Azriel

19 3 0
                                    

Jakarta, 02 Juni 2024. 

"Sayang, hari ini ada les berenang Azriel. pukul 3. kamu bisa temenin nggak?", sambil sibuk merapikan kancing bajuku yang belum pas, terburu-buru dikejar calling-an bosku karena deadline.

Tidak ada balasan terdengar. orang yang lagi ditanya malah asik berdua di depan layar tablet sambil ketawa-ketiwi. seperti dunia ini mereka berdua yang punya. sesekali terdengar suara rengekan manja dari si anak kecil yang terlihat capek digoda oleh papanya. "aah papa kita harus dapetin koin ituuu" papa jangan melompat ketinggian" papa kita harus belikan Jack Skateboard ini", sambil menunjuk layar tablet dengan antusias sementara si papa berusaha jail merebut tablet anaknya.

"Hey, kaliann!!", aku merebut tablet mereka dengan geram. aku sedikit jengkel sementara riasanku belum selesai karena mereka terlalu berisik. aku memelototkan mata ke papanya tapi dia malah menjailiku dengan menyipitkan mata dengan telunjuknya hingga malah membuatku ketawa. apa-apaan inii dia tidak pernah gagal membuatku untuk tidak marah. si anak kecil juga mengikuti tingkah papanya . Tuhan..bagaimana aku bisa marah kalau begini kan...

"Sayang..kamu dengar akukan.."

"iyaa sayang..les berenang Azriel pukul 3, kamu bisa temenin nggak?", dia mengulangi pertanyaanku.

"he-em, gimana, kamu bisa nggak? mm dengar-dengar project kamu udah kelar semuakan jadii?", aku memastikan dengan nada menggoda.

"tentu sajaa..apa yang nggak bisa buat Rinjaniku tersayang", dia balik menggodaku.

"Papa papa,,kita harus membelikan Jack Skateboard yang inii..", ternyata anak ini masih sibuk dengan pekerjaannya. Hey sejak kapan dia mengambil tablet itu dariku? Azriell!! dia malah tersenyum polos tanpa bersalah. menunjukkan giginya yang putih rata. dia sangat mirip papanya. 

lihatlah sekarang aku dihadapkan dengan dua laki-laki yang suka berlagak polos ini. tingkah polos mereka yang selalu gagal membuatku marah, sikap penyayang mereka yang selalu membawa kehangatan dengan pelukan lembut mereka. mereka adalah rumah yang tepat dimana saat kamu masuk kedalamnya kamu merasa aman dan nyaman. setelah hampir 5 tahun kehadiran mereka selalu menghadirkan tawa, tangis dalam kasih sayang. aku seperti menemukan masa kecilku kembali yang sempat hilang. setelah masa-masa pedih saat itu seperti tidak pernah ada. masa-masa yang mana..akuu banyak mengeluarkan tangis..ah sudahlah..aku tidak ingin mengingatnya lagi. 

Alvin dan Azriel. Dua laki-laki yang telah mengisi hari-hariku selama hampir lima tahun ini. kalian mungkin tidak akan percaya aku menikah dengan Alvin. lebih tepatnya kalian mungkin bertanya bagaimana bisa aku menikah dengan Alvin. 

Setelah pertemuan terakhirku dengan mereka di gereja lima tahun lalu.  Mohon maaf entah kenapa aku tidak bisa menyebut nama mereka karena aku akan teringat bayang-bayang tangis yang keluar setiap hari, jarakku dengan orang tuaku, bagaimana orang tuaku membenciku, mohon maaf kehidupan yang saat itu bisa kukatakan tidak layak, mertua yang tinggal di lingkungan kumuh. itu semua membuat hatiku terkoyak.  Terutama saat aku dengan egois meninggalkan mereka dalam keadaan yang masih genting. aku tahu Kesalahanku sangatlah besar. aku meninggalkan mereka tanpa penjelasan yang adil. kalian boleh membenciku, silahkan..Dan terakhir kali aku memeluk anak itu, oke aku sebut saja Savana. terakhir kali aku memeluk Savana di halaman gereja tanpa memandang wajahnya. saat itu aku takut ingin melihat wajahnya entah kenapa hatiku terasa nyeri seperti ada beban yang belum bisa kuselesaikan. saat memeluknya ia mungkin tidak tahu kalau aku adalah ibunya karena hampir lima tahun aku tidak menemuinya lagi. Sejujurnya sampai saat ini aku  merasakan ada satu titik hitam dalam hatiku yang bergejolak meskipun hari-hariku sudah disinari dengan kehadiran Azriel.

Hari disaat Alvin melamarku setelah kepulanganku dan keluarga dari gereja. kalian mungkin sudah tahu bagaimana Alvin sangat mencintaiku. Ia tidak pernah menyerah untuk mendapatkanku bagaimanapun keadaanku. lalu bagaimana aku bisa menerima lamaran Alvin? Awal kedekatan kami yang serius dimulai saat kami berkuliah di Australia. Ia banyak membantuku, ia menyelesaikan kesulitan yang kuhadapi selama disana, keluarganya disana juga menerimaku dengan baik . Aku merindukan kehangatan keluarga bahagia setelah masa-masa konflikku dengan orang tuaku sehingga aku dengan cepat membaur dengan keluarga Alvin. Mereka semua mendukungku dan Alvin. Aku menceritakan kisah hidupku yang tidak mulus, aku menceritakan kalau aku sudah memiliki anak, dan aku juga menceritakan kisah kelamku dengan Bentang. Tidak ada yang kusembunyikan dari mereka. Aku kira setelah menceritakan hidupku mereka akan jijik  dan menyuruhku jauh-jauh dari Alvin. Tapi diluar yang kuduga Mamanya Alvin malah memelukku lembut sementara keluarganya yang lain turut menguatkanku dengan kata-kata motivasi. Sampai suatu saat dimana aku mulai membuka hati pada Alvin. Hubungan kami memang tidak akan semulus drama sinetron meski sebesar gunung Alvin mencintaiku pasti akan ada pertengkaran. Pasca studi dan kami mendapat tawaran pekerjaan dan memutuskan kembali ke Indonesia. 

Setahun kami menikah, Tuhan menghadirkan anak laki-laki yang saat ini sudah 4 tahun selalu mengganggu pikiranku dengan wajah polosnya. Azriel. Kehadirannya di waktu yang tepat disaat aku dan Alvin sudah siap secara psikis dan materil. Saat itu usia kami sudah 23 tahun. 

"Ganteng banget sayang", bisik Alvin saat itu setelah aku berperang melawan sakitnya melahirkan.

"Mirip kamu", lirihku bahagia.

"Makasih ya sayang sudah melahirkan Azriel".

"Azriel?"

"E-em", ia kemudian menggendongnya. dari arah pintu sudah terdengar jejak orang-orang yang sudah tidak sabar menunggu kehadiran Azriel. Papa, Mama, Papa dan Mamanya Alvin, dan beberapa saudara sepupu Alvin. Mereka seperti tidak sabaran ingin menggendong Azriel.

Aku sangat bahagia melihat pemandangan itu, tapi  ingatanku tiba-tiba kembali pada kejadian yang sama 7 tahun yang lalu namun dengan suasana  yang berbeda. saat aku melahirkan Savana hanya aku dan Bentang didalam ruangan puskesmas dengan fasilitas seadanya. tidak ada yang menyambut kedatangan Savana. Hanya ada kami berdua tidak ada yang bersukacita dengan kehadiran Savana. Hatiku kembali merasakan nyeri mengingatnya. segera kutepis pikiranku dan segera menyambut keluarga kami yang mulai mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka sangat bahagia mereka meminta giliran menggendong Azriel satu persatu. Hingga Azriel tiba-tiba menangis.

"sepertinya mau ASI nih", celetuk papa sumringah dengan kehadiran anggota keluarga laki-laki yang selama ini diidam-idamkan. Ia kemudian memberikan Azriel kepadaku. 

"ASI dulu ke Mama yaa, nanti Opung gendong lagi"

Azriel sekarang berada dipangkuanku dan mulai memberinya ASI. aku mengelus rambut halusnya kemudian telinganya dan berbisik.

"Welcome Azriel"











RINJANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang