27. FAJAR DAN GALVIN ✔️

1.9K 147 30
                                    


"Alana!"

Diana langsung memeluk tubuh Alana dengan erat, ketika melihat Alana dan Daniel bersama dengan anak buahnya sudah berada di depan matanya Alana menuju kamarnya. Begitu juga dengan kedua teman Alana, yang akan menemani Alana berada di dalam kamarnya.

Daniel menghembuskan nafasnya dnegan pasrah, duduk di sofa bersama dengan Dion dan juga Mawar.

"Gimana? Kita akan bawa dia ke penjara, atau bagaimana?" Tanya Dion, menatap Daniel yang tengah menatap kosong ke depan. Dion juga tahu, pikiran Daniel sudah campur aduk.

Mawar mengerutkan keningnya, mendengar perkataan suaminya. "Memang siapa pelakunya?" Tanya Mawar.

"Delta, anak sulung Roy," jawab Daniel, menatap Mawar yang menampilkan raut wajah kagetnya. "Kita bisa bawa dia ke penjara, namun bukan untuk ditahan sepenuhnya. Nanti aku akan minta salah satu tentara temanku, untuk mengamankan dia selama beberapa bulan kedepan."

Dion menganggukan kepalanya, mendengar jawaban cerdas dari Daniel. "Yasudah kalau begitu, aku pulang dulu. Titip salam untuk keluargamu," ujar Dion lalu berdiri dan pergi bersama dengan Mawar, untuk pulang ke rumah nya.

Daniel memijat keningnya, kepalanya terasa sangat pusing. "Kayanya aku harus mengamankan putriku juga," gumam Daniel dengan tatapan yang sangat kosong.

****

Pagi hari yang cerah, matahari bersinar dengan indahnya. Suara burung mengiringi mentari yang akan muncul dengan perlahan.

Jalanan menjadi semakin ramai, semua menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Berangkat sekolah, berangkat bekerja, dan lain sebagainya

Lain halnya dengan Alana yang duduk termenung di kamarnya, kedua temannya yang menemaninya kini sudah berangkat ke sekolah, membuat dia menjadi kesepian berada di dalam kamar tersebut.

Ceklek!

Pintu terbuka, menampilkan Diana yang membawa nampan dengan raut wajah senangnya berjalan mendekati Alana. Menaruh nampan di atas meja, dan duduk di sebelah Alana.

"Sarapan dulu Alana, habis itu kamu minum obat, ya?" kata Diana, Alana hanya menganggukan kepalanya membuat Diana tersenyum.

"Angkasa, udah sembuh, ma?" Tanya Alana, ketika dia ingat jika Angkasa masih berada di rumah sakit. Kondisi saat kecelakaan tak akan membuat dia lupa.

Diana mengangguk. "Angkasa cuma masih melakukan beberapa terapi saja," jawab Diana membuat Alana menghembuskan nafasnya dengan pasrah.

"Aku sudah tidak menjenguknya, dia kan yang menolongku membawa ke rumah sakit?" Tanya Alana kembali memastikan kepada Diana, namun Diana justru diam dia mengalihkan pandangannya.

"Kenapa, ma?"

"Tidak apa," jawab Diana cepat, sembari berdiri dari posisi duduknya. "Mama mau ke kantor dulu, ada meeting penting. Kamu di rumah kalau ada apa-apa pencet saja tombol itu."

Diana menunjukkan tombol merah, yang terletak di samping kasur Alana. Alana menoleh, dia langsung berdecak kesal. Dia sudah tahu kerjaan siapa, yang membuat tombol darurat seperti itu.

"Pasti kerjaan Papa, kan?" kesal Alana, namun Diana Justru terkekeh.

"Papa bentar lagi pulang, jangan keluar kamar kalau kamu perlu sesuatu panggil saja bibi," pesan Diana sebelum dirinya keluar dari kamar Alana.

Alana berdecak, bagaimana mungkin dia akan betah di kamar sendirian? Tidak boleh keluar? Ahh rasanya hampa sekali.

"Gue kayak di karantina aja," decak Alana, lalu bangkit dari kasur berjalan menuju jendelanya yang menampilkan padatnya jalan di pagi hari.

Galvin Mahendra [END] [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang