⭐Tekan bintang!
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ
•
•
•
°°°PERNAH LAYU DI MASA LALU°°°
•
•
•
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿRaden menitikkan air matanya, tangan yang gemetar itu mencengkram erat ujung baju, dadanya naik turun tak beraturan, sorotnya putus asa dan kecewa. Begitu sakit bila ditatap lama.
Namun hatinya jauh lebih sakit, ketika menyaksikan dengan jelas tubuh seorang anak tengah meringkuk di sudut kamar, menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan, lalu menangis sambil mencengkram perutnya.
Raden mengaku dia gagal, gagal mendidik, gagal merawat, dan gagal menyayangi. Namun melihat Jenggala menangis kelaparan bukanlah kemauannya. Mereka sudah tidak punya uang sepeserpun karena Raden hanya anak kuliahan yang menganggur. Tak ada makanan apapun di dapur, karena Raden tak punya uang untuk sekedar membeli lauk pauk. Bahkan beras pun sudah tidak ada.
Pemuda itu berjalan memasuki kamar Jenggala, berlutut lalu menepuk bahu anak itu yang langsung direspon oleh Jenggala. Anak itu mendongak menatap Raden dengan linangan air mata.
"Mas Raden..."
Jenggala langsung memeluk leher Raden dengan erat, tangis anak itu semakin kencang ketika melihat Raden menitikkan air mata dengan sorotnya yang terlampau duka. Jenggala pun mengerti tanpa ada orang yang menjelaskan, kondisi di rumah ini, tragedi beberapa bulan lalu, dan patahnya hati Raden hingga tak bisa di perbaiki lagi.
Bila biasanya Raden akan langsung menghempaskan Jenggala ketika dipeluk, maka kali ini dia diam saja. Raden membiarkan lelaki kecil itu menumpahkan laranya di pundak yang lebih tua meskipun Raden sendiri sudah tak sekokoh Raden yang dulu
"Jenggala, maafin Mas ya?" ucap Raden di tengah tangisnya sambil membalas pelukan Jenggala.
Jenggala menggeleng, hati anak kecil itu ikut sakit. "Mas Raden enggak salah, enggak ada yang perlu dimaafin."
"Lo sakit gara-gara gua, ibu lo pergi gara-gara gua, sekarang lo kelaparan gara-gara gua. Gua bener-bener enggak becus jagain lo ya?" Tangan Raden mengelus surai anak dalam rengkuhannya.
Jenggala kembali menggeleng. "Mas Raden udah jagain Jenggala dengan baik, mas Raden hebat, mas Raden ngajarin Jenggala banyak hal. Mas Raden hebat, mas Raden hebat!"
Namun Raden malah menangis semakin deras, rasanya dia ingin mengadu dan mengeluh pada ibu seperti dahulu, berkata bahwa semuanya terlalu berat untuk dia jalani sendiri, dunia ini begitu tajam bagi Raden yang bagai gelembung sabun.
"Jenggala tunggu di sini." Raden melepas pelukannya.
"Mau kemana?"
"Bentar ya."
Raden lalu bangkit kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar. Pemuda itu berlari ke arah dapur dengan derai air mata yang tiada habisnya, tergesa mengambil pisau dengan tangannya yang gemetaran, suara teriakan Jenggala yang diselingi tangisan berusaha keras dia acuhkan, pemuda itu hanya menatap pisau dalam genggamannya lamat-lamat.
Tapi Raden jatuh terduduk lemas di lantai, pisau yang tadi dia pegang juga terlempar, pemuda itu menangis menutupi wajahnya dengan tangan.
"Ya Allah, maafkan Raden..." Ia menatap nanar pisau di sudut dapur yang dia lempar.
Apa yang baru saja dia lakukan? Tindakan bodoh yang sama sekali tak pernah diajarkan oleh siapapun padanya. Kalau ibu ada di sini, maka dia akan kecewa, dan kalau bang Dovan ada di sini, maka Raden akan ditampar sampai habis. Raden bodoh ketika dia berpikir untuk bunuh diri, padahal jelas-jelas masih ada anak kecil yang tengah berteriak di kamarnya yang terkunci. Jahat. Raden begitu jahat kalau dia meninggalkan Jenggala dalam keadaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
General FictionJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...