setiap bulannya. Itu perjanjiannya". Demi Tuhan aku nggak sanggup mengeluarkan kata-kata ini, aku terus mencoba tenang.

"Oiya uang itu juga bisa buat kamu membayar baby day care atau baby sitter tiap bulannya"

Tidak ada jawaban_

"Aku harap kamu terima keputusanku. Aku tahu ini egois. Tapi ini caraku buat ngebahagian Sava. Setelah itu kamu nggak perlu terlalu bekerja keras lagi. Kamu bisa fokus sama kuliah kamu. Dan bekerja seadanya".

"Oiya, makasih untuk tawaran kamu tadi. Aku nggak pengen sesuatu kok. Aku cuma pengen kamu balik ke Jakarta dengan Selamat".

Setelah aku berbicara panjang. Hening kembali. Ia Masih Tak menjawab apapun.

Beberapa detik kemudian ia membuka suara

"Maafin aku"

Ia kemudian menutup teleponnya

Tut..tut..tut..

RINJANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang