⭐Bantu vote nya teman-teman ^^
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ
•
•
•
°°°TAKUT UNTUK PERGI°°°
•
•
•
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿSiang sudah berganti menjadi malam, entah sudah berapa lama Raden terpaku menatap langit, dengan kopi yang tak lagi hangat di genggamannya. Tungkainya berdiri di atap rumah sakit, acuh tak acuh pada angin malam yang menggelitik kulitnya.
Tak ada bintang yang biasanya berkilauan di langit hitam, bahkan awan-awan tebal ikut menutupi bulan. Seakan malam ini mereka tak ingin memperlihatkan keindahannya pada Raden.
Ketika Raden tak lagi mendongak, maka kini dia menunduk, menatap gemerlap lampu kota dari atas gedung. Menikmati bagaimana sibuknya jalanan malam yang masih ramai kendaraan.
Gedung-gedung bertaburan, tempat bekerja terbuka di mana-mana. Namun anehnya, tak ada satupun dari mereka yang menyediakan satu kursi untuk Raden.
Jika saja waktu itu dia tidak melawan Amir dan membiarkannya kabur, mungkin kini Raden sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tapi Raden adalah Raden, seseorang yang didik untuk menjunjung tinggi harga diri. Yang benar harus benar, yang salah ya salah.
Niatnya adalah menyadarkan manusia ber-uang seperti Amir agar tau kesalahannya, agar dia setidaknya memiliki rasa bersalah setelah menghilangkan nyawa seseorang. Dan membuat dunia orang lain porak-poranda.
Tapi siapa sangka bahwa malah dia yang kena imbasnya. Seperti, Raden ditusuk menggunakan pisau panjang hingga tepat mengenai jantungnya, tapi malah dia yang meminta maaf karena darahnya mengenai sepatu si penusuk.
Kenapa Raden meminta maaf waktu itu? Karena bukan hanya aksesnya untuk masuk kerja yang ditutup, melainkan Amir juga tidak akan membiarkan Jenggala masuk sekolah di manapun.
Segitu tidak inginnya Amir dikalahkan oleh seorang mahasiswa. Hingga membuat Raden yang begitu murka dan angkuh mengucapkan kata maaf dan memohon padanya hanya untuk anak kecil yang tidak tau apa-apa.
Kini Raden meneguk kopinya sampai benar-benar tandas. Kemudian membuang tempatnya di tempat sampah dengan keras.
Dia mengusap rambutnya kebelakang, benar-benar dilanda pusing sekarang. Jenggala yang masuk rumah sakit, dia yang kembali diingatkan bahwa Jenggala pengidap Hemofilia, keuangan yang makin hari makin menipis, dan cita-cita yang ternyata kandas di tengah jalan.
Jika biasanya di malam-malam begini dan Raden tengah duduk sendirian dengan secangkir kopi di ujung teras maka Jenggala akan datang memeluknya dari belakang. Tapi kini, Raden mana mungkin bisa berharap anak yang masih lemah itu akan datang dan melakukan hal yang sama sambil mengatakan;
"Kembarannya Cha Eunwoo ngapain marah-marah di sini?"
Pintu di belakangnya terbuka, menampilkan seorang gadis dengan senyuman manis yang langsung datang menghampiri Raden.
"Tadi aku dateng ke ruangannya Jenggala, tapi dia bilang kamu mau ke rooftop bentar, eh kamu perginya sampe satu jam," ujarnya.
Raden menatap penuh pada Dinda. "Terus kamu ngapain di sini? Bukannya aku nyuruh kamu kesini buat nemenin Jenggala?"
Dinda mengendikkan bahu. "Buat apa aku jagain anak itu? Orangnya si tengil lagi main game bareng dua temennya."
Raden mengangguk-angguk, pasti itu Dewa dan Kahes.
"Raden." Dinda memanggil tanpa menatap Raden.
Tanpa menunggu Raden yang sepertinya malas menjawab, Dinda melanjutkan ucapannya, "kamu yakin nggak mau ke Singapura?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
Fiksi UmumJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...