Setelah kejadian tadi aku terus terbayang Kalimat Alvin. Aku tidak menyangka kalau Alvin Masih menyimpan rasa kepadaku. sejak kami SMP aku sudah cukup menebak kalo Alvin memang menyukaiku, tapi menurutku itu hanya sebatas suka atau kagum saja Karena saat itu Kami masih anak SMP dan itu menurutku wajar untuk usia transisi yang lagi puber-pubernya, walaupun saat itu ia tidak mengutarakannya langsung kepadaku. Baru Saat kami SMA ia pertama kali menyatakan perasaannya langsung dan sangat disayangkan saat itu aku sudah jatuh cinta dengan Bentang bahkan kondisinya kami maksudku aku dengan Bentang sudah melakukan 'itu'. Mohon maaf. Dan saat Alvin menyatakan perasaannya aku hanya diam. Okey, alasannya Karena tidak ada yang tahu hubunganku dengan Bentang, artinya aku pacaran diam-diam. yeah..kalian tahukan orang tuaku? Overprotective!. Kalo aku harus mendeklarasikan hubunganku dengan Bentang dan sampai terdengar ke telinga orang tuaku? Gawatkan! Apalagi kalo mereka tahu aku berpacaran dengan Seorang anak yang...yang MISKIN!. Kupikir saat aku tak menjawab apapun, Alvin mungkin mengira aku tidak siap berpacaran Yaa Karena itu tadi. Orang tuaku. Dan kupikir ia akan menyerah. Tapiii nyatanya tidak!!
Saat ini aku sedang menyuapi Sava makan sambil terbayang kejadian tadi. Sava makan dengan lahap. Kuarahkan sendok ke mulutnya.
"Aaaaa buka mulutnya...aaa em", ia sangat lahap. Ia terus membanting-banting mainan di hadapannya kegirangan. Sekitar bibirnya sekarang kotor penuh dengan bubur. Aku kurang pandai menyuapinya.
"Pinter sekali anak mama"
"Tok tok tok", suara ketukan pintu dan sadel pintu dibuka.
"Aku pulang..."
Kulirik ke arah sumber suara
"Bentang", Jantungku sekarang berdetak dua kali lebih cepat. Kulihat ekspresinya membuang muka tapi itu seperti dipaksakan. Kalian tahu seperti ekspresi pria yang sudah ditolak wanita kemudian mereka yang nggak sengaja ketemu lagi dan si pria membuang muka. Seperti itulah. tidak ada senyuman tidak seperti biasanya. Aku paham ini terjadi memang Karena kesalahan dan keegoisanku. Titik!!.
Ia mendekat ke arah kami, "Aku pulang", ia hanya melirik ke arah Savana.
"Selamat datang..", aku membalas mencoba membuat agar suasana ini terasa normal. Bagiku!
Ia mengangkat Savana yang Masih Kotor dengan bubur.
"Ayah kangen Sava", ia menciumnya. Sava terlihat tidak banyak bergerak. Ia pasti kekenyangan dan kurasa ia mengantuk.
"Kamu bersih-bersih dulu gih, Sava biar sama aku dulu", aku mengucapkannya agak kikuk. Aku mengambil Sava dari dekapannya. Ia menyerahkannya kepadaku tanpa mengucapkan sepatah katapun, Masih dengan ekspresi datar. Ada perasaan sedih dan menyesal, seperti ada lubang besar menganga di dadaku. Jujur aku tidak sanggup dia membuatku seperti ini. Tapi aku sadar aku jauh lebih egois. Ia kemudian beranjak ke kamar mandi.
Aku mulai melelapkan Savana sampai ia tertidur.Kubuka ponselku, "Ini tiket untuk ke Medan. Kita berangkat selasa depan". Pesan dari papa. Aku pasrah.
"Makasih Pa", balasku singkat.
Bentang baru selesai mandi. Ia keluar dengan celana pendek diatas lutut, kaos putih. Kaos putih itu mengingatkanku pada kejadian pertama kali kami bertemu. Ia menggosok-gosok kepalanya dengan handuk. Rambutnya dipotong pendek, model rambut khas TNI. Tidak ada banyak yang berubah selama kami berumah tangga, mungkin hanya porsi badan. Ia sekarang kurusan begitupun denganku. Banyak yang bilang pikiran memengaruhi bentuk badan. Semakin banyak pikiran, seseorang cenderung kurus. Ini mungkin di luar faktor genetik yaa. Tapi aku cukup setuju Karena banyak pikiran cenderung bikin nafsu makan berkurang dan itu tentu berpengaruh pada Fisik.
Ia masih tak melirikkku sama sekali. Sekarang ia sedang membuka laptopnya. Entahlah ia mungkin sudah membenciku sekarang. Aku terus memperhatikannya dari arah tempat tidur. Ia terus mengetik, mencatat di notebook, sesekali membuka ponselnya, seringkali ia menguap dan menekan-nekan jidatnya. Sungguh ia pasti sangat kecapek-an. Sampai beberapa menit kemudian Ia mulai menidih lengannya, sepertinya ia tertidur. Aku menuju ke arahnya. Astagaa ia benar-benar tertidur. Aku mencoba melepaskan handuk yang Masih ia kalungkan di lehernya. Kulirik laptopnya, 'Proyek Penelitian Partisi PLTL'. Aku coba mematikan laptopnya, tapi ia tiba-tiba terbangun.
"Kamu mau ngapain?", Ia mengejutkanku. Nadanya ketus. Ia menatapku dalam, ia ingin marah tapi seperti tak bisa ia lakukan. Ia Masih menatapku ia menjaga jarak dariku dengan beranjak dari kursi.
"Aku..aku cuma mau matiin..ini", aku menunjuk ke arah laptop.
"Tadi kamu ketiduran", tambahku
"Oke, tapi aku masih mau bekerja, kumohon tinggalkan aku", ia membalas datar dengan sarkas. Sungguh, Ia terlihat menyeramkan. Aku tidak pernah melihat ekspresi ini sebelumnya. Ini seperti bukan dirinya. Kalimat terakhirnya menyentak dadaku.
"Ben..", aku melangkahkan kakiku pelan untuk mendekatinya.
"Ben, maafin aku", aku semakin dekat hingga aku memeluknya. sangat erat. Hingga aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku menangis. Tapi Ia hanya diam.
"Ben, aku tahu aku salah. Ini egois. Aku terlalu kekanak-kanakan, aku yang nggak bisa diandalkan, aku yang selalu nyusahin kamu.-", kalimatku terhenti.
..Ben, aku cinta sama kamu".
Tiba-tiba kurasakan tangannnya bergerak membalas pelukanku. Sangat erat. Kami berpelukan cukup lama. Sampai aku mendengar ia mengeluarkan Kalimat.
"Apa nggak ada cara lain buat bikin kamu bahagia?", Ia berkata lirih ditengah-tengah pelukan kami. Nadanya sangat pasrah. Ia kemudian melepas pelukannya disusul denganku. Tapi ia Masih memegang pundakku dan menatapku lekat.
"Aku harap kamu bahagia dengan keputusan yang kamu ambil".
Ia kemudian melangkahkan kakinya keluar meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINJANI
Teen Fiction"Sekarang kamu berubah" Pesan yang kuterima dipagi-pagi buta seperti ini semakin menambah beban hidupku saja . Yeah beban hidup..kupikir masalahku semakin berlomba-lomba menjejakiku Dan selalu berakhir tanpa solusi yang kurasa Tak pernah memihakku...