Menyesal

78 7 0
                                    

Tok..tok..tok..

Suara pintu yang di ketuk membangunkanku dari tidur.

"Astaga aku ketiduran", aku langsung terbangun. Kulihat mama tepat di depan wajahku.

"Kamu capek banget pasti,,", kuambil ponsel dalam tasku. "Astagaa udah jam 19.21".

"Kamu tidur lumayan lama Yaa", ejek mama. Yaa maklum ini adalah tidur terpanjangku setelah punya anak. Lumayan aku bisa tidur sampai 6 jam-an seperti ini. Aku merasa pikiranku sedikit plong dan otakku terasa lebih fresh. Siapa yang tidak termagnet dengan springbed empuk dan selimut lembut. Berbeda setelah aku keluar dari rumah ini dengan tinggal di kontrakan sempit dan furniture mungkin tidak pas disebut itu lebih tepatnya perabotan seadanya. Saat itu Pertama kali aku tidur dengan springbed sejuta-an. Maaf agak keras. Tapi lama-lama aku cukup terbiasa dengan springbed itu. Lebih mending daripada aku harus beralaskan kardus.

Aku langsung ke kamar mandi meninggalkan mama yang Masih duduk di tepi tempat tidurku.

"Je selesai mandi langsung ke Ruang tengah Yaa", suara mama agak samar Karena terbiaskan oleh suara gemercikan air keran tapi cukup terdengar.

"Iya maa!", Jawabku dengan agak sedikit teriak. Aku tahu pasti disana sudah ada papa. Entah papa sudah tahu atau tidak perihal kedatanganku. Sudahlah aku tidak terlalu memperdulikan itu, kenyataannya aku pasti ketemu papa. Yang perlu kukhawatirkan adalah cukup siapkan mental dengan bentakan atau hujatan papa saja.

Sebelum turun menuju ruang tengah
"Tuhan, bantu aku", tepat dihadapan cermin riasku. "Kamu bisa je", sambil meyakinkan diriku. Aku kemudian turun menuju ruang tengah.

Tidak ada papa terlihat di Ruang tengah. Mungkin ia belum pulang. Aku berjalan keluar menuju teras rumahku. Astaga papa! itu dia. Kulihat dia sedang...sepertinya dia sedang mengurus tanaman entah aku tidak tahu pasti. Oh Tuhan! sepertinya Ia akan kesini. Ia menuju ke teras rumah. Terus kupandangi ia. Ia belum jelas melihatku. Langkahnya semakin kesini Dan jarak kami makin dekat Dan sampai akhirnya...kami berhadapan saling pandang.

~~~

Papa hanya terdiam. Kutebak Pasti ia kaget melihatku. Dari ekspresinya sangat jelas. Kami Masih terdiam, aku takut untuk mengucapkan sepatah katapun. Hening cukup lama. Sampai Mama datang.

"Je..-

"Eh, Ma.."

"Ayo masuk", papa menimpali tiba-tiba.

Kami duduk di sofa Ruang tengah. Aku Masih belum berani bicara apapun.

"Kamu sehat je?", Buka papa sambil membuang muka dengan sengaja menyibukkan diri men-scroll HP nya. Di luar dugaanku Papa menanyakan kabarku. Dibayanganku papa akan menamparku seperti di sinetron-sinetron, menghujatku dengan kata-kata kasar, atau menjulukiku dengan wanita murahan, anak durhaka, tidak tau diri, atau menyemprotku dengan bahasa hewan. Seperti tragedi saat ia pertama kali tahu aku hamil. Saat itu semua isi kebun binatang ia keluarkan.

"Je sehat pa- papa sehat?"

"Hmm", jawab papa Masih membuang muka. Tapi melihat ekspresi papa sepertinya Ia cukup menerima kehadiranku.Tapi papa hanya pura-pura menyibukkan diri dan membuang muka.

"Sekarang papa suka rawat tanaman Yaa?", Aku memberanikan diri bertanya biar suasananya tidak kikuk seperti ini. "Mama yang kasih tahu!", Aku langsung menimpalinya dengan pernyataan.

"Kuliah kamu gimana?"

"Cukup lancar", aku tambahkan embel-embel 'cukup'. Karena aku nggak mungkin bohong dengan bilang ke papa kalo kuliahku lancar-lancar aja. Dan kupikir itu tidak masuk akal dengan kondisiku sekarang.

"Kamu yakin?"

Aku hanya terdiam.

Mama kemudian datang dengan membawa makanan ringan dan minuman, "Kamu kurusan Je..", mama tiba-tiba nyaut.

"Tugas kuliahku banyak"

"Mama tauu", mama menyindir, ya ampun ekspresinya meremehkan sekali.

Papa berhenti menyibukkan diri dengan HP nya. Ia kemudian menatapku tajam. Aku takut ia seperti menatap seorag pembunuh.

"Je, jawab papa dengan Jujur. Kamu baikkan?", Ia akan mengintrogasiku.

"Aku baik pa"

"Kamu bohong Je, tapi tubuhmu tidak bisa bohong", papa mengelak. "Apa kamu nggak pernah dikasih makan sama anak itu!"

Aku Jujur aku memang nggak baik-baik saja. Badanku, Iya kuakui aku sangat-sangat kurus. Berat badanku turun drastis. Dari berat kategori ideal masuk ke kategori tidak normal alias kurang gizi. Kalo aku Masih bayi aku bisa jadi bayi stunting.
Terlebih dikondisiku saat ini. Aku lelah Secara fisik dan psikis.

"Je!", Papa mengangkat suaranya lebih tinggi.

"Je baik pa, cuma tugas kuliahku lumayan merepotkan".

"Kamu Masih saja bohong" " Lihat anakmu sekarang sangat hobi berbohong", Dia menimpali sambil menggumam ke mama. "Aku tidak mendidik anak seperti ini." Dia sudah terbawa-bawa mental miskin, sangat merepotkan".

"Je, kamu cerita ke kami Yaa. Kamu jawab dengan Jujur", mama mulai juga

"Ma, aku baik-baik Aja. Aku kurus bukan berarti aku nggak makan, Dan itu bukan berarti Be...bentang nggak ngasih aku makan, atau bukan berarti aku terjangkit virus orang miskin. Aku cuma capek ajaa. Jujur..aku lelah dengan hidupku yang sekarang ", air mataku mulai keluar dan tanpa aku sadari kata yang kuhindari keluar juga. 'capek'

"Sudah kuduga", papa tersenyum sinis penuh kemenangan. Jawaban yang ia harapkan keluar juga.

"Je, tidak ada yang bisa diharapkan dari laki-laki miskin seperti itu. Dulu kamu bilang kamu akan bahagia dia akan bertanggungjawab dengan baik tapi buktinya? Apa yang kami lihat ha! Rinjani yang tidak terurus. Sudah papa bilang kamu itu sudah hilang akal dibuatnya. Kami tidak mengharapkan Rinjani yang seperti ini. Kami menginginkan Rinjani yang sukses penuh Karir, yang berkeluarga dengan laki-laki yang sepadan dengan Kita. Bukan laki-laki melarat seperti itu yang bisanya hanya menghamili anak orang!!"

"Pa cukup!!", Aku berteriak sekencang-kencangnya tapi suara papa jauh lebih tinggi. Ia kalang. Ia sangat emosi.

"Diam Rinjani!! Dia membuat hidupmu begini. Lihat dirimu Rinjani kamu menyedihkan! Cuih! Laki-laki melarat!!"

Air mataku tidak terbendung. Mama hanya terdiam. Mama tidak menenangkanku sedikitpun. tentu ia mendukung papa.

"Andai kamu menerima tawaran kami waktu itu untuk mengg*gu*kan bayi itu, pasti tidak akan seperti ini", Mama bukannya membelaku ia malah semakin memancing kemarahan papa.

Iya andai aku mengg*gu*kan bayi itu saat itu kemungkinan kalian saat ini pasti Masih mendekam di penjara Karena kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pegawai negara. Atau jika aku menggugurkan bayi itu saat itu mungkin masalahnya tidak akan serumit ini, aku mungkin menjadi Rinjani yang ceria seperti dulu.

Aku cuma bisa menangis. Meratapi nasibku. Saat ini tidak ada yang mendukungku. Hubunganku dengan Bentang yang semakin jauh. Hubungan Kami semakin samar. Entahlah apakah kami Masih saling mencintai. Tapi kurasa Hubungan Kami sekarang sebatas tanggung jawab pada Savana. 'Bahwa Savana adalah kesalahan kami berdua jadi kami harus bertanggungjawab apapun yang terjadi', begitulah kira-kira.

"Maafin Rinjani, Rinjani menyesal"

RINJANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang