⭐Bantu vote nya teman-teman ^^
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ
•
•
•
°°°KUE MAS RADEN°°°
•
•
•
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿDi sepanjang perjalanan, ada kalanya Raden memelankan laju motornya ketika pikiran tak ingin bekerja sama dengan kondisi.
Sedari pulang dari rumah Dinda membuat pesanan kue, pikirannya kembali berkecamuk dengan tawaran perempuan itu soal bekerja di Singapura. Dia bingung dalam memilih langkah, bisa saja dia membawa Jenggala bersamanya, namun anak itu dipastikan tak akan mau meninggalkan makam sang ayah jauh-jauh, tak akan pernah bisa.
Namun jika Raden pergi sendiri, Jenggala bagaimana? Anak itu belum sepenuhnya dewasa, lari kelamaan saja dia masih sering bengek, demam pun perlu seseorang untuk menyuapi, tak mau makan jika sendirian, sering terbangun tengah malam karna mimpi buruk, dan banyak hal lain yang pikir Raden masih perlu dia dampingi.
Jika dari luar Raden memang terlihat tidak sayang pada Jenggala, malah terkesan galak, tapi sebetulnya pria itu sayang, dia peduli, dia khawatir, hanya saja caranya menunjukkan kekhawatiran terkadang salah dan membuat Jenggala salah paham.
Kalau dia tidak peduli, lantas mengapa dia masih bertahan sampai kini setelah banyak lika-liku kehidupan dia jalani? Untuk apa dia hidup? Ayah dan ibunya sudah tiada, saudara juga, mimpi apa lagi. Bisa saja, 'kan Raden pergi dengan paksa?
Toh, mimpinya tak terwujud, dia jatuh miskin, bahkan pernah saking miskinnya untuk makanpun susah, beruntung sekarang pekerjaannya sudah bisa membiayai kehidupan mereka.
Tapi Raden tidak rela meninggalkan Jenggala, baginya jika mimpinya sudah pudar, maka sekarang waktunya untuk mewujudkan mimpi Jenggala yang entah apa. Tidak usah lah pergi dulu, dia putuskan untuk menemani Jenggala sampai yang memisahkan mereka berdua benar-benar adalah waktu.
Motor yang Raden kendarai kini sudah terparkir aman, dia segera turun lalu melangkah masuk ke rumah yang menjadi satu-satunya peninggalan sang ibu.
Halaman rumah itu tampak terawat dengan banyak bunga-bunga yang berjejer rapi, sinar jingga dari senja membuatnya tampak lebih indah. Sejenak Raden mensyukuri keindahan itu.
Langkahnya kemudian membawanya menaiki tangga menuju lantai atas, melewati kamar Jenggala yang masih kosong, kemudian sampai pada pintu bertuliskan "Raden" yang langsung dia buka.
Seolah baru kemarin dia tidur sendiri, aroma patrikor menyeruak keseluruh penjuru ruangan, mengingatkan Raden dengan masa lalu ketika untuk pertama kalinya dia duduk sendirian di kamar barunya dan memandang hujan dengan penuh puja.
Kala itu sang ibu masih ada, abangnya juga, Raha tengah membantu atau mungkin mengganggu ibu mereka yang sedang membuat kue di dapur, suara tawa Raja sudah samar-samar dalam ingatannya, nyaris dia lupakan.
Bersandar santai sebentar di kursi dekat meja, sambil meletakkan jaket dengan rapi di gantungan lemari. Kemudian tatapannya kembali terarah pada pemandangan senja dari balik jendela.
Mungkin hanya dirinya, yah? Yang jika melihat senja dengan sangat jelas begini maka orang pertama yang langsung terpikirkan adalah Jenggala.
"Loh, Jenggala kan anak abangmu, berarti dia Anak mu juga dong, Raden."
"Ih nggak! Apaan sih, Bu? Aku belum mau punya anak, apalagi kayak dia!"
"Hahahaha! Jenggala itu awalnya suka sama kamu loh, pengen deket-deket kamu terus dia tuh, tapi liat ternyata kamu orangnya galak, dia jadi takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
General FictionJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...