O8: Mitos Bintαng

237 36 14
                                    

Bantu vote nya teman-teman ^^

📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ

Langit jam 10 malam begitu indah ketika bintang-bintang dengan sukarela bersinar menemani bulan. Sedangkan biru yang menemani sedari pagi sudah hilang dimakan senja beberapa waktu lalu. Sayangnya, pemandangan indah berwarna jingga itu tak dapat Raden saksikan karena dia sibuk dengan pesanan kuenya.

Membuat kue adalah hobinya, ada kebahagiaan tersendiri yang tercipta ketika dia membuat adonan lalu mencetaknya di loyang, dan ketika dia memasukkannya ke oven, Raden tak pernah bosan menunggu.

Namun tadi, ketika dia berdua dengan Dinda lagi-lagi membuat pesanan kue yang lumayan banyak dia merasa tak berselera, hanya karena pertanyaan sederhana yang terlontar dari bibir gadis itu.

"Hubungan kita itu apasih, Den? Kapan mau diseriusin?"

Pertanyaan Dinda hanya sebuah pertanyaan yang tak memiliki paksaan, gadis itu murni hanya bertanya, dia tidak meminta kepastian, tidak juga memaksa agar hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Bahkan untuk menjawab pun, Raden tak memiliki satupun kata padahal untuk urusan mengomel dia bahkan bisa mengalahkan ibu-ibu komplek.

Raden sudah kepikiran berat, galau setengah mati, seolah kalau dia tidak menikahi gadis itu besok, maka Dinda akan diambil orang lain. Dia sendiri juga bingung mengapa dia setakut ini, padahal dia dan Dinda saja tidak memiliki status pacaran, namun dia memperlakukan gadis itu lebih dari seorang teman selama beberapa tahun belakangan.

Bagaimana Dinda tidak terbawa perasaan coba?

Pria itu menghela gusar sambil mengusap rambutnya kebelakang. Begini nih kalau tidak punya pengalaman asmara di masa remaja. Dia jadi lebay begini. Padahal bisa saja Dinda itu hanya bermain-main dengan pertanyaannya, gadis itu kan memang sering membuat Raden kesal.

"Dinda-Dinda, gua lamar beneran besok jantungan lo," monolognya ketus.

Padahal Raden benar-benar belum seberani itu untuk dateng ke rumah seorang gadis dengan niat melamar, ya ampun pekerjaannya saja masih begitu-begitu saja, menghidupi dirinya dan Jenggala saja dia butuh tenaga ekstra bekerja sepanjang hari. Bagaimana mau melamar perempuan?

Pria itu duduk di ujung teras, bertemakan pot bunga aglonema, dan suara-suara serangga malam yang membawa ketenangan tersendiri baginya.

Pria itu memejam sesaat, menikmati suasana tenang malam hari, juga hawa dingin yang sesekali menusuk-nusuk kulitnya, namun hal itu tak mengganggu sama sekali.

Grep!

Sebuah lengan melingkar di lehernya, dan hawa hangat yang anak itu bawa terasa di punggung milik Raden. Pelukan dari Jenggala tak ubahnya sesuatu yang membuat jantungnya berdegup tak karuan karena lagi-lagi dikagetkan.

"Kembarannya Cha Eunwoo ngapain duduk sendirian di sini?"

Raden langsung mendorong lengan Jenggala kebelakang, tak peduli ketika bokong anak itu langsung mendarat keras di lantai yang dingin.  Tatapan malang yang anak itu lemparkan Raden balas dengan kilatan tajam di matanya.

"Lo ini demen banget ya gelendotan di mana-mana?! Kayak monyet tau nggak?!" semprot lelaki itu ketika Jenggala bangkit dan mendekat ke arahnya.

"Kan cuman meluk doang, elah! Emang mas Raden enggak seneng dipeluk anak lucu kayak aku?!" Jenggala menatap Raden meminta penjelasan.

"Lucu enggak, kayak setan iya."

Anak itu langsung memukul lengan Raden. "Jahat banget cocotnya."

Raden menatap Jenggala yang murung, sekali lagi, dia ingin tertawa terbahak-bahak di depan anak itu sekarang juga melihat ekspresinya yang kepalang lucu.

Lament of Lavender Petals Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang