ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜
•
•
•
•
°°°KAPAN-KAPAN KAGI YA, BU°°°
•
•
•
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜Rambut yang sudah ditumbuhi banyak uban itu diusik kebelakang, asap rokok memudar di awan-awan seiring hembusan demi hembusan keluar dari bibir sang pemakai. Matanya yang memerah serta kantung mata yang menghitam sudah cukup menggambarkan seberat apa beban pikirannya saat ini.
Jora menghembuskan nafas kotornya ke udara, menimbang-nimbang langkah apa yang sekiranya patut dia ambil untuk sekarang ini.
Belum juga mendapat jawaban, langkah kaki anggun milik istrinya sudah mengalihkan perhatian pria itu, dia menoleh dan mendapati senyum manis Hera yang tengah membawa nampan berisi kopi dan teh buatannya.
Jora membalas senyuman itu dan langsung mengambil secangkir kopi hitam tanpa gula untuknya, lantas mulai menyeduh dan menikmati cairan pahit yang menyapa tenggorokan.
Namun, entah angin mana yang membawa sebuah topik pembicaraan sensitif ini, sampai-sampai Jora bisa membahasnya padahal dia sangat tau bagaimana Hera jika sudah menyangkut tentang anak si anak bungsu.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu dan anak itu, Hera? Saya belum mengerti sampai sekarang," ucap Jora, kini matanya yang tajam menatap penuh pada mimik muka Hera yang berubah dingin.
"Siapa? Kamu bahas siapa?" Alis itu menukik, mood nya berubah buruk.
"Jenggala, saya lagi bahas dia. Saya muak dengan kamu yang selalu bersikap seperti ini kepada semua orang karena mereka membahas anak itu, beri tau saya Hera, supaya saya tau apa yang harus saya lakukan." Meskipun Jora sudah bertutur lembut, Hera masih saja keras, dia meletakkan cangkir teh nya dengan kasar.
"Kamu muak? Kenapa kamu yang muak di sini?! Yang mengalami masa lalu sialan itu saya, bukan kamu, Jor!"
"Makanya saya minta kamu jelasin!"
"Kamu mau trauma aku balik lagi, iya?!"
"Trauma kamu nggak akan pernah sembuh, dasar perempuan gila!! Bagaimana kamu bisa berobat kalau dokter aja nggak tau penyakit kamu apa?! Kamu sadar setertutup apa kamu?" Pria itu menetralkan emosinya, meskipun Hera sekarang sudah berdiri, dan siap melayangkan berbagai macam cacian padanya.
"Gampang kamu ngomong, gampang! Tapi nggak semudah itu buat ngungkit-ngungkit kembali kejadian yang bikin aku kayak sekarang!!!" Hera berteriak marah, jemari lentiknya bergerak mengacak rambut yang dia jepit, mata itu mulai berair dan Jora sungguh tidak tahan melihatnya.
"Kamu selalu dikuasai emosi." Dia menggeleng-geleng, masih diam dalam posisi duduknya saat Hera sudah pergi, tak berniat untuk mengejar, karena dia tau akan separah apa malam ini jika pertengkaran mereka berlanjut.
Tanpa Jora sadari, anak laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakang mereka kini melangkah mendekat, buku dan alat tulis yang rencananya dia bawa menuju taman itu tetap ikut bersamanya sampai dia mendudukkan diri di dekat Jora.
"Kamu dengar semuanya tadi?" tanya Jora.
"Dhanan selalu denger kalian berdua kalau lagi berantem." Tatapan Dhanan terus mengarah ke depan, tatapan hampa tanpa emosi yang berarti.
"Papah kayaknya mau tau banget ya masa lalunya ibu sama Ayah dan Jenggala?" Anak itu akhirnya berani mengalihkan pandangan pada Jora.
•
°
°
°
°
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜
°
°
°
°
•Langkah pelan itu tertatih di sepanjang lorong, pemiliknya hanya menatap pada lantai-lantai yang dia pijaki, senyum tipisnya terbit pada bibir pucat yang sudah lama tidak tertawa itu, Jenggala bersyukur karena akhirnya dia bisa pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
General FictionJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...